Oleh Reza A.A Wattimena
Kemarin, saya ingin makan pizza. Sudah lama sekali, saya tidak menyentuh makanan tersebut. Lalu, saya tidak jadi membeli, karena hujan begitu deras. Keinginan membeli Pizza hilang. Yang muncul berikutnya adalah kekhawatiran akan bocornya rumah, karena hujan keras yang terus menghantam atap rumah.
Darimana pikiran-pikiran itu berasal? Saya tidak melihat Pizza. Itu hanya di dalam bayangan saya, dan kemudian menciptakan keinginan di dalam diri. Pikiran membeli dan memakan Pizza itu datang dari kekosongan.
Hari ini, saya tidak lagi ingin makan Pizza. Kemana pikiran yang kemarin itu pergi? Ia tidak lagi ada jejak. Ia sudah berganti menjadi bentuk-bentuk pikiran lainnya, seperti ingin makan sate padang di siang hari ini.
Bagaimana dengan pikiran minggu lalu? Ah, saya sudah lupa. Jejak, dan bahkan ingatan tentangnya, sudah lenyap sama sekali. Mungkin, saya berpikir untuk pergi ke Yogyakarta minggu lalu. Mungkin…
Bagaimana dengan pikiran tahun lalu? Duh, apalagi itu, saya sudah sungguh lupa. Pikiran itu lenyap tanpa bekas. Tidak ada satupun jejak yang tersisa, kecuali saya karang-karang saja. Pikiran itu, ternyata, tidak punya rumah. Mereka adalah gelandangan.
Darimana beragam pikiran itu datang? Dimana mereka menetap, ketika saya sedang memikirkannya? Dan, kemana pikiran itu pergi, setelah saya tidak lagi menggunakannya? Ini tiga pertanyaan yang patut direnungkan, jika kita ingin sungguh mencapai pembebasan batin yang sejati.
Di dalam Zen, ketiga pertanyaan itu tidak dijawab. Ia sepenuhnya dirasakan. Pertanyaan-pertanyaan itu mengarah pada titik kosong sebelum pikiran muncul, maupun setelah pikiran lenyap. Titik itu bersifat kosong, tetapi sepenuhnya sadar. Titik itu adalah jati diri kita yang sebenarnya.
Memang menggoda untuk menamakan titik kosong itu. Tradisi Tibet menyebutnya sebagai Rigpa. Nama lain darinya adalah Dharmakaya, atau Buddha Nature. Namun, kita tidak boleh terjebak pada nama dan konsep yang justru membuat kita tidak lagi mengalaminya secara langsung.
Kita terbebas dari penderitaan, ketika kita menyentuh titik kosong sebelum pikiran itu. Kita juga melampaui waktu, karena waktu juga merupakan ciptaan pikiran. Tak ada masa lalu, masa kini atau masa depan.
Di dalam titik kosong yang sadar itu, kita juga terbebas dari kematian dan dari kehidupan. Keduanya hanyalah nama dan konsep belaka. Sang sadar yang kosong itu berada sebelum kematian dan kehidupan. Terbebas dari pikiran konseptual dan merdeka dari waktu adalah kenikmatan yang melampaui kata.
Itulah yang kiranya kita butuhkan sekarang. Di jaman digital dan kecerdasan buatan yang semakin rumit ini, kita dibombardir triliunan sampah informasi setiap harinya. Depresi dan stress pun menjadi pandemik global yang tak diberitakan. Setitik kekosongan yang sadar adalah obat untuk kecemasan,.. dan kunci untuk mencapai kebijaksanaan yang sejati.
===
Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/
