Membaca: Menyelamatkan Nyawa, Memajukan Manusia

997a6308eb530eb555d16fb0b66e8b02Oleh Reza A.A Wattimena

Saya terbiasa membaca. Itulah keuntungan punya ayah bekerja di toko buku. Komik adalah bacaan pertama saya. Judul-judul klasik, seperti Doraemon, Kungfu Boy dan Tapak Sakti, akrab dengan masa kecil saya.

Di masa remaja, saya mulai menyentuh novel. Karya sastra mulai menjadi bacaan saya. Ini semua berakhir di buku-buku filsafat yang membuka pikiran. Dan kini, saya tidak hanya membaca, tetapi juga menulis dan menerbitkan karya.

Di Indonesia, banyak orang tak seberuntung saya. Mereka tidak dibiasakan membaca. Pun jika membaca, mereka hanya membaca buku yang terkait dengan agama mereka. Akibatnya, pikiran mereka menjadi sempit, dan tak terlatih.

Tanpa Membaca, Kita Cacat

Tanpa budaya membaca, bangsa kita memasuki dunia digital. Internet dan media sosial menjadi dunia baru yang penuh kemungkinan. Jutaan kesempatan baik bersanding dengan kerusakan yang ditimbulkannya. Di dalam semua itu, budaya membaca karya-karya bermutu tak kunjung bertumbuh, bahkan semakin rendah.

Ketika miskin membaca, orang menjadi dangkal. Akal sehat tak bertumbuh. Nurani tak terasah. Imajinasi dan kreativitas tak berkembang. Tanpa membaca, kita adalah manusia cacat. Itulah sosok manusia Indonesia di awal abad 21 ini.

Dampaknya pun luas. Politik menjadi tak bermutu, karena dipilih dan diisi manusia-manusia cacat nan dangkal. Demokrasi hanya sekedar pura-pura. Pancasila menjadi slogan kosong yang kerap digunakan untuk menindas.

Ekonomi menjadi ladang ketidakadilan. Yang kaya semakin kaya, karena bebas mencuri. Yang miskin terjerat dalam kekurangan, seolah tanpa harapan. Ekonomi tak adil ini adalah buah karya manusia-manusia dangkal nan cacat, akibat tak pernah membaca.

Terlebih, budaya luhur pun rusak. Agama kematian dari tanah gersang merangsek masuk, dan menghancurkan budaya kita. Perempuan ditindas dari ujung kepala sampai ujung kaki. Praktek agama menjadi pertujukkan kebiadaban yang merusak ketenangan hidup bersama.

Agama pun mengalami pembusukan. Ia menjadi alat pembodohan dan pemiskinan. Bukannya membawa keteraturan dan ketenangan, agama menjadi sumber petaka dan ketidakadilan. Tanpa akal sehat dan nurani jernih yang lahir lewat membaca karya-karya bermutu, agama menjadi pencipta neraka di dunia.

Segera Membaca

Kita perlu melakukan revolusi budaya. Membaca harus menjadi bagian dari keseharian, bahkan menjadi kebutuhan, hidup kita. Aku membaca, maka aku ada. Ada sepuluh hal yang kiranya penting diperhatikan.

Pertama, membaca berarti membentuk cara berpikir. Ada sistematika yang terbentuk, ketika orang akrab dengan tulisan. Ada kerangka jernih yang terbentuk, ketika orang menyelam ke dalam kata. Tanpa budaya membaca, logika serta akal sehat tidak akan terlatih, dan orang akan terjebak ke dalam kesalahan nalar yang mendasar.

Dua, membaca itu mengembangkan imajinasi. Orang diajak bergulat dengan konsep-konsep. Di dalam novel, orang diajak memasuki alam semesta baru, kerap dengan detil sejarah dan peristiwa yang memikat. Membaca bisa menjadi pelarian dari dunia yang penuh nestapa, dan kerap kali membosankan.

Tiga, dari imajinasi yang berbunga, kreativitas pun muncul. Orang bisa mencipta. Orang bisa melihat dunia dari sudut pandang yang berbeda. Peradaban manusia bisa maju, berkat kreativitas dari orang-orang yang imajinasinya berbunga.

Empat, mengikuti kata dan cerita, orang mengembangkan pola pikir analitis. Ia bisa melihat keseluruhan dari bagian-bagiannya, serta sebaliknya. Ada gambaran besar, dan detil yang tak berguna, di setiap cerita. Kemampuan analisis adalah sesuatu yang amat penting di dalam menjalani kehidupan.

Lima, dengan berkembangnya ketiga hal di atas, akal sehat pun terasah. Manusia dibekali akal sehat untuk memahami keadaan sekitarnya. Ini tidak terberi begitu saja, melainkan harus dilatih. Membaca karya-karya bermutu tinggi adalah jalan tercepat mengembangkan akal sehat.

Enam, penerapan dari akal sehat yang berkembang adalah sikap kritis. Orang tidak begitu saja percaya pada informasi yang ia terima. Ada proses pengolahan di dalamnya. Kemampuan berpikir kritis adalah hal penting di dalam proses politik demokratis, sebagaimana diterapkan di Indonesia, juga di dalam menjalani kehidupan secara umum.

Tujuh, dengan membaca karya-karya bermutu, orang menyentuh pikiran dan budaya lain. Wawasan pemikiran pun berkembang. Orang lalu terbiasa melihat dunia dari berbagai sudut pandang. Ada kejernihan, toleransi dan kebijaksanaan di dalam sikap ini.

Delapan, karena ketujuh hal diatas, seorang pembaca mencintai keheningan. Dia bisa berada bersama orang lain. Namun, keriuhan itu tidak menghapus cintanya pada keheningan, yang merupakan bagian penting dalam hidupnya. Keheningan ini pula yang membuahkan kreativitas dan beragam karya lebih jauh.

Sembilan, dari keheningan lahirlah kebahagiaan. Orang lalu bisa menemukan kebahagiaan dari hal-hal sederhana. Tak perlu barang mewah atau peristiwa besar untuk membuat hatinya gembira. Segelas teh dan buku di tangan bisa membuatnya berpetualang di dalam keheningan yang membuahkan kebijaksanaan.

Sepuluh, dalam keseharian, si pembaca cenderung beradab dalam bertindak. Ada empati yang lahir dari kedalaman berpikir. Ia tidak akan membuat masalah, atau menyakiti mahluk lain, secara semena-mena. Keputusan yang ia ambil juga lahir dari keheningan dan kedalaman yang muncul dari keluasan wawasan.

Manusia Indonesia

Sepuluh hal di atas tak dimiliki oleh sebagian besar manusia Indonesia. Para pemimpin kita juga tak mencintai karya-karya bermutu. Bahkan, mereka cenderung membenci membaca. Tak heran, mereka gagal total di dalam membangun bangsa ini, bahkan cenderung merusak tata luhur yang sudah ada.

Ini tentu tak boleh dibiarkan berlangsung. Dalam keseharian, pola pikir hasil membaca penting untuk pelestarian diri kita sebagai manusia. Sebagai keseluruhan, umat manusia juga berkembang dari karya-karya bermutu tersebut. Apa yang sudah berlalu bisa menjadi pelajaran berharga, dan mimpi akan masa depan bisa menjadi tujuan bersama.

Membaca itu tidak hanya menyelamatkan nyawa,.. tetapi juga memajukan hidup manusia… tunggu apa lagi?

===

Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

cropped-rf-logo-done-rumah-filsafat-2-1.png

Dipublikasikan oleh

avatar Tidak diketahui

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Kesadaran, Agama dan Politik. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023), Zendemik (2024), Teori Politik Progresif Inklusif (2024), Kesadaran, Agama dan Politik (2024) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.