Oleh Reza A.A Wattimena
Indahnya malam itu. Hujan baru saja reda. Udara sejuk, dengan hembusan angin segar. Di hadapan saya, sungai jernih dan tenang.
Ia memantulkan bulan dan bintang. Wujudnya begitu nyata. Ia begitu indah. Tak heran, begitu banyak karya sastra dan musik lahir dari keindahan bulan.
Karena indahnya, sang bulan begitu mirip aslinya. Karena gelombang air dari hembusan angin perlahan, ia bahkan terlihat lebih indah dari aslinya. Sang bulan yang memantul di atas air tampak seperti lukisan surealis. Ia nyata, tetapi juga tidak sungguh nyata.
Bintang pun juga. Langit malam itu tak terkotori cahaya kota. Entah mengapa. Kerlipan bintang yang tak terhitung turut terpantul di sungai jernih tepat di depan mata saya.
Keindahan itu bukanlah yang asli. Sang bulan dan bintang hanyalah pantulan. Jika sungai tergerak, pantulan itu pun memudar. Jika terpesona, orang tentu melupakan ini, dan mengiranya sebagai nyata.
Sebenarnya, inilah kenyataan. Apa yang kita sebut kenyataan hanyalah pantulan struktur biologis kesadaran kita. Kenyataan tak sungguh nyata. Sains modern sudah sampai pada kesimpulan yang nyaris tak terbantahkan ini.
Jika kenyataan hanyalah pantulan, bagaimana dengan hidup itu sendiri? Polanya pun serupa. Kehidupan, dengan segala cerita, drama dan kompleksitasnya, juga tak nyata, melainkan sekedar proyeksi batin kita. Orang-orang tercerahkan dari segala jaman, mulai dari Siddharta Gautama sampai Ki Ageng Suryomentaram, pun sampai pada kesimpulan ini di dalam perjalanan mereka.
Maka, tak ada yang layak dikejar dalam hidup ini. Tak ada ambisi yang layak diimpikan. Tak ada visi ataupun mimpi yang layak dikejar setengah mati. Semuanya hanya pantulan kesadaran, tak lebih dan tak kurang.
Tak ada juga yang layak dibenci. Tak ada musuh yang abadi. Tak ada setan yang menghantui. Pun jika terlihat, yang jahat dan setan adalah pantulan batin kita semata.
Di dalam Zen, semua sudah sempurna sebagaimana adanya. Langit mendung. Gerimis datang. Bulan bersembunyi. Saat ke saat, semua sudah sempurna sebagaimana adanya (as it is).
Jati diri kita yang asli adalah satu-satunya yang nyata. Ia berada sebelum pikiran muncul (before thinking). Kesadaran ini memantulkan semuanya sebagaimana adanya. Tak ada yang ditambah, dan tak ada yang dikurangi.
Dari waktu ke waktu, beristirahatlah sejenak pada yang nyata. Ia mungkin tak seindah pantulan bulan di atas air. Ia mungkin tak segemerlap kenyataan ilusif yang ditampilkan panca indera kita. Namun, ada kejernihan, kesembuhan dan ketenangan mendalam di dalam jati diri kita yang asli, yakni di dalam kesadaran murni yang tak pernah lahir, … dan tak pernah mati…
===
Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/
