Desakralisasi Menteri, Racun Feodalisme dan Budaya Menjilat

a46e2e16-f22e-4026-8467-11e4ca6deab3Oleh Reza A.A Wattimena

Sekitar 1995, saya diminta menghafal nama-nama menteri. Saya masih di bangku SMP pada masa itu. Jumlahnya tak banyak, dan relatif mudah diingat. Mereka adalah orang-orang hebat.

Pada masa itu, para menteri adalah orang-orang besar. Mereka adalah ilmuwan hebat. Mereka adalah tentara yang berprestasi. Tidak hanya hebat dan berprestasi, mereka, tentunya, dekat dengan Presiden Suharto pada masa itu. Dengan kata lain, ada hubungan kepercayaan yang erat antara Suharto dan menteri-menterinya.

2024, semua berubah. Saya melihat susunan menteri yang ada sekarang. Mayoritas adalah orang-orang yang tak kompeten. Ini ditambah dengan beragam jabatan lain, seperti wakil menteri, yang tak masuk akal dan tak berguna sama sekali.

Jumlahnya juga banyak sekali. Banyak posisi yang saling tumpang tindih. Kesan bagi-bagi kue kekuasaan amat kuat. Ini kabinet gemuk yang tak kompeten dan merugikan negara.

Ini jelas buang-buang sumber daya. Triliunan pajak rakyat dipakai percuma. Birokrasi jadi lambat dan membingungkan. Pembangunan pun terhambat total, dan rakyat semakin tenggelam dalam kemiskinan dan kebodohan yang berkepanjangan.

Negara rusak oleh para pimpinannya sendiri. Ini ditambah dengan kepala negara yang ilegal. Pemilihan presiden dipenuhi kecurangan dan kebusukan. Seperti tulisan saya beberapa waktu lalu, kita tak punya pemimpin yang sah di mata rakyat, dan bersiap memasuki masa kegelapan.

Kita juga melihat gejala desakralisasi menteri. Menjadi menteri bukan lagi prestasi, dan sama sekali bukan kebanggaan. Sebaliknya, menjadi menteri erat dengan kesan sok kuasa dan pemborosan uang rakyat. Menjadi menteri juga hanya soal kemampuan menjilat pantat penguasa. Kemampuan pribadi dan prestasi tak lagi menjadi pertimbangan.

Ini terkait dengan gejala merusak yang lebih dalam, yakni feodalisme di dalam budaya kita. Feodalisme adalah paham melihat manusia secara hirarkis. Ada yang lebih tinggi, akibat warisan dan keturunan. Ada yang lebih rendah, juga akibat keturunan, sehingga terus terjebak di dalam kemiskinan dan kebodohan.

Dampak feodalisme juga merusak. Orang menjabat posisi tinggi bukan karena kemampuan, tetapi karena kedekatan pribadi. Kemampuan menjilat pantat penguasa lebih penting daripada kemampuan bekerja secara profesional. Feodalisme Indonesia paling jelas di dalam konteks wakil presiden yang sama sekali tak punya prestasi nyata, kecuali lahir dari rahim orang tuanya.

Feodalisme jelas tak cocok dengan demokrasi. Feodalisme menciptakan ketidakadilan. Feodalisme menghancurkan peradaban. Indonesia, sayangnya, adalah negara feodal dengan embel-embel demokrasi di dalam politiknya.

Feodalisme adalah surga bagi penjilat. Inilah orang-orang licik yang tak punya kemampuan nyata. Mereka ingin berkuasa dan dianggap penting, tetapi tak mau bekerja secara nyata untuk kebaikan bersama. Mereka rakus dan berambisi untuk menjadi kaya dengan cara menipu orang banyak, serta menjilat penguasa yang juga korup.

Maka, gejala desakralisasi menteri Indonesia 2024 erat dengan racun feodalisme dan budaya menjilat yang berkembang. Hasilnya, pembangunan terhambat total. Ketidakadilan merajalela. Rakyat semakin tenggelam dalam kemiskinan dan kebodohan, akibat sepak terjang pemimpin yang korup.

Ikan membusuk dari kepala. Sikap korup pemimpin ditiru rakyat yang miskin pemikiran rasional dan kritis. Indonesia pun berubah menjadi masyarakat koruptif. Kita tidak hanya menghancurkan alam, tetapi juga mewariskan masyarakat koruptif untuk anak cucu kita.

Budaya feodalisme harus disadari dan dilawan di setiap unsur kehidupan berbangsa dan bernegara. Budaya menjilat juga mesti dilenyapkan. Jika tidak, kita tetap akan menjadi bangsa yang miskin dan bodoh di dalam masyarakat yang koruptif, seperti sekarang ini. Kritik harus terus dilancarkan, demonstrasi harus terus dilakukan, dan revolusi mesti dikobarkan untuk terwujudnya kebaikan bersama.

===

Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

cropped-rf-logo-done-rumah-filsafat-2-1.png

Dipublikasikan oleh

avatar Tidak diketahui

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Kesadaran, Agama dan Politik. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023), Zendemik (2024), Teori Politik Progresif Inklusif (2024), Kesadaran, Agama dan Politik (2024) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.