Agama, Feodalisme dan Sikap Tamak

3832091-HSC00002-7Oleh Reza A.A Wattimena

Beberapa teman bertanya kepada saya. „Elu ga mau lihat Paus Fransiskus langsung? Dia di Jakarta, dan akan mengadakan misa besar.“ Jawaban saya satu; biasa aja. Saya akan melihat via internet online, tetapi tidak ngotot untuk melihat secara langsung.

Paus Fransiskus adalah fenomena menarik. Pemikirannya luar biasa penting dan mendalam. Cara hidupnya juga, sejauh ini, mencerminkan nilai-nilai luhur kehidupan yang ia ajarkan. Namun, ia bukan Tuhan, dan tak perlu disembah berlebihan.

Mayoritas orang (Katolik?) melihat Paus sebagai Tuhan. Mereka histeris, dan menyembahnya berlebihan. Mereka seperti kambing dan domba tak berdaya yang haus perhatian. Ini tidak sehat.

Hal serupa terjadi di semua agama. Pemuka agama kerap dilihat sebagai Tuhan. Umat beragama bagaikan mahluk lemah yang merindukan figur ayah untuk melindunginya. Saya menyebutnya sebagai pola beragama kekanak-kanakan, atau pola beragama infantil yang merupakan ciri dasar agama kematian. (Lihat buku: Kesadaran, agama dan politik)

Pernah juga, saya berkunjung ke tempat ibadah agama tertentu. Saya melihat langsung, umat beragama antri mencium kaki pemuka agamanya. Ini berlebihan, menggelikan dan tidak sehat. Pemuka agama dituhankan, dan justru Tuhan yang sebenarnya dilupakan.

Mental Feodal

Sebagai manusia, kita terdiri dari daging, darah, tulang dan kotoran. Tak ada yang perlu disembah berlebihan. Kita sama-sama bagian dari jaringan kehidupan maha luas. Bahkan, pada hakekatnya yang paling dalam, kita adalah satu dan sama.

Yang merusak kita adalah mental feodal. Feodalisme adalah paham yang melihat, bahwa beberapa manusia memiliki status lebih tinggi, daripada manusia lainnya. Maka, manusia-manusia luhur tersebut berhak untuk disembah, bagaikan Tuhan dan dewa. Mental feodal semacam inilah yang merusak tata kehidupan bersama kita sekarang ini.

Karena dituhankan, para pemuka agama ini kerap bertindak seenaknya. Mereka mengumbar sikap tamak dan sombong. Mereka merasa lebih tinggi dari manusia-manusia lainnya. Bahkan, mereka bisa menindas dan memperbudak, tanpa hukuman apapun. Inilah kiranya bahaya nyata yang berulang di Indonesia, mulai dari pemuka agama memperkosa, mencuri serta membunuh, dan tak mendapatkan hukuman sama sekali.

Fenomena Raja Jawa yang tamak nan rakus kiranya juga cerminan mental feodal bangsa kita. Pemimpin politik dianggap sebagai Tuhan. Padahal, ia penuh kebohongan, dan bermental koruptif. Selama lebih dari 10 tahun, kita semua tertipu.

Si Raja Jawa menawarkan usaha tambang pada organisasi-organisasi keagamaan. Sikap tamak pun menguasai batin mereka. Mereka jatuh dalam godaan. Kini di Indonesia, kita melihat persekutuan ganjil antara agama, sikap tamak dan pengrusakan alam dalam bentuk penambangan. Betapa lucu dan menyedihkan.

Akar Feodalisme

Ada lima akar feodalisme. Pertama, akar feodalisme adalah kesalahpahaman. Orang tak memiliki pengetahuan yang tepat soal manusia dan kenyataan. Orang terjebak pada pemahaman yang salah, bahwa dunia ini memiliki hirarki. Padahal, kenyataan adalah kesatuan tak terpisahkan dari segalanya yang bersifat setara, termasuk antar mahluk hidup.

Dua, feodalisme berakar pada kelemahan akal sehat. Manusia memiliki akal budi. Namun, di dalam masyarakat feodal ala Indonesia, akal sehati dihabisi oleh agama kematian dan politik korup nan tamak. Akhirnya, mereka disiksa oleh kesalahan cara berpikir, dan hidup dalam penderitaan tiada akhir.

Tiga, karena miskin pengetahuan dan lemah akal sehat, orang lalu rindu akan otoritas. Mereka melihat sosok pemuka agama dan tokoh masyarakat bagaikan tuhan. Mereka rindu akan sosok ayah yang siap melindungi serta membimbing mereka. Mereka menjadi seperti kambing dan domba yang siap disembelih, ketika kebutuhan tertentu muncul.

Empat, karena kelemahan pribadi itulah, muncul kerinduan untuk dijajah. Orang rindu untuk diperintah. Orang rindu untuk melepaskan akal sehat dan kejernihan nuraninya. Orang rindu menjadi kambing dan domba yang diperbudak penguasa yang menggunakan selubung agama.

Lima, feodalisme lalu tercipta sebagai bentuk kesombongan penguasa dan pemuka agama terhadap pengikutnya. Rakyat yang miskin pengetahuan, lemah akal sehat, rindu akan otoritas serta gemar dijajah akan membiarkan para penguasa feodal-tamak itu bersikap seenaknya. Budaya feodal korup pun tercipta, dan diwariskan secara turun temurun. Pola inilah yang kiranya dengan mudah ditemukan di Indonesia.

Transformasi Kesadaran

Feodalisme dan sikap tamak adalah penyakit masyarakat. Ia harus dipahami, dan dilampaui. Ada lima hal yang kiranya penting untuk diperhatikan. Pertama, kita harus memiliki pemahaman yang tepat tentang kehidupan.

Kehidupan adalah kesatuan yang utuh dari segala yang ada. Tidak ada satu pun entitas yang berdiri mandiri. Keseluruhan kenyataan ini, sesungguhnya, berada sebelum pikiran, konsep dan bahasa. Ia adalah pengalaman hidup sepenuhnya disini dan saat ini.

Dua, dengan pemahaman ini, kita mengembangkan akal sehat kita sebagai manusia. Nurani kita pun menjadi semakin peka dan terbuka pada kebutuhan semesta. Hidup menjadi bermakna, sehingga kita tidak mencari kebahagiaan dari pemuasan sikap tamak. Sikap dan mental feodal pun luntur seketika, ketika kita sungguh menyadari kesatuan dengan semesta yang hidup tersebut.

Tiga, di titik inilah pentingnya kita melakukan transformasi kesadaran. Beberapa sumber ini kiranya bisa membantu (Buku: Kesadaran, agama dan politik). Link ini kiranya juga bisa membantu: Transformasi Kesadaran. Kesadaran dualistik yang bersifat sempit harus dilepas, karena tak sesuai kenyataan, menciptakan penderitaan serta menghadirkan konflik yang berkepanjangan. Dengan kesadaran yang semakin luas dan berkembang, mental feodal tamak akan luntur sejalan dengan lenyapnya penderitaan serta kesalahpahaman manusia.

Empat, dengan transformasi kesadaran, pribadi yang sehat akan berkembang. Di dalam pribadi ini, akal sehat dan nurani akan menjadi pembimbing utama. Orang menyadari keterkaitan serta kesatuan dari segala yang ada. Namun, ia tak hanyut begitu saja pada tekanan kelompok yang kerap korup, merusak dan feodal.

Lima, di ranah politik, pandangan politik progresif inklusif yang saya kembangkan kiranya amat cocok. Tradisi dan pola lama dipertanyakan. Segala bentuk diskriminasi dilampaui. Sumber ini kiranya bisa membantu: (buku: Kesadaran, agama dan politik) Di dalam tradisi politik progresif inklusif, mental dan budaya feodal tamak akan secara alami lenyap dari kenyataan.

Enam, secara khusus, sikap tamak lahir dari kekosongan batin yang mendalam. Orang terus mencari keluar untuk memenuhi kekosongan hatinya. Uang dan kuasa dianggap sebagai jalan keluar. Semua ini tidak akan pernah memuaskan, dan justru menjerumuskan orang pada penderitaan batin yang mendalam.

Terlebih, orang mencari Tuhan di luar dirinya. Para pemuka agama feodal tamak terus mengajarkan pandangan sesat tersebut. Padahal, Tuhan ada di dalam diri manusia, dan di dalam segala yang ada. Kita tak perlu mencarinya jauh-jauh, guna memenuhi rasa kosong yang bercokol di dalam batin kita. Kita hanya perlu melihat ke dalam diri, dan menetap di sana.

Akhir kata, setiap mahluk hidup wajib dihargai. Secara khusus, pemuka agama juga harus dihormati. Namun, mereka tak boleh dituhankan, misalnya dengan dihormati secara berlebihan, sehingga mereka menjadi tamak, dan bersikap sewenang-wenang. Mental feodal koruptif semacam itu tak lagi punya tempat di abad 21. Jika budaya dan mental feodal nan tamak ini masih dipertahankan di Indonesia, kita akan tetap menjadi bangsa yang miskin, bodoh serta diperbudak terus oleh bangsa lain.

Mau sampai kapan?

===

cropped-rf-logo-done-rumah-filsafat-2-1.png

Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

Dipublikasikan oleh

avatar Tidak diketahui

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Kesadaran, Agama dan Politik. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023), Zendemik (2024), Teori Politik Progresif Inklusif (2024), Kesadaran, Agama dan Politik (2024) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.