USAHA MENELURUSI JEJAK RELIGIUSITAS AL-FAYYADL DALAM DERRIDEAN
Oleh Syarif Maulana, Filsuf, Pengusaha Kuliner
Saat membaca Derridean (Edisi Mori, 2022) yang berisi kumpulan tulisan Muhammad Al-Fayyadl, pertanyaan ini terus berseliweran di benak: “Bagaimana bisa Derrida menjadi justifikasi bagi ‘jalan religius’ si penulis?”. Saat artikel ini ditulis, saya belum mengenal Gus Fayyadl (GF) secara personal (meski akan menemuinya beberapa hari ke depan). Hal yang saya ketahui tentang GF banyaknya bersumber dari teks Derridean itu sendiri: bahwa GF adalah pendakwah (sebagaimana ditulis di bagian biografi) dan berlatarbelakang santri (hal. ix). Jika saya menyimpulkan bahwa profil tersebut adalah semacam “jalan religius” yang artinya mensyaratkan sebentuk ketaatan pada dogma, maka tidakkah dalam banyak hal begitu berseberangan dengan cara berpikir Derrida yang enggan tunduk pada kestabilan makna?
Jacques Derrida, yang lahir tahun 1930 di El Biar, Aljazair, besar di keluarga Yahudi yang dapat dikatakan religius. Bersama keluarganya, Jackie (panggilan kecilnya) sering dibawa ke Sinagog di Aljir pada hari libur atau hari besar keagamaan. Ia juga punya kesan tersendiri terhadap musik dan nyanyian Sefardik yang terus ia kenang sepanjang hidupnya. Pengaruh religius tersebut juga banyak ditanamkan oleh kakeknya dari pihak ibu, Moïse Safar, yang digambarkan Jackie sebagai: “… although not a rabbi, incarnated the religious consciuousness: ‘a venerable righteousness placed him above the priest’” (Peeters, 2013: 15).
Saya tidak membaca seluruh teks Derrida, juga tidak bisa dikatakan sebagai pembaca tekun Derrida. Sependek pengetahuan saya, meski berlatar belakang kehidupan religius yang cukup kental, pada perkembangan pemikirannya, Derrida tidak menempatkan isu agama, Tuhan, dan keimanan sebagai topik sentral dalam filsafatnya – setidaknya jika dibandingkan dengan filsuf Prancis lain, seperti Emmanuel Levinas atau Gabriel Marcel. Hal-hal terkait topik tersebut justru saya temukan pada Derridean berupa empat esai GF dalam bab berjudul Pasca-Teologi.
Dalam esai berjudul Derrida dan “Kembalinya yang Religius”, GF menuliskan Derrida sebagai bukan seorang religius dalam pengertian biasa, tetapi ia juga mengaku bukan ateis. Agamanya berada di perbatasan antara “kepercayaan” dan “ketidakpercayaan” (hal. 44). Dalam tulisannya tersebut, GF hendak mengatakan bahwa kalaupun iya Derrida bertuhan, Tuhan yang dimaksud bukanlah “Tuhan objektif” yang dengan sendirinya gugur dan terdekonstruksi, pun bukan “Tuhan subjektif” atau “Tuhan impersonal” yang masih terjebak oposisi biner. Tuhan-nya Derrida adalah Tuhan sebagai tout autre atau “yang sama sekali lain” (hlm. 47).
Dalam pengertian demikian, kita masih bisa menemukan nafas dekonstruksi Derrida dalam memahami konsep agama dan ketuhanan yang enggan terjebak pada kehadiran. Bukan agama dan Tuhan yang persisnya ditolak Derrida, tetapi agama dan Tuhan yang membeku dalam logosentrisme. Pada titik itu, saya kurang lebih dapat memahami pertemuan antara pandangan dekonstruksi Derrida dan jalan religius GF, tetapi saya tertarik menelusurinya lebih jauh melalui jalur teater kekejaman Antonin Artaud.
Teater Kekejaman Antonin Artaud
Antonin Artaud adalah penulis yang menarik perhatian Derrida. Dalam Derrida: A Biography, Derrida menyebut Artaud sebagai orang yang tulisannya perlu dibaca berulang-ulang, dengan lebih baik dan lebih sabar (Peeters, 2013: 131). Terdapat dua tulisan tentang gagasan Artaud dalam Writing and Difference-nya Derrida, satu berjudul La parole soufflée, lainnya berjudul Theatre of Cruelty and Closure of Representation. Bersama Paule Thevenin, Derrida juga mengomentari karya rupa dari Artaud dalam The Secret Art of Antonin Artaud.
Siapakah sebenarnya Antonin Artaud? Lahir di Marseille tahun 1896, Artaud, selain sebagai penulis, juga adalah aktor dan sutradara teater. Artaud, yang menderita masalah kejiwaan hampir sepanjang hidupnya, menuliskan banyak gagasannya tentang teater dalam kumpulan esai berjudul The Theatre and Its Double. Selain menulis tentang teater Bali, dalam kumpulan esai yang ditulisnya antara tahun 1931 sampai 1936 tersebut, Artaud menuliskan manifesto teater kekejaman (theatre of cruelty).
Dalam manifestonya, Artaud memandang perlunya teater untuk lepas dari ketergantungan terhadap dominasi teks. Teater mesti menjelajahi “bahasa unik” yang berada di antara pikiran dan gestur. Bahasa ini adalah “ekspresi dinamis dalam ruang” (dynamic expression in space) dan bukan kemungkinan ekspresi dari dialog (expressive possibilies of dialogue). Teater, lanjut Artaud, mesti mengembangkan kemampuan wicara yang melampaui kata-kata, menciptakan semacam efek yang memvibrasi emosi dan persepsi kita (Artaud, 1988: 242). Inilah salah satu poin kunci dalam teater kekejaman, disamping hal-hal teknis lain yang dijabarkan dengan sangat rinci oleh Artaud dalam manifestonya.
Jika kita membayangkan teater sebagai kumpulan adegan yang berisi orang-orang berakting dengan banyak dialog, Artaud justru menolak bentuk teater yang demikian. Teater, bagi Artaud, justru mesti bergelut keluar dari teks, menggunakan bahasa untuk mengekspresikan sesuatu yang tidak biasa dieskpresikan, dan digunakan dengan cara “baru”. Lewat teater kekejaman, Artaud berusaha menghadirkan kembali “dimensi mistik” dalam teater melalui bahasa sebagai sebuah “mantra” atau “pemanggilan” (Incantation) (Artaud, 1988: 239).
Pandangan Derrida tentang Teater Kekejaman
Bagaimana tanggapan Derrida tentang teater kekejaman yang diusulkan Artaud? Dalam Theatre of Cruelty and Closure of Representation, Derrida menyebut teater kekejaman sebagai bukan representasi. Teater kekejaman adalah hidup itu sendiri, para taraf bahwa hidup bukanlah sesuatu yang dapat dipresentasikan (Derrida, 1980: 294). Artinya, teater kekejaman bukan teater tentang kehidupan, yang menceritakan kehidupan, melainkan teater yang hidup, teater yang membuat kita dapat merasakan hidup. Mengutip Artaud, Derrida menuliskan bahwa teater mesti membuat dirinya setara dengan hidup itu sendiri, dan bukan sebatas pada kehidupan orang per orang, tetapi perkara hidup yang dibebaskan dari individualitas manusia.
Beralih sejenak pada pandangan Gilles Deleuze dalam Francis Bacon: Logic of Sensation yang mengomentari lukisan perupa Inggris, Francis Bacon, ada nada serupa dalam gagasannya yang ingin menolak representasi. Bagi Deleuze, lukisan Bacon menyuguhkan “sensasi” yang “langsung ke daging, tidak melalui otak” dengan cara-cara yang membuat sebuah lukisan terputus dari apa yang diilustrasikan dan direpresentasikannya. Beberapa teknik seni rupa kemudian dijelaskan Deleuze seperti menggosok Figur, menghapus latar, dan sebagainya, tetapi poinnya senafas dengan bagaimana Derrida memandang Artaud: karya seni bukanlah karya yang bercerita tentang hidup, tetapi karya seni adalah hidup itu sendiri. Sebagaimana Bacon mencapai hal demikian lewat teknik tertentu dalam seni rupa, Artaud juga menawarkan teknik tertentu sebagaimana sempat disinggung: mengekstraksi bahasa dari makna, membuat bahasa terdengar seperti sebuah mantra, mengembalikan bahasa dalam statusnya sebagai bebunyian belaka.
Kita sudah sedikit banyak melihat adanya keserupaan antara proyek filsafat Derrida dan teater Artaud dalam menyerang logosentrisme. Derrida kemudian melanjutkan dalam tulisannya bahwa teater kekejaman seolah mengeluarkan Tuhan dari panggung, tetapi bukan hendak mengetengahkan wacana ateisme baru di atas panggung, atau mencanangkan kematian Tuhan. Praktik teater kekejaman adalah praktik non-teologis, karena yang teologis, lanjut Derrida, berasal dari panggung yang didominasi oleh wicara, keinginan untuk berbicara, yang berjarak dari respons terhadap ruang. Panggung yang teologis adalah panggung yang taat pada tradisi, menempatkan pengarang – pencipta dengan senjata teks dan makna yang merepresentasikan pikiran, niat, dan ide-ide sang kreator. Panggung semacam ini membiarkan ide-ide tersebut dijalankan oleh sutradara dan aktor, interpretator yang diperbudak oleh karakter, yang lewat apa yang mereka katakan, merepresentasikan pemikiran dari si “pencipta” (Derrida, 1980: 296). Panggung teologis, lanjut Derrida, adalah panggung yang memfasilitasi publik yang pasif, duduk, menonton, mengonsumsi.
Demikian apa yang Derrida maksud sebagai “mengeluarkan Tuhan dari panggung”, yakni membiarkan penampil siapapun di atas panggung menyuguhkan sensasi. Panggung tidak lagi dibaca sebagai teks, tetapi dirasakan sebagai “hidup”. Tuhan tidak berada di sana, dalam arti Tuhan yang serba mendikte, Tuhan yang dibekukan dalam teks dan bahasa. Dalam panggung teater kekejaman Artaud, kehadiran Tuhan dan representasi tentangnya hancur bersama “Incantation”. Dalam meresapi bahasa yang diekstraksi dari maknanya sebagaimana ditampilkan oleh teater kekejaman, kita, sebagaimana dituliskan oleh GF, tengah menghadapi (Tuhan) yang “tak terduga”. Inilah, lanjut GF, cara berteologi baru setelah era “kematian” Tuhan (hal. 77).
Jejak Religiusitas GF
Tanpa perlu bertele-tele, beberapa hari ke depan saya akan bertemu GF dan tinggal menanyakan langsung padanya: apa benar demikian? Tetapi itu bukan pokoknya, dan bukan letak keasyikan dari pembacaan terhadap GF melalui tulisan-tulisannya. Saya justru sedang membaca teks-teks GF dan berusaha melampauinya, membuka kemungkinan tentang GF yang mempraktikkan teater kekejaman lewat panggung non-teologis. GF sebagai santri dan pendakwah, tengah bermain di atas panggung, tetapi bukan panggung di mana Tuhan hidup di dalamnya (panggung yang dipandang Derrida berada di bawah rezim “author-god”), melainkan panggung sensasi: panggung yang mencerabut Tuhan dari apa-apa yang kita bayangkan dalam sebuah representasi, dengan maksud membuka diri terhadap yang “tak terduga”, yang dirasakan melalui “Incantation”.
Dalam labelnya sebagai pendakwah inilah, GF memiliki akses terhadap gagasan Tuhan yang representasional, yang membuatnya sekaligus mudah untuk menyerang langsung ke jantung teologisnya. Dalam arti demikian, GF sebenarnya tengah mendakwahkan “kematian” Tuhan, yang hanya bisa dihidupkan kembali lewat “ekspresi dinamis dalam ruang”, dalam bahasa yang mesti dilepaskan dari maknanya.
Pergulatan keimanan, pada akhirnya, adalah pergulatan atas representasi, tentang apa yang kita bayangkan sebagai Tuhan dan kekuasaan-Nya di atas “panggung teater kehidupan”. Dalam kapasitasnya sebagai pendakwah, GF tidak naik ke atas mimbar sebagai representasi “pikiran Tuhan” dalam bentuk logos. Ia enggan menempatkan jemaat (termasuk dirinya) sebagai penonton yang pasif dan sekadar mengonsumsi, tetapi lebih dekat untuk kita katakan: GF menghadirkan “kekejaman”, membuat kita merasakan Tuhan sebagai sebuah hidup. Tuhan adalah hidup itu sendiri.
Sampai nanti, Gus!
Referensi
Al-Fayyadl, M. (2023). Derridean. Malang: Edisi Mori.
Artaud, A. (1988). Selected Writings. (S. Sontag, Ed.). University of California Press.
Deleuze, G. (2003) Francis Bacon: The Logic of Sensation. London: Continuum
Derrida, J. (1980). Writing and Difference. University of Chicago Press.
Peeters, B. (2013). Derrida: A Biography. Polity Press.
===

Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/