Menatap Badai Nuklir

07ac078cd46c2b256ef266bde59f442e

Oleh Reza A.A Wattimena

Saya bermimpi semalam. Mimpinya aneh. Sejujurnya, saya jarang sekali bermimpi. Namun, ini perkecualian.

Saya berjalan bersama seorang teman. Kebetulan, ia adalah seorang ahli politik. Sudah lama, kami tak berjumpa. Di dalam mimpi itu, saya berjalan bersama dia, dan menyaksikan badai nuklir raksasa.

Bentuknya seperti awan besar yang berubah menjadi jamur raksasa. Beberapa  meledak di kejauhan. Ini seperti ketika melihat bom atom di Hiroshima dan Nagasaki di akhir perang dunia kedua lalu. Dalam hati, saya berkata, “Ah, akhirnya perang nuklir terjadi juga.”

Yang ditakuti seluruh dunia, kini terjadi. Pada saat itu, saya sama sekali tak tahu, bahwa saya sedang bermimpi. Semua begitu nyata. Ada perasaan sedih, takut, tetapi juga lega.

Manusia sudah merusak alam dan mahluk hidup lainnya dengan amat kejam. Bahkan, kita saling membunuh atas nama uang, agama dan kekuasaan. Jika kita hancur, semua bahagia. Saya pun merasa bahagia, jika manusia punah dari muka bumi ini.

Satu pertanyaan menyelinap di benak. Jika saya akan mati sebentar lagi, apakah hidup saya sudah bermakna? Apakah saya sudah sepenuhnya hidup? Pertanyaan tersebut begitu tajam menusuk, terutama di tengah ancaman kematian di depan mata.

Jujur, tekanan sosial mempengaruhi saya. Apa kata orang tentang diri saya, dulu, sangat menentukan cara berpikir saya. Pendek kata, saya ingin sukses, sesuai dengan keinginan keluarga dan masyarakat umum. Pada akhirnya, ini hanya berbuah penderitaan dan kekecewaan.

Saya pun melepas itu semua. Hidup terasa lebih ringan. Ada kebebasan dan kebahagiaan di dalamnya. Orang boleh berpikir dan berkata apapun tentang hidup saya.

Selama bertahun-tahun, saya juga terjebak pada pikiran saya sendiri. Saya mengira, pikiran saya itu benar. Saya juga mengira, bahwa pikiran saya itu sama dengan kenyataan. Penyesalan akan masa lalu dan kecemasan akan masa depan datang silih berganti sebagai sebentuk siksaan hidup tiada henti.

Emosi, sebenarnya, adalah sebentuk pikiran. Ia terasa lebih kuat di tubuh. Energi yang digunakan memang lebih besar. Selama bertahun-tahun juga, saya mengira, bahwa emosi saya memiliki kebenaran, dan terhubung langsung dengan kenyataan.

Keduanya tidaklah bersifat alami, dan tidak nyata. Pikiran dan emosi manusia adalah hasil bentukan sosial. Masyarakat dan keluarga mengajarkannya kepada kita, baik secara langsung ataupun tidak. Tanpa pemahaman ini, kita terjebak pada pikiran dan emosi yang terus menyiksa kita dari dalam, tanpa henti.

Jika aku bukanlah pikiran ataupun emosi yang ada, lalu, siapa aku? Bagaimana dengan tubuh? Sedikit perhatian akan membuat kita sampai pada kesimpulan, bahwa tubuh terus berubah. Tubuh hanyalah sekedar tumpukan sisa makanan yang diolah menjadi daging, tulang, darah dan otot.

Maka, diriku yang sebenarnya bukanlah tubuh maupun pikiranku. Ada dimensi yang lebih dalam dari itu semua. Itulah kehidupan, atau kesadaran, itu sendiri. Menyentuh dimensi ini adalah jawaban atas segala pertanyaan manusia, dan yang membuat hidupnya bermakna.

Menatap kematian, banyak orang bertanya kepada diri mereka, “Apakah aku sudah berguna untuk keluargaku, masyarakatku dan bangsaku?” Ini, menurut saya, omong kosong besar. Niat untuk menjadi berguna adalah sebentuk ego yang berbuah pada kesombongan belaka.

Menatap badai nuklir berarti menatap kematian. Tidak penting, apakah kita sudah berguna untuk sekitar. Tidak penting juga, jika kita sudah sukses, sesuai dengan keinginan lingkungan sosial yang ada. Yang sungguh terpenting adalah, apakah saya sudah memahami dan mengalami diri saya yang sejati.

Diri kita yang asli, dan sejati, berada sebelum pikiran dan emosi. Ia berada sebelum konsep, bahasa dan teori. Ia adalah kesadaran murni yang mencerap kenyataan sebagaimana adanya. Inilah pembebasan yang membawa kita keluar dari segala bentuk kebodohan dan penderitaan.

Saya sudah sering menulis dan berbicara soal ini. Namun, di tengah lebih dari 8 milyar manusia, paham ini masih terdengar asing, sehingga banyak orang menderita, dan saling menyakiti satu sama lain. Memang, saya menatap badai nuklir itu hanyalah mimpi. Namun, ancaman perang nuklir itu sungguh nyata di depan mata, dan jauh dari sekedar mimpi belaka.

Pagi hari, saya terbangun. Mimpi itu terasa begitu nyata. Menatap badai nuklir itu bukan hanya kecemasan saya, tetapi seluruh dunia. Sebelum itu sungguh terjadi, apakah kita sudah bangun, terbebas dan menjalani hidup yang bermakna? Silahkan direnungkan.

===

cropped-rf-logo-done-rumah-filsafat-2-1.png

Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

Dipublikasikan oleh

avatar Tidak diketahui

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Kesadaran, Agama dan Politik. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023), Zendemik (2024), Teori Politik Progresif Inklusif (2024), Kesadaran, Agama dan Politik (2024) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.