Oleh Reza A. Wattimena
Selasa, 7 November 2023. Saya duduk sebelah Mas Subhi (Direktur Pascasarjana Untuk Kajian Islam) dari Universitas Paramadina. Kami sedang menghadiri acara bedah buku Imajinasi Islam: Pikiran-pikiran Yang Membentuk Masa Depan. Ini buku untuk merayakan hari lahir Pak Komaruddin Hidayat, salah satu pemikir Islam terbesar di dunia, yang ke 70. Mas Subhi menjadi moderator, dan saya menjadi salah satu pemateri.
Mas Komar (begitu sapaan para sahabatnya) sedang memberikan tanggapan terhadap presentasi kami. Beliau menjelaskan, bahwa manusia adalah magnum opus (karya agung) dari Tuhan. Dengan akal budi dan nuraninya, manusia bisa terbuka pada pewahyuan Sang Ilahi. Dengan itu, manusia punya tanggung jawab besar untuk bersikap adil dan merawat semua kehidupan.
Saya seperti tersentrum. Spontan, saya bilang ke Mas Subhi yang duduk di sebelah saya. Pemikiran Mas Komar jatuh ke dalam antroposentrisme. Mas Subhi tersenyum, dan mengangguk.
Antropoteosentrisme
Antroposentrisme adalah pandangan yang melihat manusia sebagai mahluk tertinggi yang menjadi pusat dari kehidupan. Saya menambahkan, bahwa Mas Komar juga jatuh pada antropoteosentrisme. Ini adalah pandangan yang melihat manusia sebagai mahluk istimewa yang terhubung langsung dengan Tuhan, sehingga menempati tingkat tertinggi di dalam kehidupan. Pandangan ini lahir dari perenungan Mas Komar yang mendalam terhadap ajaran Islam, sekaligus dari beragam pandangan filsafat maupun sains yang juga ia dalami.
Menurut saya, ini adalah kekuatan sekaligus kelemahan dari Mas Komar. Perenungan mendalam membawa Mas Komar pada antropoteosentrisme. Namun, pandangan ini amat berbahaya, karena begitu mudah dipelintir untuk membenarkan dominasi manusia terhadap semua mahluk hidup. Hewan dan tumbuhan menjadi budak manusia, dan alam sebagai keseluruhan pun rusak. Inilah sisi gelap antropoteosentrisme yang harus terus mendapatkan tanggapan kritis.
Di dalam filsafat, kritik adalah tanda cinta. Kritik adalah tanda hormat murid terhadap gurunya. Jika mendalami sejarah filsafat, kita akan melihat percakapan yang amat bermutu antara berbagai pemikir, termasuk guru dan murid, tentang berbagai tema kehidupan. Kritik terhadap antropoteosentrisme dari Mas Komar kiranya juga menjadi tanda cinta saya terhadap guru saya tersebut.
Beberapa Argumen
Ada lima argumen yang ingin saya ajukan. Pertama, manusia bukanlah puncak tertinggi dari kehidupan. Manusia adalah bagian yang tak terpisahkan dengan seluruh alam semesta. Ia tidak lebih tinggi, dan tidak lebih rendah.
Tubuh manusia terdiri dari jutaan bakteri. Untuk bernapas, manusia membutuhkan tumbuhan. Untuk bisa makan, manusia membutuhkan tanah dengan jutaan serangga yang hidup di dalamnya. Manusia ada dalam jaringan maha luas dan amat indah dengan beragam jenis kehidupan lainnya.
Dua, yang kerap terjadi adalah sebaliknya. Manusia adalah mahluk hidup yang paling merusak. Dimana manusia hidup, alam rusak. Perkembangan sains dan teknologi modern harus dibayar dengan polusi, dan rusaknya ekosistem alam. Jika manusia punah dari muka bumi ini, maka seluruh ekosistem akan berkembang dengan gemilang.
Tiga, hewan dan tumbuhan memiliki moralitas alami. Ia tidak akan makan lebih dari kebutuhannya. Mereka tidak akan berperang, apalagi menciptakan senjata pemusnah massal yang bisa menghancurkan bumi ini. Hewan dan tumbuhan hidup dalam keseimbangan yang alami dengan segala yang ada.
Empat, dari sudut pandang ini, antropoteosentrisme menjadi tidak masuk akal. Ia juga berbahaya. Filsafat Asia dan ilmu biologi modern sudah melihat manusia sebagai semata bagian dari jaringan ekosistem kehidupan yang maha luas. Fisika kuantum juga sudah melihat, bahwa segala sesuatu selalu terkait dengan segala sesuatu dalam kedudukan yang setara. Inilah disebut juga sebagai theory of entanglement.
Lima, maka antropoteosentrisme harus dilampaui. Ia adalah pandangan yang mesti mengalami transformasi mendasar. Satu konsep kiranya bisa dipakai, yakni Ekologitas Holistik. Di dalam pandangan ini, manusia dilihat sejajar dengan seluruh elemen kehidupan sebagai keseluruhan. Manusia melengkapi sekaligus mewarnai kehidupan, sehingga semakin indah dan kaya.
Ekologitas holistik adalah pandangan yang melihat semua kehidupan itu berharga dan bermakna. Rantai makanan tentu terus berjalan. Ada proses memakan dan dimakan. Itu bagian dari pencarian keseimbangan alam.
Namun, itu semua terjadi dalam kadar yang sehat. Tidak berlebihan dan tidak kekurangan. Tidak terjadi perang, apalagi pembunuhan massal dan genosida. Manusia, hewan, tumbuhan dan semua mahluk merayakan keindahan warna warni kehidupan. Tak ada yang lebih tinggi, dan tak ada yang lebih rendah.
Di dalam teori transformasi kesadaran yang saya kembangkan, ekologitas holistik berada di tingkat kesadaran ketiga, yakni kesadaran holistik kosmik. Tak ada lagi perbedaan antara manusia dengan mahluk hidup lainnya. Semuanya hidup dalam jaringan keterkaitan maha luas yang tak terpisahkan. Ada kedamaian mendalam yang lahir dari kesadaran ini.
Pada Rabu 8 November 2023 jam 1.24 pagi ini, saya membayangkan dunia yang baru, dimana pandangan ekologitas holistik dipeluk oleh semua manusia. Saya belajar dari Mas Komar dengan Imajinasi Islam-nya. Saya juga berimajinasi tentang dunia yang baru, yakni dunia ekologis holistik dengan kesadaran seluas semesta itu sendiri…