Ketika Meludah Ke Langit

tumblr_ocb51iM0Bz1v16pwho2_1280Oleh Reza A.A Wattimena

Tiga minggu belakangan, karena saran dari teman dan guru saya, I Gede Agustapa, saya membaca buku biografi dari Siddharta Gautama. Gautama lebih dikenal sebagai sang Buddha, yakni orang yang sudah bangun sepenuhnya. Ia dianggap sebagai pendiri agama Buddha. Walaupun, saya selalu berpendapat, bahwa ajaran Buddha tidak hanya sekedar agama, melainkan ilmu untuk memahami gerak batin, serta menemukan keseimbangan dan kebahagiaan yang berkelanjutan di dalam batin manusia.

Penulis buku biografi itu adalah Thich Nhat Hanh, seorang Zen Master asal Vietnam. Ia terlibat di dalam perkembangan spiritual, sekaligus mendorong terciptanya perdamaian di dalam politik global. Judul bukunya adalah Old Path White Clouds: Walking in the Footsteps of the Buddha (Jalan Tua Awan Putih: Berjalan mengikuti Jejak Sang Buddha). Buku itu sudah diterjemahkan oleh Penerbit Karaniya, Jakarta.

Langit yang Diludahi

Ada banyak bagian yang menarik perhatian saya. Satu mengena dalam di hati. Suatu hari, Gautama berhadapan dengan seorang ahli agama. Setelah berdiskusi panjang, si ahli agama mulai merasa frustasi. Ia pun menghina Gautama dengan kata-kata kasar.

Satu titik, karena emosi yang membara di dada, ia meludah ke wajah Gautama. Murid-murid Gautama melihat itu, dan ingin menyerang si ahli agama yang bersikap kurang ajar tersebut. Gautama tetap diam dan tenang, serta meminta murid-muridnya untuk juga bersikap tenang. Si ahli agama yang telah meludah itu pun pergi meninggalkan mereka semua.

Mengapa Gautama tetap tenang dan diam, ketika dihina serta diludahi? Mengapa ia tidak membalas sikap yang menghina dari si ahli agama tersebut? Itulah pertanyaan yang muncul dari murid-muridnya. Jawaban Gautama sederhana: apa yang terjadi, ketika orang meludah ke langit?

Langit tak membalas. Langit itu seperti ruang yang bisa menampung semuanya, tanpa kecuali. Tak hanya itu, ketika orang meludah ke langit, air liurnya kembali ke si peludah. Orang terciprat oleh ludahnya sendiri.

Kiranya, pengalaman Gautama juga terjadi di dalam keseharian kita. Kita dihina dan diperlakukan tidak adil. Mungkin juga, kita diludahi. Namun, bisakah kita, seperti Gautama, bersikap seperti langit?

Tentang Diri

Mari kita teliti soal ini lebih dalam. Jika dihina seseorang, siapa yang sesungguhnya dihina? Jawaban langsung adalah diri kita. Namun, apakah “diri kita” itu?

Para ilmuwan dan filsuf banyak membahas tema ini. Ada beragam sudut pandang. Namun, satu hal yang kiranya disepakati bersama, bahwa diri adalah ciptaan dunia sosial. Diri, dan seluruh identitas diri manusia, adalah sebuah konstruk.

Ketika diri dihina, yang dihina adalah konstruk tersebut. Yang terluka akibat fitnah dan ketidakadilan adalah konstruk diri yang sama itu. Diri ini tidak diciptakan oleh alam. Ia terbentuk dari hubungan manusia dengan lingkungan sosialnya.

Diri itu juga relatif. Ia tidak sepenuhnya nyata. Ia sama sekali tidak permanen. Diri manusia itu terus berubah, sejalan dengan perubahan keadaan di sekitarnya.

Masalah muncul, ketika orang mengira, diri sosial tersebut adalah dirinya yang sejati. Ketika dihina, ia merasa terhina. Ketika difitnah, ia merasa terfitnah. Ketika diludahi, ia akan secara reaktif membalas dengan kekerasan yang, dianggapnya, setimpal.

Inilah yang disebut sebagai ketidaktahuan (Avidya). Orang mengira, diri sejatinya adalah sama persis dengan diri sosialnya. Ia pun menjadi sensitif. Ia menjadi gampang menderita dan bingung oleh perubahan keadaan, apalagi oleh tekanan sosial dari lingkungan sekitarnya.

Menjadi Langit

Tradisi Zen banyak membahas soal ini. bahkan, bisa dibilang, esensi terdalam dari Zen adalah membongkar ketidaktahuan akan diri ini. Diri sejati manusia berada sebelum pikiran. Ia bebas dari konsep dan bahasa, serta sepenuhnya mampu menampung segala yang ada, seperti langit yang tak berbatas.

Langit bisa menampung segala bentuk awan. Cuaca datang silih berganti. Pesawat dan beragam benda langit datang serta berlalu. Langit tetap terbuka luas, menampung segalanya, tanpa menolak, atau melekat pada apapun.

Meludah ke langit, maka air liur akan kembali ke si peludah. Begitu kata Gautama. Diri sejati kita, yang seperti langit tanpa batas, tidak bisa dihina. Ia tidak bisa difitnah, diludahi atau dilukai. Di dalam tradisi Zen, diri sejati manusia tak pernah lahir, dan tak pernah mati.

Kita perlu menyadari diri sejati kita yang seluas langit ini. Kita perlu melihat segala bentuk pikiran dan emosi, sama seperti langit melihat perubahan cuaca yang silih berganti. Kita perlu melihat segala peristiwa hidup ini yang penuh gejolak juga dengan pola serupa. Tak ada yang ditolak, dan tak ada yang dilekati, maka kebebasan yang hakiki pun lahir ke muka.

Saat ke saat, kita menjadi diri kita yang asli. Bagaikan langit, kita menampung segalanya, tanpa kecuali. Bagaikan ruang semesta yang tak terbatas, kita menerima segala yang terjadi, tanpa sakit hati. Kita mencapai keadaan batin yang disebut oleh para pemikir Yunani Kuno sebagai Ataraxia.

Menjadi langit adalah kebijaksanaan tertinggi. Kesadaran melingkupi segala bentuk pikiran dan emosi. Kesadaran memeluk segala peristiwa yang terjadi. Kejernihan untuk membuat keputusan pun lahir di dalam diri.

Ada waktunya, kemarahan mesti berkobar, dan kekerasan mesti dilakukan. Misalnya dalam keadaan perang untuk mempertahankan diri, atau untuk mewujudkan keadilan. Ada waktunya, kelembutan dan kasih diwujudkan menjadi kenyataan. Dalam arti ini, kebijaksanaan adalah kejernihan untuk membedakan beragam keadaan yang ada, supaya kita bisa tepat di dalam bersikap.

Menjadi langit berarti menjadi semesta. Tak ada aku, dan tak ada kamu. Tak ada yang lain, karena semua adalah bagian dari diriku, tanpa kecuali. Lalu, apa lagi yang mau dicari, ketika seluruh semesta sudah menyatu di dalam diri?

Dipublikasikan oleh

avatar Tidak diketahui

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Kesadaran, Agama dan Politik. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023), Zendemik (2024), Teori Politik Progresif Inklusif (2024), Kesadaran, Agama dan Politik (2024) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.