Filsafat dan Spiritualitas Geopolitik

Max-Ernst-LAnge-du-Foyer-1937.-Private-collectionOleh Reza A.A Wattimena

Afganistan. Irak. Amerika Serikat. Suriah. Sudan. Ukraina. Russia. Israel. Palestina. Indonesia. Mereka semua terlibat konflik berdarah. Ingatan dan trauma dimainkan. Dendam dan amarah diumbar lewat roket, bom dan peluru. Nyawa hilang. Harta benda hancur berantakan. Agama dijadikan alat untuk pembenaran kekerasan dan nafsu berkuasa yang busuk.

Inilah keadaan geopolitik dunia abad 21. Hubungan antar negara bersifat paradoksal. Kerja sama internasional makin erat. Namun, perang, konflik dan beragam bentuk kekerasan justru menjadi semakin rumit.

Perang dan perdamaian adalah roh peradaban. Tirani yang satu lahir, dan yang lain hancur. Dalam perjalanan waktu, yang bangkit akan runtuh. Rantai perang dan perdamaian, muncul dan lenyap, akan terus berulang secara abadi.

Nietzsche, filsuf Jerman, menyebutnya sebagai keberulangan yang sama secara abadi (Die ewige Wiederkunft des Gleichen). Hidup adalah sesuatu yang berulang tanpa henti. Peristiwa dengan pola sama akan terus terjadi, walaupun dengan pelaku yang berbeda.

Yang abadi adalah kehendak untuk berkuasa (Der Wille zur Macht) itu sendiri. Di balik setiap tindakan manusia, kehendak untuk berkuasa selalu menjadi dorongan utamanya. Tak ada yang lolos dari kehendak untuk berkuasa, kata Nietzsche. Bahkan tindakan yang paling luhur pun selalu terlumuri kehendak untuk berkuasa tersebut.

Para pemikir Stoa kiranya juga berpandangan serupa. Alam semesta bukanlah sesuatu yang abadi. Ia muncul dan lenyap berulang kali, tanpa henti. Di dalam filsafat Asia, konsep Samsara menggambarkan hal serupa, bahwa yang terjadi sekarang pernah terjadi dahulu, dan akan terus terjadi di masa depan, sampai manusia mencapai pembebasan.

Teori transformasi kesadaran kiranya relevan disini. Segala ragam konflik terjadi, karena sempitnya kesadaran manusia. Ia melihat perbedaan ilusif antara dirinya dengan mahluk lain. Ia terjebak pada tingkat kesadaran paling rendah, yakni kesadaran distingtif-dualistik.

Orang atau kelompok lain tidak dilihat sebagai manusia, melainkan sebagai obyek yang layak direndahkan, bahkan dimusnahkan. Ras lain layak disiksa dan dibunuh. Agama lain layak direndahkan dan dimusnahkan. Inilah ciri dari kesadaran distingtif-dualistik yang menjadi akar kebencian dan penderitaan manusia.

Beragam konflik ini juga selalu melibatkan agama kematian. Inilah agama yang membunuh segala yang membuat kehidupan indah dan berwarna. Inilah agama yang menghancurkan budaya leluhur, ibadahnya merusak ketenangan bersama dan menindas perempuan dari ujung kepala sampai ujung kaki. Inilah agama yang dimanapun ia hadir selalu mengundang penderitaan dan konflik.

Jika kita memilih untuk tetap berkesadaran sempit dan rendah, maka buahnya adalah konflik yang tak kunjung henti. Jika kita memilih untuk tetap ngotot memeluk agama kematian yang merusak, maka buahnya adalah penderitaan dan konflik abadi di tanah air kita sendiri. Indonesia harus belajar dari pengalaman bangsa-bangsa lain, dan dari masa lalunya sendiri. Kita harus berganti haluan, melepaskan agama kematian dan mengembangkan tingkat kesadaran kita sebagai bangsa.

Filsafat geopolitik menawarkan sudut pandang yang mendalam untuk memahami politik global. Spiritualitas geopolitik, dalam bentuk teori transformasi kesadaran dan teori tipologi agama, menawarkan kerangka analisis, sekaligus jalan keluar dari konflik global. Perdamaian dunia dan kemakmuran dunia tidak akan dapat dicapai, tanpa refleksi filosofis dan penerapan spiritualitas di dalam ranah geopolitik global.

Literatur lebih jauh soal Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama bisa ditemukan disini:

Teori Transformasi Kesadaran, Revisi 2

Teori Tipologi Agama

Dipublikasikan oleh

avatar Tidak diketahui

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Kesadaran, Agama dan Politik. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023), Zendemik (2024), Teori Politik Progresif Inklusif (2024), Kesadaran, Agama dan Politik (2024) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.