Oleh Reza A.A Wattimena
Afganistan. Irak. Amerika Serikat. Suriah. Sudan. Ukraina. Russia. Israel. Palestina. Indonesia. Mereka semua terlibat konflik berdarah. Ingatan dan trauma dimainkan. Dendam dan amarah diumbar lewat roket, bom dan peluru. Nyawa hilang. Harta benda hancur berantakan. Agama dijadikan alat untuk pembenaran kekerasan dan nafsu berkuasa yang busuk.
Inilah keadaan geopolitik dunia abad 21. Hubungan antar negara bersifat paradoksal. Kerja sama internasional makin erat. Namun, perang, konflik dan beragam bentuk kekerasan justru menjadi semakin rumit.
Perang dan perdamaian adalah roh peradaban. Tirani yang satu lahir, dan yang lain hancur. Dalam perjalanan waktu, yang bangkit akan runtuh. Rantai perang dan perdamaian, muncul dan lenyap, akan terus berulang secara abadi.
Nietzsche, filsuf Jerman, menyebutnya sebagai keberulangan yang sama secara abadi (Die ewige Wiederkunft des Gleichen). Hidup adalah sesuatu yang berulang tanpa henti. Peristiwa dengan pola sama akan terus terjadi, walaupun dengan pelaku yang berbeda.
Yang abadi adalah kehendak untuk berkuasa (Der Wille zur Macht) itu sendiri. Di balik setiap tindakan manusia, kehendak untuk berkuasa selalu menjadi dorongan utamanya. Tak ada yang lolos dari kehendak untuk berkuasa, kata Nietzsche. Bahkan tindakan yang paling luhur pun selalu terlumuri kehendak untuk berkuasa tersebut.
Para pemikir Stoa kiranya juga berpandangan serupa. Alam semesta bukanlah sesuatu yang abadi. Ia muncul dan lenyap berulang kali, tanpa henti. Di dalam filsafat Asia, konsep Samsara menggambarkan hal serupa, bahwa yang terjadi sekarang pernah terjadi dahulu, dan akan terus terjadi di masa depan, sampai manusia mencapai pembebasan.
Teori transformasi kesadaran kiranya relevan disini. Segala ragam konflik terjadi, karena sempitnya kesadaran manusia. Ia melihat perbedaan ilusif antara dirinya dengan mahluk lain. Ia terjebak pada tingkat kesadaran paling rendah, yakni kesadaran distingtif-dualistik.
Orang atau kelompok lain tidak dilihat sebagai manusia, melainkan sebagai obyek yang layak direndahkan, bahkan dimusnahkan. Ras lain layak disiksa dan dibunuh. Agama lain layak direndahkan dan dimusnahkan. Inilah ciri dari kesadaran distingtif-dualistik yang menjadi akar kebencian dan penderitaan manusia.
Beragam konflik ini juga selalu melibatkan agama kematian. Inilah agama yang membunuh segala yang membuat kehidupan indah dan berwarna. Inilah agama yang menghancurkan budaya leluhur, ibadahnya merusak ketenangan bersama dan menindas perempuan dari ujung kepala sampai ujung kaki. Inilah agama yang dimanapun ia hadir selalu mengundang penderitaan dan konflik.
Jika kita memilih untuk tetap berkesadaran sempit dan rendah, maka buahnya adalah konflik yang tak kunjung henti. Jika kita memilih untuk tetap ngotot memeluk agama kematian yang merusak, maka buahnya adalah penderitaan dan konflik abadi di tanah air kita sendiri. Indonesia harus belajar dari pengalaman bangsa-bangsa lain, dan dari masa lalunya sendiri. Kita harus berganti haluan, melepaskan agama kematian dan mengembangkan tingkat kesadaran kita sebagai bangsa.
Filsafat geopolitik menawarkan sudut pandang yang mendalam untuk memahami politik global. Spiritualitas geopolitik, dalam bentuk teori transformasi kesadaran dan teori tipologi agama, menawarkan kerangka analisis, sekaligus jalan keluar dari konflik global. Perdamaian dunia dan kemakmuran dunia tidak akan dapat dicapai, tanpa refleksi filosofis dan penerapan spiritualitas di dalam ranah geopolitik global.
Literatur lebih jauh soal Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama bisa ditemukan disini: