Oleh Reza A.A Wattimena
Mungkin, karena cuaca sedang panas. Jakarta tidak hanya dihantui polusi suara dari knalpot motor dan lolongan rumah ibadah agama kematian, tetapi juga oleh polusi udara yang parah. Hampir setiap hari, Jakarta menempati peringkat pertama sebagai kota paling jorok udaranya di dunia. Luar biasa. Begitulah dampak dari memilih kepala daerah sembarangan.
Sudah dua kali, saya melihat pertikaian di jalan. Beberapa teman juga bercerita, betapa mereka emosi tinggi di jalan-jalan Jakarta yang macet, kacau dan panas. Ini mempengaruhi kinerja mereka di kantor. Di rumah pun, mereka banyak berkonflik dengan pasangan hidup, hanya karena hal-hal sepele.
Intinya, kita jadi gampang marah. Hal-hal kecil biasanya bisa kita abaikan. Namun, kini, karena tekanan banyak hal, kita memilih untuk mengangkatnya ke atas. Konflik pun tak terhindarkan.
Belum lagi kita menantikan tahun politik. Pemilihan legislatif dan presiden akan dilangsungkan tahun depan. Suasananya sudah terasa sekarang. Manuver partai politik dan calon-calonnya membuat kita semua merasa muak, apalagi ditambah dengan begitu banyaknya papan iklan tidak bermutu yang dipasang di pinggir jalan-jalan Jakarta.
Dimana para penegak hukum dan penjaga keteraturan? Tentu saja, seperti biasa, mereka tidak kelihatan. Mereka sibuk dengan pencitraan untuk memperbaiki reputasi mereka yang sudah hancur dan membusuk. Mereka tidak peduli dengan mutu kinerja organisasi mereka yang, padahal, mendapatkan begitu banyak uang dari pajak rakyat.
Saya teringat pandangan dari Peter Sloterdijk, seorang pemikir Jerman. Ciri manusia yang terpendam adalah murka. Bukunya sendiri berjudul Zorn und Zeit: Politisch-psychologischer Versuch (Murka dan Waktu: Sebuah Penyelidikan Psikopolitis). Murka adalah dorongan manusia yang ditekan habis-habisan oleh agama. Di tangan ideologi tertutup, murka menjadi revolusi berdarah yang menumbangkan begitu banyak rezim politik.
Tidak seperti Sloterdjik, saya tidak ingin menggunakan kata murka. Itu terlalu berlebihan. Saya lebih ingin memahami kemarahan yang kita alami di dalam keseharian. Untuk itu, saya mengacu pada pemikiran Jason Quinn, salah seorang Zen Master dari Amerika Serikat.
Empat Jenis Kemarahan
Ada empat jenis kemarahan. Yang pertama adalah kemarahan yang berakar dari kelekatan (attachment anger). Kemarahan ini muncul, karena hak kita dirampas, atau diri kita merasa terhina. Ini jenis kemarahan yang paling sering terjadi di dalam keseharian.
Misalnya, mobil kita tergores. Kita menjadi marah. Ini terjadi, karena kita memiliki kelekatan pada mobil yang kita punya. Ini juga biasanya terjadi, jika kita merasa direndahkan oleh orang lain. Kita memiliki kelekatan dengan nama baik kita.
Yang kedua adalah kemarahan reaktif (reactive anger). Ini adalah kemarahan yang terjadi secara spontan. Orang dimaki, lalu balas memaki secara spontan. Tidak ada kesadaran di dalamnya.
Yang ketiga adalah kemarahan yang dirasakan/dipersepsi (perceived anger). Ada satu peristiwa terjadi, dan membuat kita marah. Kita memperhatikan kemarahan muncul di dada, dan menguat. Kita tidak melampiaskannya, tetapi tidak menekannya.
Kita hanya merasakannya. Ada setitik kesadaran disini. Ada juga seberkas kebijaksanaan disini. Namun, ada juga penderitaan yang muncul, karena orang, seringkali, tak mampu mengolah kemarahan yang datang.
Yang keempat adalah kemarahan Bodhisattva (Bodhisattva anger). Bodhisattva adalah sosok yang hidup untuk menolong semua mahluk keluar dari penderitaan. Kemarahan Bodhisattva adalah kemarahan untuk menolong semua mahluk. Ini adalah kemarahan yang muncul, ketika orang menatap ketidakadilan ataupun kekerasan yang terjadi, dan tergerak untuk memperbaiki keadaan.
Misalnya, kita melihat korban perang. Kita menjadi marah, karena pembiaran yang terjadi. Kita pun merasa sedih, karena begitu banyak korban jiwa yang ada. Kita tergerak untuk menolong dari kemarahan dan kesedihan yang kita rasakan.
Mengolah Kemarahan
Jika kemarahan muncul, atau apapun jenis emosi dan pikiran yang muncul, ajukan pertanyaan ini. Darimana sumber kemarahan ini? Kita mencari akar kemarahan yang bercokol di dalam diri kita. Setelah itu, kita akan menemukan kekosongan yang sadar (aware emptyness).
Kekosongan yang sadar itu adalah diri kita yang asli. Ia ada sebelum pikiran dan emosi yang muncul. Di dalam Zen, ini disebut juga sebagai batin yang tidak tahu (don’t know mind). Semua emosi dan pikiran lahir dari sini, dan akan kembali ke titik kekosongan ini.
Setiap kali kemarahan muncul, kita bertanya, “Darimana ini muncul?” Kita menengok ke dalam diri kita, dan menyentuh kekosongan yang sadar. Kita kembali menjadi stabil, dan bisa bertindak sesuai dengan keadaan. Ini dilakukan dari saat ke saat, dan bisa diterapkan untuk semua jenis pikiran maupun emosi, mulai dari marah sampai dengan kecemasan yang mencekik.
Cara ini memberikan kita jeda antara rasa marah, dan tindakan kita. Jika kita bisa melihat, bahwa kemarahan kita adalah kemarahan Bodhisattva, maka kita bisa menggunakannya untuk kebaikan. Kemarahan Bodhisattva adalah kemarahan untuk menolong semua mahluk, sesuai dengan kemampuan yang ada. Namun, jika kemarahan kita adalah kemarahan karena kelekatan atau reaksi, kita bisa melenyapkannya seketika dengan kembali bertanya: darimana ini datang?
Cara lain adalah dengan kembali ke apa yang sedang kita lakukan. Ini adalah cara untuk melepas semua emosi dan pikiran yang datang. Kalau sedang berjalan, ya berjalanlah dengan sadar penuh. Jika sedang duduk, ya duduklah dengan kesadaran penuh. Dengan cara ini, kita bisa melepaskan semua emosi dan pikiran yang menyiksa batin kita.
Ada waktunya juga, kita perlu membuat keadaan menjadi jelas dari kemarahan kita. Kita perlu berbicara, dan menjelaskan duduk masalahnya. Kita perlu berkomunikasi dengan jelas, jujur, benar dan bebas. Ini bisa dilakukan, jika kita memiliki kejernihan di dalam berpikir, dan tidak diperbudak oleh emosi kita sendiri.
Pada akhirnya, kemarahan adalah sebuah energi. Kita tidak perlu membenci atau menghakiminya berlebihan. Cukup kembali ke sumber kemarahan tersebut, yakni kekosongan yang sadar. Kita juga bisa kembali sadar pada apa yang sedang kita lakukan saat ini. Lalu, kita bisa memutuskan, apakah kemarahan perlu berubah menjadi tindakan (kemarahan Bodhisattva), atau sebaiknya dilenyapkan sama sekali.
Inilah kebebasan yang sesungguhnya.
====
Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/