Oleh Reza A.A Wattimena
Suatu hari, saya naik kereta di Jakarta. Saya duduk, dan, seperti biasa, bermeditasi. Sesuatu menarik perhatian saya. Semua orang memegang ponsel cerdasnya, dan sedang menonton sesuatu.
Jempolnya mereka terus bergerak. Kadang, mereka tersenyum. Sebagian tidak menampilkan ekspresi wajah yang jelas. Saya merasa, mereka seperti zombie yang tergiur oleh cahaya dan video yang disebarkan oleh ponsel cerdas tersebut.
Kecanduan Gawai
Memang, di abad 21 ini, kecanduan gawai dan media sosial adalah sesuatu yang nyata. Secara global, ada 6,5 milliar manusia yang menggunakan gawai. Artinya, ada sekitar 80 persen manusia di seluruh dunia ini yang terhubung ke internet dan beragam layanan media sosial yang ada. Ini adalah jumlah yang sangat besar.
Pengguna ponsel cerdas biasanya mengecek gawai mereka sekitar 150 kali sehari. Artinya, setiap 6,7 menit, mereka melihat ponsel mereka. Secara rata-rata global, orang menghabiskan hampir empat jam setiap harinya dengan gawai mereka. Ini mencakup kegiatan melihat media sosial, texting, bermain game dan berselancar di internet.
Masalah pun muncul. Banyak orang mengalami kecanduan gawai, atau ponsel cerdas mereka. Ini terjadi banyak di kalangan anak muda. Di Amerika Serikat, sebagaimana dikutip Pew Research Center, 69 persen remaja mengalamai kecanduan gawai. Data di Indonesia masih beragam, namun, saya bisa pastikan, jumlahnya cukup besar. (Data saya peroleh dalam diskusi dengan kecerdasan buatan BARD milik google)
Orang yang kecanduan gawai akan terdorong terus untuk memegang gawai yang mereka punya. Dorongan itu, kerap kali, tak tertahankan. Jika tak dipenuhi, dorongan menggunakan gawai ini akan menciptakan rasa cemas dan gelisah. Tak jarang, gawai digunakan sebagai pengalihan dari masalah-masalah hidup yang semestinya dihadapi langsung.
Di dalam semua proses tersebut, kehidupan pun terbengkalai. Pekerjaan terlupakan. Hubungan dengan manusia lain menjadi rapuh dan dangkal. Hidup menjadi sempit dan depresif.
Semua terjadi, karena orang terpikat orang pesona gawai dengan beragam bentuk media sosial di dalamnya. Salah satu dampak terbesarnya pun adalah krisis membaca. Dua hal ini, kecanduan gawai dan krisis membaca, tidak bisa dipisahkan. Dampaknya pun amat besar untuk kehidupan manusia.
Krisis Membaca
Ketika orang tenggelam dalam pesona gawai, membaca pun terlupakan, dan krisis membaca pun terjadi. Dalam arti ini, krisis membaca adalah rendahnya kemampuan membaca di berbagai kalangan usia. Hal ini memiliki akibat yang sangat luas. Anak yang tak suka membaca cenderung rendah prestasinya di sekolah, bahkan keluar dari proses pendidikan formal.
Ketika bekerja, mereka akan mendapatkan upah yang lebih kecil. Tak jarang pula, mereka terlibat di dalam berbagai tindakan kriminal. Di dalam masyarakat demokratis, warga yang malas membaca akan cenderung mudah ditipu. Ketika pemilihan umum tiba, mereka cenderung tidak menggunakan nalar sehat dan kritis di dalam memilih. Secara umum, mereka juga tidak banyak terlibat di dalam berbagai kegiatan untuk kebaikan bersama.
Krisis membaca berisi beberapa hal. Yang pertama adalah ketidakmampuan memahami apa yang tertulis secara utuh. Yang kedua adalah lemahnya perhatian untuk memahami informasi yang terdapat di dalam tulisan. Yang ketiga adalah minimnya kemampuan berkomunikasi, terutama di dalam memilih kata yang tepat untuk menyampaikan pikiran maupun perasaan. Yang keempat adalah lemahnya kemampuan untuk menganalisis keadaan, dan kemudian membuat keputusan yang masuk akal atasnya.
Kecanduan gawai berperan penting dalam empat hal tersebut. Orang yang kecanduan gawai akan sangat sulit memahami tulisan yang lebih panjang. Ia menjadi sulit untuk membaca teks yang mendalam. Ini terjadi, karena gawai memang dirancang untuk merangsang perhatian pendek dan dangkal dari penggunanya.
Penting untuk melepas gawai dari waktu ke waktu. Penting juga untuk berani berhadapan dengan pikiran maupun perasaan yang muncul, termasuk bosan, cemas, takut dan sebagainya. Semua ini memainkan peranan penting di dalam menjaga keseimbangan batin dan kesehatan mental. Namun, ada hal-hal lain yang lebih penting dan mendasar dari semua ini.
Sekaratnya Akal Sehat dan Tumpulnya Nurani
Pertama, akal sehat melemah. Perhatian menjadi pendek dan dangkal. Orang tak lagi mampu mengolah argumen yang mendalam dan panjang. Secara keseluruhan, justru dengan perkembangan teknologi pembelajaran, media sosial dan ponsel cerdas, manusia justru menjadi semakin bodoh dan dangkal.
Dua, dengan lemahnya akal sehat, kemampuan analisis akan menurun. Orang tak mampu memahami masalah yang ada di depan mata. Pun jika berusaha, ia hanya akan memahami kulitnya saja. Keputusan yang diambil pun juga cenderung tidak tepat, karena lemahnya daya analisis yang ada.
Tiga, daya kritis juga melemah, akibatnya kecanduan gawai dan krisis membaca. Orang jadi mudah ditipu. Mereka jadi mudah percaya pada hal-hal yang belum jelas kebenarannya. Di dalam demokrasi, mereka akan mudah diadu domba oleh informasi palsu, sehingga konflik dan kekacauan pun dengan mudah tercipta.
Empat, karena perhatian yang lemah dan akal sehat yang rendah, orang juga tak memiliki kepekaaan sosial. Solidaritas menjadi lemah. Pun jika ada, solidaritas, seperti di Indonesia, akan bermuara pada konflik dan kekerasan. Solidaritas kerap kali didasari kepentingan sempit kelompok atau golongan belaka, dan bukan kebaikan bersama seluruh masyarakat.
Lima, kecanduan gawai dan krisis membaca akan membuat orang juga kecanduan sensasi. Ia ingin dihibur secara tanpa henti. Percakapan yang serius, kritis dan rasional akan menjadi sulit dicerna. Di dalam demokrasi, dimana warga dituntut untuk cerdas dan kritis, ini menjadi tantangan yang amat besar.
Enam, semua ini akan bermuara pada sikap egois. Orang hanya memikirkan dirinya dan kelompoknya. Di dalam teori transformasi kesadaran, orang terjebak pada kesadaran distingtif-dualistik. Ia melihat orang dan kelompok lain sebagai obyek, bahkan musuh yang mesti dihancurkan. Kecanduan gawai dan krisis membaca berperan besar di dalam terciptanya keadaan yang membuat orang terjebak pada tingkat kesadaran yang paling rendah ini.
Tujuh, Habermas, pemikir Jerman, melihat komunikasi yang bebas dominasi, egaliter dan tanpa paksaan menjadi jalan keluar dari semua masalah di dalam masyarakat. Komunikasi semacam ini hanya dapat terjadi, jika orang mampu mengambil alih sudut pandang orang lain yang menjadi rekan komunikasinya. Artinya, orang mampu bersimpati dan berempati dengan rekan bicaranya. Kecanduan gawai, krisis membaca dan sekaratnya akal sehat membuat komunikasi ini menjadi amat sulit, bahkan tidak mungkin.
Delapan, dalam soal beragama, dampaknya pun besar. Lemahnya akal sehat dan tumpulnya nurani membuat orang mudah jatuh ke dalam radikalisme agama. Ia merasa, tafsirannya yang paling benar, dan merendahkan kelompok lain. Ia menindas perempuan, dan menghancurkan budayanya sendiri. Tak jarang, mereka menjadi pelaku terorisme yang menghabisi nyawa orang lain.
Sembilan, kecanduan gawai dan krisis membaca telah melemahkan demokrasi di berbagai negara. Indonesia pun terkena dampak ini. Apalagi, demokrasi Indonesia masihlah muda dan rapuh. Ini membuat tantangan demokratisasi di Indonesia menjadi semakin besar.
Sepuluh, kecanduan gawai juga membuat manusia menjadi tak sabar. Dengan gawai, orang bisa mendapatkan semuanya dengan cepat dan mudah. Ini membuat orang tak lagi mampu menjalani proses yang diperlukan dengan tekun dan sabar. Ini membuat komunikasi dan hidup bersama secara keseluruhan menjadi penuh emosi merusak.
Sebelas, waktu hening pun lenyap. Orang menghabiskan hidupnya tenggelam di dalam dunia digital, sehingga kehilangan keheningan yang merupakan inti dari kehidupan. Padahal, dari keheningan, manusia bisa menyentuh kreativitas dan kebijaksanaan alami yang berada di dalam dirinya. Ketika keheningan hilang, kreativitas menjadi dangkal, dan kebijaksanaan pun ikut lenyap.
Dua belas, orang yang kecanduan gawai dan krisis membaca dengan mudah menjadi budak dari kapitalis global. Mereka menjadi konsumtif, karena terus tergoda iklan tanpa henti dari gawainya. Banyak juga yang terlilit hutang, karena membeli barang-barang yang tak perlu untuk memuaskan gaya hidupnya. Tak hanya kedangkalan yang dirasakannya, stress dan depresi pun menjadi bagian dari hidup manusia semacam itu.
Lalu Bagaimana?
Untuk keutuhan akal sehat, kepekaan nurani serta kesehatan mental, kita perlu melakukan puasa digital. Gawai dilepas. Media sosial ditinggalkan. Kita pun berhubungan dengan manusia lain di dalam perjumpaan tubuh dan batin yang nyata.
Kita juga perlu untuk kembali membaca. Kita perlu belajar mengolah argumen yang mendalam dan rumit. Ini amat penting untuk membentuk cara berpikir yang rasional dan kritis di dalam diri kita. Ini juga penting untuk meningkatkan kemampuan komunikasi kita di dalam masyarakat demokratis, termasuk memperkaya kosa kata, melatih kesabaran, meningkatkan kemampuan mendengarkan serta meningkatkan ketajaman analisis atas keadaan yang ada.
Hanya dengan begini, kita bisa memperoleh manfaat dari perkembangan teknologi yang ada. Kita menggunakan teknologi, dan menjadi tuan atasnya. Kita tidak menjadi obyek dari teknologi, apalagi budak teknologi maupun kapitalisme global yang terus berubah. Tunggu apa lagi?
====
Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/