Oleh Reza A.A Wattimena
Malam ini, angin kipas berhembus. Angin menyentuh wajah dan tubuhkku. Ada suara tukang nasi goreng lewat. Tetangga berkumpul bercengkerama, menyambut akhir pekan.
Cuaca hangat. Badan agak berkeringat. Saya sedang berada di depan komputer. Saya menulis.
Sengaja, saya memasang musik. Ini playlist dari youtube. Judulnya musik klasik untuk menulis. Suara piano menemani malam yang hangat ini.
Perhatian ke saat ini (now). Perhatian saya ke tempat ini (here). Ada rasa hening (silence). Ada keabadian (eternity) di kesekarangan.
Semua sudah sempurna sebagaimana adanya. Inilah kebenaran tertinggi. Tak perlu teori dan konsep yang rumit. Tak perlu dogma dari ribuan tahun lamanya yang sudah membusuk.
Musik berganti. Suara violin terdengar. Suaranya pelan dan lembut. Di dalam kelembutannya, saya semakin hanyut ke dalam “kesekarangan-kedisinian-kesedemikianadanya”.
Waktu pun lenyap. Sesungguhnya, tak ada waktu. Tak ada masa lalu. Tak ada masa depan. Semuanya adalah “kesekarangan-kedisinian-kesedemikianadanya”, asal kita memperhatikannya secara seksama. Masa lalu, masa kini dan masa depan selalu sudah melebur ke “kesekarangan-kedisinian-kesedemikianadanya”.
Ruang pun juga lenyap. Segalanya selalu ada disini. Semua yang ada selalu ada disini. Tempat dan jarak hanya konsep ciptaan pikiran yang membuat kita tersesat serta bingung.
Tak perlu juga mencari surga terlalu jauh. Tak perlu pergi ke tanah gurun asing untuk buang uang percuma. Tak perlu berteriak-teriak atau menangis meraung-raung mengejar sang pencipta. Semua itu sudah ada disini dan saat ini, yakni “kesekarangan-kedisinian-kesedemikianadanya”.
Kita hanya perlu memperhatikannya. Tak lebih. Tak kurang. Sesederhana dan segampang itu.
Saya duduk. Jari ini menyetuh papan ketik. Suara violin terdengar. Tukang sekoteng hangat lewat. Saya keluar, memanggilnya…