Oleh Reza A.A Wattimena
Senyumnya sumringah. Gayanya dipoles habis oleh konsultan politik. Ia ingin tampil memikat. Ia ingin menarik simpati, guna menutupi borok masa lalunya.
Ia mengunjungi mantan korbannya. Dulu, ia menangkap dan menyiksa mahasiswa. Kini, untuk memikat suara rakyat, ia mengunjungi mereka. Semua adalah sandiwara yang dimainkan untuk merebut kekuasaan, lalu menindas semua musuh politiknya, maupun seluruh bangsa Indonesia itu sendiri.
Saya teringat Adolf Hitler di Jerman di awal 1930-an. Ia memiliki partai, dan berambisi untuk menjadi pemimpin politik di Jerman. Ia mengikuti semua prosedur, membangun citra yang memikat, lalu terpilih. Setelah itu, ia menghabisi semua lawan politiknya, mengirim mereka dan jutaan orang Yahudi ke kamp konsentrasi, serta memulai perang dunia kedua yang tidak hanya menghancurkan Eropa, tetapi juga mengguncang seluruh dunia.
Hitler memikat seluruh Jerman untuk memilihnya. Lewat Olimpiade 1936, ia berusaha memikat dunia. Hitler tidak sendiri disini. Ia dibantu oleh Joseph Goebbels, bapak propaganda dari partai NAZI Jerman.
Propaganda dan Ideologi
Propaganda adalah upaya untuk menyebar kepalsuan secara beruntun. Ia menumpang hal-hal baik untuk menutupi kebusukan aslinya. Propaganda punya kekuatan besar menciptakan citra palsu untuk politik. Ia bisa membuat yang baik jadi jahat, dan yang jahat menjadi baik.
Karl Marx, pemikir Jerman, melihat propaganda sebagai unsur dari ideologi. Dalam arti ini, ideologi adalah kesadaran palsu (falsches Bewusstsein). Orang memiliki pemahaman yang salah tentang dunia. Orang tertipu oleh propaganda yang rumit dan canggih, yang disebarkan oleh penguasa busuk, serta kerap kali menggunakan ajaran agama yang dipelintir secara serampangan.
Tiran tampak sebagai sosok yang baik hati. Penguasa busuk terlihat memikat dipoles oleh para konsultan politik yang licik. Pemuka agama korup dideret untuk menampakan dukungannya terhadap sang tiran. Semua demi memuaskan gairah kekuasaan yang bergejolak di dalam batin, dimana akal sehat dan nurani sudah luntur.
Maka, ideologi adalah sesuatu yang perlu untuk terus ditanggapi secara kritis. Inilah kiranya yang menjadi misi utama dari Teori Kritis Frankfurt. Kritik terhadap segala bentuk penindasan menjadi tugas utama teori dan filsafat. Tujuan utamanya adalah pembebasan dari kesadaran palsu, atau pembebasan dari ideologi hasil propaganda itu sendiri.
Di masa digital, ideologi mengambil pola simulakra politik, sebagaimana diungkapkan oleh Jean Baudrillard, seorang pemikir Perancis. Inilah politik tipu-tipu, atau politik seolah-olah. Ini sebenarnya gaya lama dengan bungkus baru. Penguasa busuk ingin memperoleh kedudukan politik dengan menipu rakyatnya melalui beragam cara yang ada, terutama dengan menunggangi teknologi digital.
Serigala berbulu domba, begitu kata pepatah lama. Di masa digital ini, politik memang menjadi semacam simulakra. Semua hanya penampakan, tanpa isi yang kokoh dan jelas. Maka dari itu, radar pikiran kritis kita harus terus menyala, supaya tidak tertipu oleh beragam pesona memikat yang ada dari para politisi busuk.
Transformasi Kesadaran
Politisi busuk hidup dengan tingkat kesadaran sangat rendah. Di dalam kerangka teori transformasi kesadaran, mereka hidup dalam kesadaran distingtif-dualistik yang sangat kuat. Ilusi keterpisahan menciptakan sikap egois, rakus dan kompetitif. Konflik, korupsi dan tata politik yang berantakan pun tak terhindarkan.
Maka, transformasi kesadaran mutlak untuk dilakukan. Kesadaran harus terbuka, dan kembali ke bentuk alamiahnya. Kesadaran, sejatinya, seluas semesta. Di titik ini, orang mengalami segala yang ada sebagai bagian dari dirinya, sehingga cara berpikir maupun perilakunya juga mempertimbangkan semua unsur secara seksama.
Saya merindukan lahirnya intelektual organik, sebagaimana dikatakan oleh Antonio Gramsci, pemikir Italia. Inilah intelektual yang asli, yang lahir dari masyarakat itu sendiri. Ia berpikir tidak hanya untuk kekuasaan maupun kepentingan elit, tetapi dari sudut pandang yang lebih luas. Pada titik kesadaran yang lebih tinggi, seperti tingkat ketiga di dalam teori transformasi kesadaran (kesadaran holistik-kosmik), ia melihat alam semesta sebagai bagian dari pertimbangan intelektual maupun politiknya.
Ini tentunya berbeda dengan intelektual busuk. Inilah kaum pemikir yang dikendarai oleh politisi korup. Penelitian dan teori mereka hanyalah mengabdi kepentingan korup para penguasa busuk. Mereka pun, sesungguhnya, menjadi budak dari kekuasaan.
Di dalam politik, tidak ada yang terlihat sebagaimana adanya. Kebohongan bertebaran di segala penjuru. Menjelang 2024, Indonesia juga penuh dengan kepalsuan lewat propaganda, dan tersebarnya ideologi sebagai kesadaran palsu, terutama dari penguasa yang sudah berulang kali ditolak, namun tetap ngotot untuk berkuasa. Ada yang busuk di dalamnya, dan kita perlu untuk terus tajam serta kritis, supaya tidak tertipu.