Oleh Reza A.A Wattimena
Si capres (calon presiden) ingin memindahkan makam. Entah untuk apa. Kemungkinan besar untuk cari suara. Di abad 21 ini, ketika kita memasuki revolusi kuantum, sementara revolusi digital sudah mulai berlalu, si capres sibuk memikirkan makam untuk cari simpati. Saya tak bisa berkata-kata…
Si capres sedang bernostalgia. “Dulu!…”, katanya berapi-api. Para sejarahwan mungkin kebingungan. Sejarah si capres lebih mendekati imajinasi dan halusinasi.
Si capres juga takut dengan kekuatan “aseng”. Biasanya, Cina dan Yahudi digunakan untuk menakut-nakuti rakyat. Rakyat yang takut akan tumpul akal sehatnya. Mereka pun gampang ditipu oleh politisi busuk, seperti si capres itu sendiri.
Si capres menggunakan politik primordial. Inilah politik yang bermain dengan emosi masyarakat. Ia menggunakan contoh-contoh kuno/primitif untuk mengobarkan kemarahan dan rasa takut. Ia menggunakan cara berbicara yang keras untuk memecah belah.
Politik primordial ini dibalut dengan tampilan yang manis. Ia seolah ramah pada semua pihak. Ia seolah sudah bertobat. Padahal, itu semua topeng untuk merebut hati rakyat saja. Dalam konteks ini, ada delapan hal yang penting untuk diperhatikan.
Pertama, dari sudut teori transformasi kesadaran, politik primordial bergerak dengan jenis kesadaran yang paling rendah, yakni kesadaran distingtif-dualistik. Politisi dengan kesadaran ini menciptakan perpecahan di dalam hidup bersama. Mereka melihat dunia dengan kaca mata ilusi keterpisahan (illusion of separation). Di tangah merekalah konflik dan perang di dalam segala bentuknya terjadi.
Dua, karena kesadarannya amat rendah, maka emosi yang dimainkan. Rasa takut dan rasa marah adalah dua senjata utamanya. Jika rakyat takut, maka mereka akan menjadi bodoh. Kemarahan lalu menjadi buahnya, sehingga konflik antar kelompok, dan bahkan antar bangsa, tak terhindarkan.
Tiga, dengan kesadaran yang rendah dan sempit, si capres primordial menggunakan data ilmiah untuk menipu rakyat. Ia ingin supaya tampil ilmiah dan cerdas. Namun, semua itu hanya topeng. Si capres primordial hanya ingin menipu rakyat, supaya ia bisa memperoleh kekuasaan untuk menindas banyak orang.
Empat, kesadaran distingtif-dualistik melihat perbedaan di antara segala sesuatu. Buah dari rasa keterpisahkan (Trennungsgefühl) ini adalah permusuhan. Si capres primordial, yang terjebak di tingkat kesadaran ini, memendam kemarahan dan ambisi yang tak rasional untuk berkuasa. Maka dari itu, cara berbicaranya berapi-api, walaupun miskin isi yang bermutu.
Lima, si capres dengan kesadaran distingtif-dualistik tak mampu melihat kenyataan secara jernih. Ia tertutup oleh kebodohan dan kemarahan. Maka, cara berpikir dan cara berbicaranya miskin dari substansi. Sedikit sikap kritis akan langsung menyibak kegelapan yang hadir di dalam jiwa si capres primordial tersebut.
Enam, bentuk konkret dari politik dengan kesadaran distingtif-dualistik adalah politik identitas (Identitätspolitik). Di dalam politik ini, identitas dipermainkan untuk membakar emosi, serta menciptakan permusuhan. Dari permusuhan ini, rasa takut dan rasa marah akan menjadi dominan. Akal sehat runtuh, dan si capres primordial busuk pun bisa dengan mudah merebut kekuasaan, lalu menindas semua orang.
Tujuh, politik primordial adalah politik adu domba. Kesatuan dan solidaritas runtuh dihadapan kebohongan serta ketakutan. Konflik pun lalu menjadi keniscayaan yang tak terhindarkan. Penderitaan, yang lahir dari kesadaran distingtif-dualistik yang lestari, pun terjadi di semua tingkat kehidupan, mulai dari politik sampai dengan hidup pribadi banyak orang.
Delapan, politik primordial juga berkembang dengan pencitraan besar. Ia menggunakan politik simulakra, yakni politik tipuan untuk mengelabui rakyat. Si capres primordial juga bergerak dengan politik simulakra di 2023 ini. Ia bergaul dengan semua pihak, guna menciptakan kesan, bahwa ia adalah pembawa persatuan dan perdamaian.
Sebagai simulakra, ia tak sungguh ada. Ia hanya seolah-olah ada. Kesadaran sejarah dan sikap kritis diperlukan, supaya kita, sebagai rakyat, tidak tertipu. Di balik senyum yang menjangkau semua pihak, ada rasa haus kekuasaan yang begitu besar, dan nafsu untuk menindas yang tak bisa tertahankan.
Di Indonesia, politik primordial tak bisa dibiarkan berkembang. Ia harus dihadapi dengan politik rasional (Vernunftspolitik). Dari sudut teori transformasi kesadaran, politik rasional bergerak di tingkat kedua dan tingkat ketiga. Tingkat kedua adalah kesadaran immersif, dimana solidaritas dan empati sudah bertumbuh. Sementara, tingkat ketiga adalah kesadaran holistik-kosmik, yakni ketika orang menyadari kesatuan dari dirinya dengan segala yang ada di alam semesta.
Buahnya adalah keadilan, kemakmuran dan perdamaian. Sebagai rakyat, kita punya kekuatan untuk menggerakkan politik Indonesia. Mari tinggalkan politik primordial ala si capres busuk, dan memeluk politik rasional. Kita perlu sungguh jeli dan kritis dalam hal ini.
Jangan ditunda lagi.