Ketika Tak Lagi Bercerita

surrealistic-art-techniques-800x800Oleh Reza A.A Wattimena

Sabtu itu, hari tampak penuh. Saya membuat tiga janji. Di pagi hari, saya sarapan, lalu bersiap berangkat. Sekitar jam 9 pagi, cuaca tampak cerah.

Karena Sabtu, jalanan Jakarta lenggang. Ada orang-orang yang bersepeda. Janji pertama jam 12 siang nanti. Saya memutuskan datang lebih awal, karena ingin membeli beberapa barang untuk keperluan rutin.

Semua sudah beres. Sekitar jam 11.30, ada pesan masuk. Teman saya baru berangkat. Padahal, rumahnya di luar kota.

Kita membuat janji jam 12. Dia berangkat jam 11.30. Perjalanan membutuhkan waktu 1,5 jam lebih. Janji pertama batal dan gagal.

Sudah seringkali, saya mengalami ini. Orang membuat janji, tapi datang terlambat. Banyak sekali alasannya. Indonesia. Begitulah adanya.

Saya pun pulang. Ternyata, cuaca hujan, ketika saya berkendara. Hujannya cukup lebat. Saya kebasahan, lalu memutuskan berhenti untuk memakai jas hujan.

Tak lama kemudian, cuaca berubah menjadi cerah, bahkan panas. Jas hujan menjadi terasa tak nyaman, karena panas. Saya berhenti di tengah jalan, dan melepas jas hujan. Sampai rumah, karena belum makan siang, saya kelaparan.

Janji Kedua

Tak banyak pilihan di rumah. Akhirnya, saya memesan mie. Setelah makan siang, saya pergi untuk berjumpa dengan teman (janji kedua). Cuaca panas terik.

Jalanan macet total. Mobil tak bergerak. Motor bertingkah biadab, dan memotong dari segala penjuru. Banyak juga yang melawan arah. Seperti biasa, tak ada polisi yang mengatur.

Badan saya lelah sekali. Baju lengket oleh keringat. Teman saya datang. Kami berjumpa, dan kemudian berbincang sampai malam hari.

Janji Ketiga

Setelah selesai, saya bergegas ke parkiran motor. Saya hendak pergi untuk memenuhi janji ketiga. Baru berkendara sebentar, cuaca berubah menjadi hujan deras. Di tengah jalan, saya berhenti, dan memakai jas hujan.

Hari itu, saya terus kehujanan. Jalanan juga sangat macet. Badan saya sangat lelah. Namun, karena sudah berjanji, saya tetap bergegas.

Perjumpaan dengan teman pun terjadi. Kami berbincang cukup lama, sambil makan malam. Saya pun pulang, masih dengan cuaca hujan. Jalan sudah lebih lapang.

Tak Bercerita

Sehari itu, kegiatan saya penuh. Banyak tantangan dan hiburan. Namun, saya tak membuat cerita. Saya menjalani semua sebagaimana adanya.

Saya tak membuat cerita. Kadang emosi datang, lalu pergi berganti. Perasaan dan pikiran datang silih berganti. Saya tidak menganalisis, atau membuat cerita tentangnya.

Saya hanya mengamati pikiran dan perasaan yang datang dan pergi. Saya tidak mengomentarinya. Saya tidak membuat cerita atasnya, atau menganalisisnya. Segala kegiatan, baik fisik maupun batin, hanya dialami sebagaimana adanya.

Segalanya lalu menjadi pengalaman murni (pure experience). Ia tidak dikotori oleh cerita. Ketika tak lagi bercerita, orang lalu mencapai pencerahan. Ia bisa mengalami beragam kesulitan dalam keseimbangan.

Ketika perasaan dan pikiran diamati, mereka bersembunyi. Mereka bertingkah malu-malu. Pengamatan penuh kesadaran akan melenyapkan segala bentuk pikiran dan perasaan. Yang tersisa hanyalah kesadaran murni yang mengalami dunia sebagaimana adanya.

Tak Ada Dasar Untuk Cerita

Membangun cerita atas pengalaman sebenarnya sebuah kesalahan berpikir. Cerita berpijak pada dua hal. Yang pertama adalah keberadaan entitas yang permanen di dalam kenyataan, seperti adanya pribadi bernama tertentu, atau benda yang tak berubah. Yang kedua adalah hubungan sebab akibat, yang biasanya menjadi dasar untuk menganalisis, atau bercerita.

Neurosains, fisika kuantum dan tradisi filsafat Asia sudah sampai pada satu kesimpulan kokoh. Tidak ada ego yang permanen. Tidak ada inti yang abadi dari segala sesuatu. Semuanya seperti asap yang bergerak dan berubah, tanpa pernah menetap.

Tak ada “diri” yang permanen di dalam diri manusia maupun di dalam kenyataan. Ketika diri tak ada, maka hubungan sebab akibat pun tak masuk akal. Tak ada satu entitas yang menyebabkan entitas lainnya. Berpikir pun menjadi tak mungkin, karena tak ada pijakan untuk analisis, ataupun untuk membuat cerita.

Pengalaman Murni

Yang ada hanya keheningan. Yang ada hanya pengalaman murni yang berpijak pada kesadaran murni. Semua dikerjakan dan dialami sebagaimana adanya. Tak ada bumbu cerita yang semakin membuat nestapa.

Ketika sedih, ya cukup sedih. Ketika marah, ya cukup marah. Tak perlu membuat cerita apapun. Biarkan semua pengalaman datang dan pergi, sambil kita terus hanya mengamati.

Inilah inti dari Zen dan Yoga. Keduanya bukanlah sekedar filsafat atau latihan batin. Keduanya adalah cara hidup, atau cara kita berada di dunia. Ketika semua dialami tanpa cerita, kita menjadi satu dengan segalanya.

Di dalam teori transformasi kesadaran yang saya rumuskan, ini berada di tingkat kesadaran ketiga. Kesadaran ketiga adalah kesadaran holistik kosmik. Orang sadar betul, bahwa dirinya tak terpisahkan dari segala yang ada di alam semesta. Tak perlu ada cerita, karena semua hanya cukup dirasa.

Dipublikasikan oleh

avatar Tidak diketahui

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Kesadaran, Agama dan Politik. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023), Zendemik (2024), Teori Politik Progresif Inklusif (2024), Kesadaran, Agama dan Politik (2024) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.