Tentang Pesona dari Kedunguan

52222641b9983210bda305c130bb8093

Oleh Reza A.A Wattimena

Siang itu, saya berjalan di sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta. Ada antrian panjang di sebuah restoran. Saya pun penasaran, dan mulai mencari info. Ternyata, itu adalah toko roti yang berasal dari negara lain, dan baru saja membuka toko di pusat perbelanjaan yang saya kunjungi.

Apakah roti tersebut sungguh enak, sehingga layak ditunggu dalam antrian yang lama, panjang dan menyiksa? Bagaimana dengan protokol kesehatan? Apakah itu masih berlaku? Setelah beberapa bulan, dan antrian sudah berhenti, saya mencoba roti tersebut.

Rasanya biasa saja. Banyak toko roti lain yang jauh lebih enak. Di toko-toko tesebut, tidak ada antrian panjang. Soal protokol kesehatan? Tentu saja, di hadapan kedunguan, kata itu tak berarti.  

Calon Presiden Karbitan

Setelah dipecat, ia menjadi pemimpin ibu kota. Premanisme dipelihara. Kaum fanatik religius diberi dana dan ruang. Ibu kota pun berantakan selama ia memerintah.

Korupsi mengakar tersembunyi dibalik proyek-proyek tak jelas. Banyak hal-hal mewah dibangun untuk menutupi persoalan yang mendasar, yakni ketimpangan sosial yang mendalam, banjir dan kemacetan ekstrem. Ironisnya, ia jago bicara. Kini, tanpa rasa malu, ia mencalonkan diri jadi presiden.

Kaum dungu pun terpesona. Mereka terseret oleh politik identitas yang dimainkan oleh politisi karbitan. Agama dijadikan topeng untuk korupsi dan intoleransi. Kedunguan itu pun dipertontonkan di berbagai media.

Terjebak pada Agama Kematian

Indonesia pun terus terjebak di dalam kolam kedunguan. Agama nenek moyang yang luhur dan indah dilupakan. Agama kematian dari tanah gersang dituhankan. Bangsa kita mengalami krisis identitas yang mendalam.

Padahal, agama dari tanah gersang itu merusak. Ia menjajah perempuan dari ujung kepala sampai ujung kaki, bahkan memperkosanya demi alasan-alasan religi. Ia menghancurkan budaya nenek moyang. Cara beribadahnya juga merusak ketenangan hidup bersama, dan mendorong tindakan kekerasan, seperti teror bom dan diskriminasi.

Namun, bangsa kita tetap memujanya. Itu namanya dungu. Akal sehat dan nurani di dalam kehidupan terlupakan. Mengapa kedunguan ini begitu mempesona bangsa kita?

Kedunguan yang Mempesona

Ada lima hal yang perlu untuk dipahami. Pertama, kedunguan tersebar, karena ia dijadikan teladan. Para pemimpin masyarakat dan agama kita hidup dalam kedunguan. Rakyat dan pengikutnya pun menjadikan mereka contoh. Ikan membusuk dari kepala, begitu juga kedunguan dimulai dari para pimpinan masyarakat.

Dua, bangsa kita juga dikondisikan untuk dungu. Pendidikan menyiksa manusia dengan hapalan tak berguna. Kepatuhan buta yang bodoh pun menjadi paradigma mengajar. Tak heran, kedunguan menjadi budaya kita sekarang ini.

Tiga, di dalam kedunguan, tidak ada keinginan untuk berpikir. Berpikir adalah musuh besar dari kedunguan. Berpikir dianggap melelahkan dan berbahaya. Orang pun terlena di dalam kedunguan, seperti sapi yang hendak dipotong ke penjagalan.

Empat, kedunguan menyukai kepastian semu. Tak ada analisis maupun pikiran kritis yang diperlukan. Hidup menjadi terasa pasti dan mudah, walaupun bermuara pada derita. Kedunguan menyediakan surga semu yang sebenarnya menutupi api neraka di dalamnya.

Lima, bangsa kita tampaknya memiliki kerinduan untuk ditipu. Kebenaran terlalu rumit dan menyakitkan untuk dihadapi. Akhirnya, kita memilih hidup di dalam kepompong kepastian palsu yang ditawarkan pasar, politisi busuk dan agama kematian. Ada yang nikmat dan mempesona di dalam pengalaman ditipu. Ini rupanya yang membuat bangsa kita sulit keluar dari cengkraman kedunguan.

Sebuah Antitesis

Kiranya, kita punya kesempatan untuk berubah. Pemilihan umum di ambang pintu. Kita bisa memilih pemimpin yang tidak dungu. Masih ada waktu untuk mengembangkan pemikiran kritis dan rasional, supaya tidak tertipu oleh pesona kedunguan yang ditawarkan oleh para politisi busuk.  

Kita juga bisa memilih untuk tidak dididik oleh institusi pendidikan korup bangsa ini. Di Indonesia, sekolah adalah musuh utama pendidikan. Sampai muncul pemerintahan yang tercerahkan, sekolah bukan merupakan ide yang bagus untuk pendidikan anak. Sekolah telah menjadi sarang radikalisme dan kesempitan berpikir sekarang ini.  

Kita juga bisa menimba berbagai ide pencerahan dari filsafat. Filsafat mengajak orang berpikir mendalam soal kehidupan. Filsafat menarik orang dari kedunguan yang selama ini mengikatnya. Filsafat membangunkan orang dari tidur kedunguan yang membuat ia terlena. Indonesia jelas membutuhkan filsafat, namun bukan filsafat religi, seperti yang selama ini ada.

Pada akhirnya, kebenaran memang kerap rumit. Ia juga kerap kali menyakitkan. Namun, kebenaran akan membebaskan. Ini jauh lebih baik dari pesona penipuan yang menjerumuskan kita kepada kedunguan. Sudah saatnya kita bangun.

Ketika bangun, kita tak lagi terpesona oleh barang-barang tak bermutu yang dibungkus iklan nan mewah. Kita tak lagi terpesona para tutur kemunafikan yang disebarkan oleh politisi karbitan. Kita juga bisa keluar dari cengkraman agama kematian, dan kembali ke agama leluhur, sambil melestarikan kejernihan nurani dan akal sehat kita. Tunggu apa lagi?

 

 

 

 

 

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

4 tanggapan untuk “Tentang Pesona dari Kedunguan”

  1. Saya benar2 merasakan tinggal di negara yg penuh dengan kepalsuan & kemunafikan, terlalu banyak tipuan mata & kata2. Serasa tidak pernah belajar dari sejarah di masa lalu yg terjadi di dalam/luar negeri, berputar-putar tanpa henti. Tulisan dari mas Reza ini menggambarkan sebagian dari kegelisahan saya dan hanya dengan cara menenggelamkan diri dalam kesunyian alam saya mampu bertahan dari kesementaraan dunia ini (mulat sarira). Terimakasih mas Reza atas semua tulisannya yg penuh makna. Salam.

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.