Bisa Mudah, Bisa Sulit, Mau yang Mana?

12121212 (1)Oleh Reza A.A Wattimena

Beberapa kali, saya berbicara tentang Zen di acara publik. Ini sudah beberapa tahun terjadi. Ada yang di luar jaringan (offline), ada yang di dalam jaringan (online). Seorang teman pun berkomentar.

“Mengapa kamu tidak pernah mengutip teks-teks klasik? Mengapa tidak mengacu pada ortodoksi, terutama ortodoksi Dharma di dalam ajaran Vedanta, Hindu dan Buddhis?” Tidak sekali saya mendapat pertanyaan-pertanyaan semacam itu. Jawaban saya pun selalu sama.

Jalan pembebasan itu seluas semesta. Ada yang sulit, yakni yang mengacu pada ortodoksi agama. Ada yang sangat mudah dan langsung, seperti Zen. Mau pilih yang mana?

Jalan Ortodoksi

Jika mengacu pada ortodoksi agama, maka banyak yang mesti diperhatikan. Ada aturan moral yang, seringkali, ketinggalan jaman. Ada tradisi. Ada ritual yang panjang dan, kerap kali, tidak jelas tujuannya.

Contoh sederhana dari jalan pembebasan yang ditawarkan Gautama, atau sang Buddha. Ada empat kebenaran mulia. Lalu, ada delapan jalan yang pecah dari empat kebenaran itu. Pengetahuan dan metode yang ditawarkan pun sangat kompleks.

Ada tiga ciri dasar dari kenyataan. Ada empat dasar dari hidup berkesadaran. Ada lima penyusun dari keberadaan manusia. Ada lima penghalang dari pembebasan. Ada tiga kotoran batin.

Semua daftar tersebut juga mengandung konsep dalam bahasa Sanskrit atau Pali, yakni bahasa klasik di dalam tradisi India. Jika diminta, saya bisa menjelaskan semua konsep tersebut. Namun, sampai sekarang, tak ada yang meminta. Yah, saya santai saja.

Masih ada juga tafsiran atas berbagai ajaran tersebut. Masih banyak daftar lainnya, dan itu tersebar di berbagai teks klasik. Jika ditelusuri, ini seperti tak ada habisnya. Akibatnya, orang bingung.

Orang bisa tersesat di belantara konsep. Orang jadi malas untuk belajar lebih jauh. Apalagi, kita hidup di masa digital, dimana orang bergerak sangat cepat. Waktu dan kesempatan untuk berpikir mendalam menjadi sangat kecil, bahkan hilang sama sekali. Jalan yang rumit khas ortodoksi tentu harus mengalami perubahan.

Hal serupa terjadi di dalam tradisi Vedanta, Yoga dan Hindu. Filsafat yang ditawarkan begitu dalam dan luas. Postur Yoga yang diajarkan juga kerap kali amat sulit. Ada beragam tipe dan tingkatan Samadhi. Untuk mencegah jatuhnya orang ke dalam kebingungan, terutama di masa digital yang serba cepat sekarang ini, cara baru tentu diperlukan.

Jalan Tol Pembebasan

Sejauh pemahaman saya, semua jalan pembebasan kembali pada satu konsep, yakni “saat ini”. Detik ini, apakah kamu sadar, atau tidak? Apakah kamu hanyut dalam pikiran dan emosi? Apakah kamu hanyut dalam ingatan dan bayangan?

Jika hanyut dalam pikiran dan emosi, maka kita terbelenggu. Jika kita hanyut ke masa lalu atau masa depan, maka kita menderita. Ini sederhana. Namun, penerapannya mesti dilatih setiap saat.

Masa lalu sudah lewat. Tak ada yang banyak bisa diperbuat. Kita bisa belajar darinya. Lalu, kembali ke “saat ini”.

Masa depan tak akan pernah tiba. Kita bisa membayangkan beragam hal. Kita bisa membuat berbagai rencana. Namun, kita harus selalu kembali pada kebenaran di sini dan saat ini. Inilah inti utama dari Dharma sebagai jalan pembebasan.

Di saat ini, apa yang terbaik bisa dilakukan? Jika saya sedang berjalan, saya perlu berjalan dengan sepenuh hati. Jika saya bekerja sebagai guru, saya perlu menjadi guru terbaik yang saya bisa. Di sini dan saat ini, hidup sepenuhnya, maka kita terbebaskan. Itu cukup.

Tak ada konsep rumit yang mesti dipikirkan. Tak ada kata asing yang mesti dihapalkan. Tak ada guru yang mesti dipuja secara buta. Tak ada aturan moral rumit yang membuat pusing kepala.

Sejauh saya amati, jalan ortodoksi yang rumit juga kerap menjadi pengalihan. Kita sibuk mengejar hal-hal yang tak penting. Bahkan, kita ingin menjadi sakti, dan justru memperkuat ego kita. Dengan pola itu, penderitaan yang kita alami justru semakin besar.

Ada banyak jalan untuk pembebasan. Ada yang rumit, dan itu mungkin dibutuhkan oleh sebagian orang. Ada yang sederhana dan langsung, seperti yang menjadi minat saya, dan saya tawarkan ke publik. Silahkan dipilih.

cropped-rf-logo-done-rumah-filsafat-2-1.png

Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander AntoniusLebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

2 tanggapan untuk “Bisa Mudah, Bisa Sulit, Mau yang Mana?”

  1. sepakat sekali dgn inti karya diatas.
    semasa saya meraba2 utk cari jalan hidup, tanya sana sini tanpa jawaban.
    pernah seseorg bante memberi saya nasehat, kalau mau tahu ttg zen, mesti “mahir” mahayana dulu, setelah itu belajar “hinayana”, barulah bisa memulai zen.
    ulasan yg tidak mungkin utk di jalan i. bahkan bante tsb memberi nasehat lain, yg hanya saya terima dengan senyum manis, tanpa nilai !!
    menurut pandangan saya, kl peminat betul2 minat, pasti ada jalan yg baik utk menelusuri zen.
    kl peminat hanya setengah hati atau sok, tak mungkin dia menemukan jalan zen.
    terima kasih atas keterangan yg sederhana, tapi bermakna !!
    salam hangat !!

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.