Rayuan untuk Membaca

Surreal Illustrated books in anthropomorphic style | Graphic Art NewsOleh Reza A.A Wattimena

Pada 7 Oktober 2021 lalu, saya berkunjung ke Pasar Baru, Jakarta. Saya kerap mengunjungi tempat ini bersama almarhum ayah dan ibu saya, ketika saya masih kecil. Saya berkunjung ke toko buku masa kecil saya, yakni Gramedia Pasar Baru. Terkaget, toko itu hampir tutup: hidup segan, mati tak mau.

Penyejuk udara sudah mati. Yang ada hanyalah kipas-kipas yang digantung di sudut-sudut ruangan. Tata buku juga amat terbatas. Yang dijual mayoritas novel-novel.

Bagian penjualan pensil dan peralatan menulis paling besar. Ada juga bagian yang menjual banyak tas. Keadaan toko buku sangat menyedihkan. Ini amat berbeda dengan keadaan toko buku sewaktu saya kecil. Pada masa itu, toko buku tersebut amat besar dan nyaman, serta memiliki banyak pelanggan.

Saya ingat, betapa senangnya hati saya, ketika memasuki toko ini. Saya suka membeli komik sewaktu SD sampai SMP. Ketika SMA, apalagi kuliah, saya suka sekali membeli buku-buku filsafat, sejarah dan politik. Kini, kenangan ini memudar, bersama dengan runtuhnya toko buku tercinta ini.

Tiba-tiba, semua jadi jelas. Bangsa kita malas sekali membaca buku. Toko buku di berbagai tempat mengalami penurunan penjualan, bahkan tutup. Tak heran, bangsa kita terus miskin dan bodoh di abad 21 ini.

Krisis Akal Sehat

Lahir dan tumbuh di Indonesia, saya suka heran, mengapa banyak orang Indonesia suka bertindak di luar akal sehat? Di jalan raya, mereka suka berkendara dengan aneh. Ada yang naik motor berlima, yakni satu keluarga dengan anak tiga. Semuanya tidak menggunakan helm.

Ada yang suka buang sampah sembarangan. Ketika ditegur, ia hanya senyum, atau terkadang marah. Ada yang sudah nyaman tinggal di desa, namun memilih pindah ke kota. Alasannya, mereka ingin hidup seperti para artis di sinetron dan media sosial.

Kota-kota Indonesia pun menjadi rusak. Isinya para pendatang yang tidak memiliki pekerjaan yang jelas. Pengendara juga menggunakan jalan raya dengan sangat berbahaya, mulai dari naik motor berlima, sampai dengan berkendara dengan kecepatan tinggi di dalam jalan yang ramai. Ini ditambah lagi dengan perilaku angkot yang seenaknya, dan para pengendara motor yang gemar berkendara melawan arah.

Dalam bidang agama, semua menjadi jelas. Begitu banyak orang mabuk agama. Mereka beragama dengan memoles penampilan, tanpa memahami inti dan roh agamanya. Mereka berdoa dengan berteriak-teriak, sehingga menganggu masyarakat luas. Tak jarang, agama mendorong mereka menjadi teroris yang membunuh orang-orang yang tak bersalah.

Pemerintah pun juga suka bertindak tak masuk akal. Berbagai kebijakan justru memperbodoh dan mempermiskin rakyat. Perilaku para pemimpin politik seenaknya di jalan raya, sehingga mengundang rasa benci dari masyarakat. Belum lagi para pemimpin yang terjebak korupsi, kolusi dan nepotisme yang merusak bangsa.

Ketika ada waku luang, banyak orang Indonesia yang mengisi waktunya dengan hal-hal tak berfaedah. Mereka sibuk melihat hal-hal tak bermakna di media sosial, mulai dari gosip artis, teori konspirasi, ajaran-ajaran radikal sampai dengan pornografi. Jika mata capek, mereka lalu berkumpul dan bergosip. Ada yang tertarik dengan ilmu pengetahuan dan filsafat, namun jumlahnya amat kecil.

Semuanya kini menjadi jelas. Bangsa kita miskin akal sehat, karena malas membaca buku. Akibatnya, wawasan mereka sempit, dan perilaku mereka cenderung liar. Sebab yang sederhana, namun fatal sekali untuk masa depan bangsa kita.

Tingkat Literasi Indonesia

Pengamatan saya ini ternyata didukung oleh survei dari Program for International Student Assessment (PISA). Survei ini dibuat oleh oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) pada 2019 lalu. Ada 70 negara yang diteliti, dan Indonesia menempat peringkat 62. Karena malas membaca, maka penguasaan terhadap satu bidang tertentu rendah, dan tingkat literasi masyarakat keseluruhan pun rendah.

Rasio bacaan dari total jumlah penduduk Indonesia adalah 0,09. Artinya, satu buku hanya dibaca oleh 90 orang setiap tahunnya. Indonesia pun kini menduduki posisi terendah dalam soal membaca. Padahal, standar internasional adalah 3 buku baru untuk setiap orang setiap tahunnya. (perpustakaan.kemendagri.go.id)

Di Jepang, Korea dan Cina, setiap orang rata-rata membaca 20 buku baru setiap tahunnya. Ini tentu berbeda jauh dengan Indonesia. Tak heran, kemajuan masyarakat mereka amat pesat. Sangat berbeda dengan Indonesia yang masih berkubang pada korupsi, radikalisme agama, terorisme dan kerusakan lingkungan yang tak pernah menemukan jalan keluar.

Penelitian dari UNESCO kiranya mengarah pada kesimpulan serupa. Minat baca orang Indonesia hanya 0,0001 persen. Artinya, hanya satu orang yang suka membaca dari 1000 orang yang ada. Tak heran, industri buku Indonesia mengalami krisis. Yang terancam tidak hanya industri buku, tetapi juga mutu manusia Indonesia secara keseluruhan.

Mengapa Ini Terjadi?

Dua tiga hal utama menjadi penyebab. Yang pertama, belum berkembangnya budaya menulis dan membaca di Indonesia. Kita masih hidup dalam budaya lisan, dimana pengetahuan dan kebijaksanaan disampaikan lewat perjumpaan langsung. Akibatnya, pengetahuan hanya terbatas pada kalangan tertentu, dan tidak tersebar luas kepada seluruh bangsa.

Dua, kegagalan pemerintah untuk meningkatkan minat baca. Tak ada program yang jelas untuk meningkatkan minat baca bangsa. Tak ada dukungan nyata untuk para penerbit dan penulis. Terkadang, saya heran, apa saja yang dikerjakan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Indonesia?

Tiga, bangsa kita belum sungguh paham manfaat dari membaca. Banyak yang belum sungguh merasakan nikmatnya membaca buku yang bermutu. Buku adalah jendela dunia, yakni jendela ke arah pengetahuan, wawasan dan kebijaksanaan. Pandangan ini masih belum terbantahkan sampai sekarang.

Rayuan untuk Membaca

Saya ingin merayu anda untuk membaca buku. Secara umum, ada delapan manfaat membaca buku. Pertama, membaca buku yang bermutu itu membuat kita sehat. Otak dan tubuh kita terangsang oleh berbagai pengetahuan yang ditumpahkan, dan ini membuat kita menjadi manusia yang sehat dan bahagia.

Dua, membaca buku bermutu itu mengurangi stress. Karena sehat dan bahagia, hidup kita jadi enteng. Stress berkurang. Mutu hidup pun secara keseluruhan meningkat.

Tiga, buku adalah sumber pengetahuan. Dengan membaca buku bermutu, kita tambah cerdas. Akal sehat kita berkembang, dan perilaku kita pun semakin beradab. Kita menjadi manusia yang lebih baik.

Empat, dengan membaca buku bermutu, kosa kata kita pun semakin baik. Kita semakin pintar berbicara dan menulis. Orang lain pun bisa menikmati wawasan dan pilihan kata yang kita punya. Siapa tahu, kita bisa menjadi penulis dan sastrawan besar.

Lima, membaca buku bermutu meningkatkan daya ingat kita. Otak kita terlatih untuk mengelola informasi. Ingatan kita pun semakin baik. Kita tidak mengalami masalah dengan pikiran dan ingatan, terutama kita usia kita menua nantinya.

Enam, dengan membaca buku bermutu, kita menjadi tambah cerdas di dalam menganalisis masalah. Kita terlatih untuk berpikir sebab akibat. Kita menjadi ilmuwan, karena rutin membaca buku yang bermutu. Di dalam hidup sehari-hari, kita pun bisa menyelesaikan berbagai masalah dengan tajam dan tepat.

Tujuh, membaca buku bermutu meningkat kemampuan kita untuk fokus. Kita bisa menyelesaikan tugas-tugas harian dengan lebih cepat dan lebih baik. Kita bisa bekerja lebih lama, tanpa terlalu merasa lelah. Karena mampu mengembangkan fokus, kita bisa secara kreatif menghasilkan hal-hal baru yang dibutuhkan masyarakat.

Delapan, membaca buku bermutu itu menghibur. Imajinasi dirangsang oleh cerita dan ide-ide bermakna. Di tengah himpitan kesibukan harian, kita bisa berpetualang, tanpa meninggalkan kamar kita. Secara keseluruhan, hidup kita pun akan lebih bahagia.

Darurat Membaca

Maka, kita harus membaca buku bermutu. Tak ada ruginya sama sekali. Membaca buku bermutu sangat berbeda dengan membaca konten di media sosial, atau mendengar berita-berita di TV. Fokus, wawasan, kedalaman dan pengetahuan yang diberikan jauh lebih baik, ketika kita membaca buku bermutu.

Untuk menjadi bangsa yang adil dan makmur, kita perlu akal sehat dan nurani yang jernih. Keduanya berkembang, jika kita rajin membaca buku-buku yang bermutu. Tak ada jalan lain. Pemerintah harus juga membuat program yang jelas dan tepat untuk meningkat minat baca masyarakat. Masa depan bangsa kita sangat tergantung darinya.***

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

22 tanggapan untuk “Rayuan untuk Membaca”

  1. Kalau kata Bambang Sugiharto, budaya kita melompat “dari budaya lisan, melompat dan dijejali medsos”

    Suka

  2. malas membaca bukan hanya di indonesia.
    dengan pesat nya penggunaan ponsel kebiasaan masyarakat berubah, cara bergaul pun berubah, pukulan terachir pandemi covid, yg membuat sifat/kebiasaan/cara hidup berubah sama sekali.
    malas membaca mengarahkan malas berpikir, cuek dlm kehidupan sehari2, apalagi berpikir kritis ttg politik/ekonomi.
    mengapa kaum minat utk forum ini ??
    saya pun sd berhenti utk mencoba bertukar pikiran dgn teman2 ttg forum ini,
    malah ada alasan yg benar2 tidak masuk akal !!!!!
    ada teman2 “tertentu” dimana sangat nyaman bergaul dgn mereka.
    pribadi sangat “menyejukkan” online membaca “die zeit”, “sz”, “fas”(!!!!”fas”), utk sedikit “menghibur “…..
    terima kasih dan salam hangat !

    n.b.: du weisst, “wissen ist macht”. dieses sprichwort habe ich seit smp erfahren !

    Suka

  3. Dua tahun lalu, ketika saya menjelang masa akhir sma saya pertama kali membaca buku dari pak Reza. Disini saya pertama kali tertarik untuk belajar filsafat, melalui artikel yang selalu diunggah pak Reza dan buku yang dibagikan. secara gratis seperti Menjadi Manusia , sudah membantu saya belajar banyak hal.

    Keinginan Pak Reza untuk berbagi ilmu pengetahuan yang membuat saya makin tertarik untuk membaca dan akhirnya setelah beberapa tahun saya mulai belajar untuk menulis.

    Saya setuju dengan bapak, masyarakat kita sekarang kurang membaca yang membuat mereka memiliki tingkat literasi yang rendah. Mayoritas media konsumsi ilmu pengetahuan berdasarkan budaya lisan, padahal di sebuah buku ilmu pengetahuan yang diberikan lebih padat dan mendalam.

    Suka

  4. Kalau membacanya lewat buku digital apakah sama dengan membaca buku fisik.? Saya juga hobi baca tapi ditempat saya tidak ada toko buku/perpustakaan menurut bapak gimana.???

    Suka

  5. Setuju Bung Reza. Bung Karno & Bung Hatta adalah contoh Pendiri bangsa kita yang gila baca. Bahkan Bung Hatta punya permintaan khusus ketika berada dalam penjara,, “Aku rela dipenjara asalkan bersama buku, karena dengan buku aku bebas”. Sungguh terlalu dimana sci-hub & gen.lib sebagai perpustakaan gratis bermutu terbesar di dunia, namun gagal kita manfaatkan dengan baik. Salam Hormat.

    Suka

  6. Tapi tiap orang beda bang cara belajarnya. Ada yg emang ga “tahan” membaca buku berlama2 karena lebih asyik kalo mendengar, melihat, atau cara lainnya. Ya, Abang tahu ya tipe2 cara belajar visual, auditori, dan kinestetik. Saya kebetulan tipe yg visual dan auditori, lebih suka kalo ada gambarnya atau dibikin versi audiobook, yah semacamnya, lebih cepat pahamnya.
    Bisa dipertimbangkan juga untuk orang yg disleksia, membaca buku teks itu terasa seperti siksaan.
    Mungkin buku2 yg ditulis gak melulu dalam bentuk tulisan padat, bisa dalam format lain? Asal isinya tersampaikan juga kan? Bukankah tujuannya orang-orang bisa mengakses isi/inti buku itu meskipun caranya beda2?

    Suka

  7. Inkonsistensi penggunaan istilah ‘membaca buku’ dan ‘membaca buku bermutu’ masih harus dipertanyakan. Yang menjadi konkrit pembahasan tulisan ‘membaca buku’ atau ‘membaca buku bermutu’?
    Dan jika yg menjadi topik bahasan adalah ‘buku bermutu’, karakteristik buku bermutu seperti apa yg dimaksud oleh penulis? Adakah persyaratan-persyaratan tertentu yang menjadikan sebuah buku, dikategorikan sebagai ‘buku bermutu’? Siapa yang mengkategorisasikan persyaratan-persyaratan tersebut?

    Saya rasa, perbedaan minat membaca buku genre jenis tertentu berbeda-beda setiap orang bukan? Ada orang yg suka membaca novel, biografi, filsafat, buku politik, ekonomi atau buku-buku lainnya. Misal, buku politik bagi saya bermutu, namun bagi Pak Reza bisa jadi tidak bermutu.

    Dan sekarang, bagaimana dengan buku-buku digital? Adakah, misalnya saja, minat baca masyarakat bisa jadi sudah bergeser dari buku konvensional ke buku digital? Dan jika sudah bergeser, bukankah minat baca masyarakat bisa jadi tidak terbilang rendah?

    Selanjutnya, adakah muncul pertanyaan dari penulis (?), tentang hasil penelitian minat baca yang dikeluarkan institusi tersebut diatas? Apakah lingkungan pesantren juga masuk kategori dalam riset tersebut? Mengingat dunia pesantren mengkaji berbagai kitab-kitab (saya menganggapnya sebagai buku dalam bahasa arab) dengan mendalam dan intens selama waktu tertentu.

    Suka

  8. CIri buku bermutu:
    1. Membuka wawasan baru
    2. Memberikan informasi baru
    3. Mengembangkan pemikiran kritis
    4. Tidak ada pandangan dogmatis yang tak boleh dipertanyakan

    Buku digital tak masalah. Isinya sama. Selama bukunya memenuhi tiga ciri di atas, yah itu buku bermutu.

    Terima kasih

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.