Nalar Kritis Beragama

Religion, paintings gallery, Art of Mark Bryan

Oleh Reza A.A Wattimena

Penulis buku Untuk Semua yang Beragama: Agama dan Pelukan Filsafat, Politik dan Spiritualitas (2020)

2021, ada sekitar 5 miliar orang yang beragama di seluruh dunia. Mereka adalah penganut agama-agama dunia, seperti Kristen dan Buddha, maupun agama-agama lokal, seperti Rastafari dan Neo-Paganisme. Sekitar 2 miliar orang memutuskan untuk tidak beragama. Sampai awal 2021, kelompok tak beragama ini mengalami perkembangan paling pesat.

Di dalam sejarah, agama lahir dengan dua tujuan. Yang pertama membawa manusia dekat pada penciptanya. Namanya beragam, mulai dari Tuhan, Dewa sampai dengan Yahwe. Ini amat tergantung pada budaya setempat, dimana agama itu lahir. Yang kedua adalah memberikan tatanan bagi hidup manusia di tengah segala ketidakpastian hidup, mulai dari bencana sampai dengan ketakutan menghadapi kematian.

Tujuan agama bisa diringkas dalam dua kata, yakni makna dan moral. Makna terkait dengan tujuan keberadaan manusia. Moral terkait dengan panduan tindakan, supaya manusia bisa hidup bersama secara damai. Bentuknya agama pun beragam, sejalan dengan perkembangan budaya di berbagai tempat. Namun, inti dasarnya serupa.

Korupsi Agama

Seperti segala hal di tangan manusia, agama pun mulai disalahgunakan (corrupted). Kepentingan politik menggunakannya untuk mengumpulkan masssa dan merebut kekuasaan. Kepentingan ekonomi menggunakan untuk memperoleh lebih banyak uang dari kebodohan orang banyak. Indonesia sudah kenyang dengan dua pengalaman ini.

Agama digunakan untuk membenarkan kemalasan berpikir. Orang pun jadi sempit berpikir dan intoleran. Mereka menjadi tertutup terhadap perbedaan pendapat. Mereka menjadi jahat dan buta akal sehat.

Di Indonesia, agama dihancurkan oleh sikap formalistik. Artinya, agama hanya menjadi tampilan luar semata, mulai dari cara berpakaian sampai dengan hafalan buta atas ajaran agama tertentu. Tidak ada perubahan batin. Tidak ada penghayatan mendalam yang menghadirkan kedamaian dan welas asih. Hanya tampilan luar semata. Titik.

Agama pun digunakan untuk konformisme sosial. Supaya naik pangkat, orang menganut agama tertentu. Supaya lancar di politik, orang menganut agama tertentu. Agama kehilangan makna dan moral sejatinya.

Karena formalisme agama yang dangkal, orang tidak lagi mampu berpikir mandiri. Nalarnya cacat. Logikanya terselip di balik iman buta. Ia tidak mampu membuat keputusan dengan nalar jernih dan sesuai dengan keadaan.

Hasilnya adalah radikalisme agama. Orang menjadi jahat terhadap agama lain, maupun tafsiran lain atas agamanya. Selangkah lagi, ia menjadi teroris. Ia siap membunuh dan menghancurkan orang lain, hanya karena berbeda agama, ataupun berbeda tafsiran agama.

Nalar Agamis Kritis      

Disinilah pentingnya nalar kritis. Ia menimba ilmu dari kritik agama yang dilontarkan para filsuf dan ilmuwan sosial. Intinya sederhana: segala hal mesti diuji dengan bukti nyata dan akal sehat, sebelum ia dipercaya. Ini mencakup tradisi sampai dengan pandangan umum yang tersebar luas.

Bahwa sesuatu itu tertulis, belum tentu itu benar. Bahwa sesuatu itu datang dari masa lalu, dan tertulis, itu belum tentu benar. Disini pentingnya kemampuan menafsir secara kritis dengan data dan akal sehat. Ini amat penting dalam konteks kehidupan beragama di Indonesia.

Bahwa sesuatu itu dikatakan seorang ahli, belum tentu itu benar. Bahwa sesuatu dikatakan oleh orang yang dihormati di masyarakat, belum tentu itu benar. Kebenaran adalah soal bukti nyata dan logika. Hanya dengan berpijak pada bukti nyata dan logika, kebenaran yang sejati bisa tampil ke depan, dan keputusan yang tepat bisa diciptakan.

Bahwa sesuatu itu dipercaya banyak orang, bukan berarti itu benar. Sebaliknya justru amat mungkin terjadi. Sesuatu yang diyakini banyak orang cenderung salah. Sejarah sudah membuktikan itu.

Selama ribuan tahun, manusia yakin, bahwa bumi adalah pusat alam semesta. Pandangan ini dipatahkan. Dengan berbagai penelitian, dan pertarungan politik, kita pun sampai pada kebenaran, bahwa bumi berputar mengelilingi matahari. Ada berbagai contoh lainnya dengan pola serupa.

Kritik Agama

Agama bisa menjadi lembaga khayalan. Begitulah kata Feuerbach, seorang pemikir Jerman. Tuhan kerap menjadi proyeksi dari pikiran manusia. Segala hal baik diarahkan pada dia.

Akhirnya, manusia pun menyembah khayalannya sendiri. Ia menjadi cacat dan lemah, karena sibuk menyembah, dan lupa mengembangkan diri. Ilmu tentang Tuhan menurut Feuerbach, sejatinya adalah ilmu tentang manusia. Agama yang mengerdilkan jati diri dan kemampuan manusia adalah agama khayalan.

Agama juga bisa membuat kita seperti anak kecil. Kita selalu memohon bantuan Tuhan yang tak kelihatan. Akhirnya, kita malas berusaha sendiri. Kita juga malas bertanggungjawab atas perbuatan kita, karena semuanya dilempar ke tuhan.

Dalam arti ini, seperti diingatkan oleh Freud, seorang pemikir Austria, agama adalah sebentuk kelainan jiwa. Orang menyembah sesuatu yang tak kelihatan. Orang memohon pada sesuatu yang tak tampak. Jika tak hati-hati, agama bisa jatuh ke dalam hipnosis massal yang memperbodoh dan mempermiskin kehidupan.

Di dalam keadaan kemiskinan dan ketidakadilan, agama bisa menjadi candu sesaat yang menghibur. Begitulah kata Karl Marx, seorang pemikir Jerman. Agama menumpulkan akal budi dan daya juang. Orang pun menerima penindasan, ketidakadilan dan kemiskinan tanpa perlawanan.

Di abad ilmu pengetahuan dan teknologi ini, agama seharusnya tidak mendapatkan tempat. Begitu kata Richard Dawkins, seorang pemikir Inggris. Agama adalah artefak masa lalu yang menyebabkan kemiskinan, kebodohan dan perang. Ia tidak layak mendapatkan ruang hidup di abad 21 ini.

Memurnikan Hidup Beragama

Para pemikir kritik agama di atas tidak sepenuhnya salah. Agama bisa jatuh ke dalam paham sesat yang membenarkan ketidakadilan. Agama bisa membuat manusia menjadi sempit, bodoh dan miskin. Kita bisa belajar dari mereka semua, sambil terus memurnikan hidup beragama kita sendiri.

Di sisi lain, pemerintah juga mesti tegas terhadap segala bentuk radikalisme agama. Sikap tak adil atas nama agama harus dilawan secepat dan seefektif mungkin. Ia tak boleh dibiarkan berkeliaran, dan menganggu tata hidup bersama. Indonesia, dan dunia ini, adalah milik semua mahluk, apapun spesiesnya, agamanya, juga untuk yang tak beragama.

Inilah inti nalar kritis beragama. Jika ini dilakukan, maka kita akan mengalami pemurnian hidup beragama. Kita akan tetap beriman dan beragama, sekaligus terbuka pada perbedaan, mampu bernalar dengan akal sehat, bersikap kritis dan menemukan kedamaian di dalam hidup. Hanya dengan begini, perdamaian antar agama bisa sungguh terwujud.

Jangan ditunda lagi.

Gambar dari Mark Bryan

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

13 tanggapan untuk “Nalar Kritis Beragama”

  1. Terimakasih telah mengirimi saya tulisan-tulisan dan pemikiran berharga. Saya banyak belajar dari tulisan Pak Reza

    Suka

  2. Terima kasih Pa Reza, ulasan cerdas dan menarik. Realitas hidup beragama kita memang sungguh memprihatinkan. Agama sering menjadi alat melanggengkan kekuasaan, mempercepat ketenaran, dan sarana memojokkan mereka yang tidak seiman. Ajakan untuk berpikir kritis, sudah banyak kali didengungkan, namun kenyataannya mereka yang berpendidikan sering menjadi aktor timbulnya radikalisme agama. Ini menjadi pekerjaan rumah bangsa ini, di tahun-tahun yang akan datang.

    Suka

  3. selagi membaca thema diatas, timbul kesan, bahwa agama , “di negara2 tertentu” tidak lain status symbol spt. gaya hidup mewah (rumah, mobil, kalangan dsb), semua nya hanya utk di sorot mata dan menyolok, jadi perhatian.
    mungkin juga dibalik “daya upaya ” ini tidak lain “kebodohan” yg ditutup i nya, teringat “kaiser’s neues kleid”.
    salam hangat !!

    Suka

  4. Terima kasih untuk tulisannya, saya coba menambahkan agar memilah antara agama dan penafsiran agama oleh penganutnya, agama kita tau merupakan sesuatu yg denganya hidup seseorang akan lebih teratur entah dalam persoalan yang bersifat pribadi atau lebih umum, disini agama menjadi tuntunan yg pada dasarnya mendorong orang untuk hidup lebih baik dan melarangnya untuk berbuat kerusakan, adapun penafsiran agama oleh para penganutnya mungkin tidak sesuai dengan ajaran agama itu sendiri, ini yang kemudian membawa pengertian pada kebanyakan orang modern saat ini sebagai agama sumber masalah, itulah yg kemudian di barat kita tau ada pikiran yang menyatakan spiritual yes and relegion no, konflik yang berlabel agama seringkali sesuatu yang komplek , kesalahan memahami ayat-ayat langit itu yg kemudian menimbulkan masalah bahkan sampai radikalisme, mungkin memang penganut agama sendiri belum secara maksimal menggunakan anugrah tuhan yg berupa akal sehat dalam memahami teks agama, dalam hal ini agama sebagai ajaran adalah sesuatu yg baik, dan pemahaman tentangnyalah yg harus selalu kita perbaiki.

    Suka

  5. Jadi berkaitah hal tersebut nala dalam kehumanisan bergaul dengan sesama manusia sangatlag penting, artinya berbagai problem keslahan atau ditujukan atas islam krena ulah dengan beberap oknum yang gagal atau krliru dalam mengamalkan islam,, ini merupakan bukti dari masifnya gerakan doktrin yang terus menjadi kader untuk melakukan misinya, sangat terlihat jelas akan minimnya penalaran beragama dalam humanisme menuju tuhan maka dari itu jika nalar ktitis agama ini akan menjadi pemurniaan hidup agama,

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.