Kebijaksanaan dari “Kegilaan”, Belajar dari Rumi  

Notorious Painting by Jack Clifford | Saatchi Art
Jack Clifford

Oleh Reza A.A Wattimena

Rumi, salah satu tokoh di dalam tradisi Sufi Islam, tak habis-habisnya memberikan inspirasi pada saya. Ia pernah menulis: “Larilah dari apa yang nyaman. Lupakan kenyamanan. Hiduplah di tempat kamu takut untuk hidup. Hancurkan reputasimu. Jadilah pribadi yang kontroversial. Saya telah mencoba hidup dengan perencanaan yang bijak. Mulai sekarang, saya akan menjadi gila.”

Suara Rumi bergema keras di jaman kita. Jaman dimana orang hidup mencari kenyamanan di segala hal, bahkan sampai kenyamanan di kehidupan setelah kematian. Jaman dimana orang menjilat kiri kanan untuk menjaga dan meningkatkan reputasinya. Jaman dimana orang cari aman, hidup sebagai pengecut dan tunduk pada penindasan akal sehat.

Anti Kemapanan

Tampaknya, Rumi sadar, bahwa kenyamanan adalah musuh dari kehidupan. Inti dari kehidupan adalah penciptaan terus menerus, atau kreativitas. Kenyamanan akan membuat kehidupan menjadi busuk. Ia memenjara orang di dalam kenikmatan yang menghisap hidupnya terus menerus secara perlahan.

Kenyamanan membuat orang terlena. Kesadarannya menurun. Ia menjadi lemah dan lambat. Sebaliknya, tantangan dan masalah akan membuat orang sadar serta terjaga. Inilah inti kehidupan yang sesungguhnya.

Lupakan juga keamanan. Di dalam hidup yang rapuh ini, tidak ada keamanan. Semua teknologi dan uang yang ada seolah bisa melindungi kita. Namun, di hadapan kematian, penyakit dan bencana, semua tampak percuma.

Setiap detik, kematian selalu ada di depan mata. Hidup ini bagaikan telur di ujung tanduk. Ia amat rapuh. Semua ilmu dan pengalaman bisa lenyap dalam sekejap mata, ketika kepala terbentur cukup keras.

Justru, menerima kerapuhan ini adalah sebuah kebijaksanaan. Mengalami dan menerima ketidakpastian adalah sebuah kepastian. Disinilah orang bisa sungguh berlindung, dan menemukan kedamaian. Saya teringat ucapan Ajahn Brahm, master Buddhis asal Inggris, “relax, nothing is in control. Tenang saja, tidak ada yang dapat kita kendalikan dalam hidup ini.”

Rumi juga mengajak kita meninggalkan rumah yang memberikan rasa aman dan nyaman. Ia mengajak kita hidup di tempat yang mengundang ketakutan besar. Ketakutan adalah musuh terbesar manusia. Ia hanya bisa dilampaui dengan dihadapi sepenuhnya.

Dengan cara ini, ketakutan pun bisa menampilkan wajah sebenarnya. Ketakutan tak lebih dari kepalsuan belaka. Ia hanya sensasi fisik semata yang mudah sekali lenyap ditelan perubahan. Dengan pemahaman ini, orang bisa keluar dari rasa takut, dan hidup dalam kedamaian yang sebenarnya.

Hancurkan Reputasimu

Hancurkan reputasimu, begitu ajakan Rumi. Reputasi adalah pandangan orang lain tentang kita. Sifatnya terus berubah, dan amat rapuh. Hidup dengan berpijak pada reputasi adalah hidup dalam penjara.

Rumi ingin membebaskan kita dari apa yang semu. Ia ingin, supaya kita terus memperbarui diri kita. Kita tak boleh terjebak dan melekat pada satu peran ataupun identitas tertentu. Hanya dengan begitu, kita sungguh hidup sepenuhnya.

Rumi juga mengajak kita menjadi manusia yang kontroversial. Artinya, kita siap membongkar tradisi yang ada. Kita siap mempertanyakan pandangan-pandangan lama yang sudah membusuk. Dan kita juga siap dibenci, karena melakukan itu semua.

Kita siap terkenal sebagai sang pemberontak. Kita siap dianggap sebagai orang yang tak bisa diatur, yang berantakan. Itu semua dilakukan untuk membongkar kemunafikan dan kebusukan cara berpikir yang ada. Bahkan, seperti para pemikir besar dalam sejarah, kita siap disalahpahami, dan dibunuh karenanya.

Hidup Seutuhnya

Nietzsche, pemikir Jerman, kiranya banyak belajar dari Rumi. Keduanya menegaskan, kita tak boleh hidup menjadi manusia pengecut. Kita tak boleh hanya ikut arus, tanpa sikap kritis. Kita tak boleh hidup nyaman dan aman di dalam kedangkalan kita. Dan kita pun tak boleh dikurung oleh rasa takut yang sesungguhnya adalah penipu belaka.

Dalam arti ini, kita perlu menjadi “gila”. Kita perlu mempertanyakan cara hidup kebanyakan orang. Kita perlu mempertanyakan kedangkalan dan kebodohan yang tersebar luas dan dalam. Justru dengan gila, kita menjadi sepenuhnya waras. Kita menjadi manusia seutuhnya yang hidup dengan segala warnanya.

Kita mengatakan YA! pada kehidupan. Tunggu apa lagi?

 

 

 

 

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

9 tanggapan untuk “Kebijaksanaan dari “Kegilaan”, Belajar dari Rumi  ”

  1. benar !!
    berapa banyak masyarakat dalam kenyamanan, tetapi ada saja yg di keluh kesah, hal2 sepele yg sangat mengganggu, hidup mereka bahkan jadi neraka.
    kemarin saya berkenalan dgn seorang sangat muda, dgn tindak tanduk, pandangan hidup yg lain dp normal. setelah kami berbincang lebih lebih dalam , saya bisa memahami cara hidup dia, dimana dia hidup sesederhana mungkin, demi “kebebasan” yg dia idamkan. bukan jenis frugalist, kalangan menganggap dia gila, walau iq begitu tinggi.
    saya pun bisa lebih memahami hidup lewat kesulitan sehari2.
    contoh nya, alat pemanas air lagi rusak berminggu2.
    untuk mandi saya harus memasak air, menunggu, achirnya dgn air terbatas bisa mandi.
    achir nya kita mengalami respect terhdp hidup dan sangat nikmat mandi dgn air yg begitu sedikit.
    saya akan mandi sedapat mungkin dgn cara tsb !
    dgn thema diatas ” gerakan hospice” bermoto: ” mit dem sterben leben”
    batas antara mati dan hidup hanya lah satu tarikan napas !!
    sedikit memahami kehidupan , apakah ini yg di maksud kaum spiritual sebagai “pembebasan besar” ???

    selamat berkarya, dan nikmati lah hidup dgn apa ada nya !!!

    Suka

  2. Terima kasih sudah berbagi. Setiap menghembuskan nafas, kita mencicip kematian. Setiap menarik napas, kita mengundang kehidupan. Hidup selalu antara tarik dan mengeluarkan napas. Antara hidup dan mati.

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.