Psikologi dan Psikiatri sebagai Pseudosains

Image result for surrealism deception art, photography | Illusion  photography, Photography inspiration, Beautiful photography
Olivia Barry

Oleh Reza A.A Wattimena

Tulisan ini lahir dari rasa prihatin. Psikologi dan Psikiatri telah menipu begitu banyak orang. Di Indonesia, budaya berpikir kritis sangat tidak berkembang, sehingga kita begitu mudah ditipu oleh sesuatu. Kebodohan kita di Indonesia ini dimanfaatkan oleh ilmu psikologi dan psikiatri untuk mengeruk uang dari penderitaan yang kita alami.

Psikologi dan Psikiatri adalah pseudosains. Semakin lama, saya semakin yakin atas pandangan ini. Pseudosains adalah ilmu palsu. Ia mengaku diri sebagai ilmu pengetahuan. Padahal, aslinya, ia hanya sebentuk penipuan belaka.

Dengan mengaku sebagai ilmu pengetahuan, psikologi dan psikiatri telah menipu dan memanipulasi banyak orang. Korbannya pun bukan orang biasa, melainkan orang yang sedang rapuh secara mental. Mereka percaya, bahwa ilmu psikologi dan psikiatri bisa membantu mereka. Yang terjadi sebaliknya, kedua ilmu tersebut mengeruk banyak uang, tanpa memberi kesembuhan apapun.

Psikologi adalah ilmu tentang perilaku manusia. Sementara, psikiatri adalah bagian dari ilmu kedokteran yang terkait dengan kesehatan mental. Kedua ilmu ini mengklaim mampu membantu orang untuk hidup sehat secara mental. Sekali lagi, klaim ini adalah penipuan besar.

Dehumanisasi

Ada enam pandangan yang ingin saya tawarkan. Pertama, psikologi dan psikiatri menjadikan manusia sebagai obyek. Manusia dilihat sebagai benda yang bisa dimanipulasi sesuai kebutuhan. Sejatinya, ini adalah pelanggaran atas Hak-hak Asasi Manusia. Ini adalah dehumanisasi.

Manusia dijadikan obyek eksperimen. Di titik ini, manusia dilihat sama seperti tikus dan monyet. Ini jelas pelanggaran berat terhadap konsep ilmu pengetahuan itu sendiri. Ilmu pengetahuan ada untuk mengembangkan kehidupan, dan bukan untuk memanipulasinya.

Dua, manusia juga seringkali dijadikan obyek beragam tes yang tidak masuk akal. Tes dibuat dalam budaya dan waktu tertentu. Ia tidak bisa sembarangan diterapkan, apalagi untuk “mengukur” manusia. Ini adalah salah satu omong kosong terbesar yang pernah saya dengar.

Hasil tes mempengaruhi kepercayaan diri seseorang. Hasil tes juga bisa mempengaruhi jalan hidup dan karir seseorang. Ini soal kehidupan nyata, dan bukan alat tes yang tidak jelas dasar dan gunanya. Di Indonesia, sekali lagi, karena kita lemah sekali di dalam pemikiran kritis, kita gampang percaya pada para psikolog dan psikiater penipu. Kita pun dimanipulasi, dikeruk uangnya, hancur karirnya dan malah terganggu secara mental.

Sesat Dasar Berpikirnya

Tiga, psikologi dan psikiatri modern berpijak pada pengembangan konsep ego yang sehat. Terapi dan “tes omong kosong” dilakukan untuk membentuk ego, atau kepribadian, yang sehat. Ini jelas salah paham yang sangat berbahaya. Segala masalah mental manusia justru timbul, karena “ego”.

Tidak ada “ego” yang sehat. Ego adalah sumber penderitaan. Ini bukanlah teori belaka, melainkan pola alam semesta yang sudah berulang kali terbukti. Dengan mengembangkan ego yang sehat, psikologi dan psikiatri justru memperparah penderitaan manusia.

Empat, psikologi dan psikiatri berpijak pada kerangka teori yang salah kaprah. Dua aliran besar muncul disini, yakni psikoanalisis dengan beragam cabangnya, dan behaviorisme juga dengan beragam cabangnya. Psikoanalisis melihat manusia sebagai mahluk yang didorong oleh hasrat-hasrat gelap tidak sadarnya. Behaviorisme ingin mengubah perilaku manusia, tanpa perubahan cara hidup yang lebih mendalam.

Keduanya adalah sebentuk manipulasi pada manusia. Keduanya adalah dehumanisasi, sekaligus pelanggaran harkat dan martabat manusia. Banyak pemikir besar di bidang psikologi dan psikiatri sudah sadar akan hal ini. Mereka pun beralih ke tradisi meditatif Asia, seperti Yoga dan Meditasi, sebagai jalan keluar.

Saya menaruh simpati besar pada psikologi humanistik. Pendekatan mereka sangat manusiawi, mirip dengan filsafat dan tradisi meditatif Asia. Sayangnya, pendekatan ini hampir tak dapat ditemukan di Indonesia. Kita justru mendapatkan jenis psikologi dan psikiatri yang dangkal dan merusak.

Lagi pula, jika psikologi humanistik dekat dengan filsafat dan tradisi meditatif Asia, mengapa kita tidak langsung belajar ke sumbernya? Mengapa kita mendalami barang turunan kedua, atau KW? Tradisi meditatif Asia dan filsafat kritis bisa membebaskan orang dari penderitaan dan kebodohan. Ini sudah terbukti selama ribuan tahun.

Alat Penindasan

Lima, karena dirinya juga miskin sikap kritis, ilmu psikologi dan psikiatri kerap hanya menjadi alat penguasa untuk menindas. Psikologi, terutama psikologi organisasi, hanya menjadi kaki tangan orang kaya untuk menindas pekerjanya, yakni dengan menciptakan pekerja yang patuh dan rajin, namun bersedia dibayar murah. Psikiatri hanya menjadi alat penguasa untuk menindas orang-orang dengan gaya hidup dan cara berpikir berbeda. Mereka diterapi dan dipaksa untuk menjadi “normal”.

“Normal” itu tidak ada. “Normal” itu sebentuk penindasan. Tidak ada manusia yang “normal” sesuai dengan kehendak penguasa, atau masyarakat luas yang bodoh. Setiap orang unik dengan pola hidupnya masing-masing.

Enam, psikologi dan psikiatri juga kerap kali menciptakan ketergantungan. Orang-orang yang sedang rapuh dimanfaatkan untuk dikeruk uangnya. Terapi omong kosong seolah menjadi kebutuhan. Padahal, kerap kali, terapi tersebut yang menjadi sumber masalah yang sebenarnya.

Psikiatri malah lebih berbahaya. Orang diberikan obat yang tidak menyelesaikan masalah. Sebaliknya, orang justru menjadi ketergantungan obat. Uang terus keluar, namun kesembuhan tak kunjung datang. Penyakit baru dalam bentuk ketergantungan justru berkunjung.

Jangan Mau Tertipu

Psikologi dan psikiatri telah menyalahgunakan kepercayaan masyarakat. Mereka seolah ingin menolong. Namun, sesungguhnya, mereka hanya menipu dan memanipulasi. Mereka justru merendahkan harkat dan martabat manusia.

Para praktisi psikologi dan psikiatri sebaiknya mulai berpikir ulang tentang ilmu yang mereka dalami. Hidup manusia singkat. Jangan menghabiskan hidup untuk menipu dan memanipulasi manusia yang sedang rapuh. Itu tindakan yang amat sangat kejam.

Masyarakat luas juga jangan tertipu. Kita harus berpikir kritis tentang praktek ilmu psikologi dan psikiatri. Jika ingin hidup sehat dan bahagia, tradisi meditatif Asia, seperti Yoga dan Meditasi, jauh lebih bermanfaat. Ajaran mereka sudah terbukti ribuan tahun kemanjurannya. Sementara, ilmu psikologi tidak sampai dua ratus tahun usianya, namun sudah merugikan begitu banyak orang. Sudah waktunya kita sadar akan hal ini, dan tidak lagi tertipu.

 

 

 

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

71 tanggapan untuk “Psikologi dan Psikiatri sebagai Pseudosains”

  1. buah pemikiran bung Reza A.A cukup membuka mind set saya sebagai guru sekolah dan Silat, saat ini saya butuh referensi hal ilmu Kejawen dan kompleksitasnya dari leluhur masyarakat jawa waktu dulu. terima kasih

    Suka

  2. begitu juga pandangan saya.
    tergantung seberat apa kerusakan psychisch mampu diatasi dgn tradisi asia. kalau kerusakan sd mendalam ada baik nya di atas i dgn tradisi asia dan ” professionelle hilfe”( hahaha synonim utk therapi ).
    ada buku edaran lama dgn judul ” psychologie und zen-buddhismus” dari zuzuki, erich fromm dan (?? lupa).
    pernah saya membaca cara penyembuhan psychis dari seseorang dokter urat syaraf di zaman perang dunia II dimana psychopharmaka hampir tidak ada.
    dia memperlakukan pasien2, seperti nya org2 biasa, sehat2, dengan hasil yg begitu menakjubkan.
    dalam kehidupan sehari2 saya mengalami 2 kasus psychis. yg satu schizoprenie yg di akui sendiri, tanpa therapie, tanpa “pembimbing”, beratungsresistent dgn cita2 merantau / pindah ke nepal.
    kasus kedua di sebabkan kerusakan psychis oleh aniaya suami jangka lama.
    therapie hanya dgn obat utk sedieren sepanjang hidup.
    jadi sebisa nya tidur melulu.
    di balik semua penyakit jiwa perlu di ketahui, justru hampir semua psychiater dan ahli2 penyembuhan urat saraf sangat memerlukan pertolongan psychis utk defizit mereka sendiri. merekalah sebetul nya yg memerlukan pertolongan dari pasien.
    daher : der psychloge ist sein bester patient.
    salam hangat dan tetap sehat2 ya !!

    Suka

  3. tulisan yang menarik dan provokatif (dalam artian positif) tapi benar sih, ego adalah sumber penderitaan. sekarang terapi CBT berpindah ke Mindfulness. Untuk obat psikiatri, sepertinya memang ada permainan industri farmasi terutama golongan benzo, tapi sepertinya kalau untuk gangguan mental skizofrenia memang perlu obat.

    Suka

  4. Sebagai lulusan psikologi, saya setuju dengan beberapa pendapat tentang psikoanalisa dan behaviorisme. Dua cabang itu memang ketinggalan jaman dan sudah terbukti tidak valid, sayangnya prakteknya masih diajarkan di kelas-kelas hingga dipraktekkan di dunia profesi.

    Psikologi teoritis kalo mau bertahan harus mengadopsi cara berpikir Darwinisme dan menjadi Psikologi Evolusioner seperti yg saat ini sedang populer di Amerika & Eropa. Terapi2 yg digunakan harus menggunakan pendekatan sains, seperti ilmu syaraf, neurosains, psikobiologis, dll. Kalo masih berpijak pada teori kuno ya lama kelamaan ilmu psikologi akan terus dianggap pseudosains

    Suka

  5. Ini adalah zaman dimana Satu Manusia mengeksploitasi kebodohan dan kerapuhan mental jutaan manusia lainnya.

    Suka

  6. Semoga saat anda menulis anda sadar penuh, hadir utuh, non judgemental dan melihat berbagai sudut pandang saat menulis artikel tersebut. Saya seorang psikiater dan lepas dari benar atau tidaknya ilmu yg saya miliki menurut pandangan anda… namun saat saya melakukan terapi, motivasi saya adalah utk kesejahteraan pasien. Saya memiliki keluarga dengan gangguan jiwa.. dan mungkin anda perlu melihat sudut pandang mereka sebelum menuliskan artikel sehingga tulisan anda lebih berimbang dan bijak

    Suka

  7. Tulisan menyesatkan, tlah banyak orang sakit mental terbantu oleh jasa skiatri, bahkan ada yang sembuh total. Ini fakta di lapangan.

    Suka

  8. Selamat malam Pak. Bapak saya undang ke RSJ Grogol atau kalau mau ke RSJ Menur juga boleh, nanti saya atur. Saya mahasiswa doktoral Driyarkara dan berprofesi sebagai Psikiater serta ketua IDI Jakarta Utara, wakil ketua IDI DKI Jakarta.
    Salam,
    Dharmawan dr SpKJ DR (c)

    Disukai oleh 1 orang

  9. Mas, saya kurang paham. Kalau aplikasi ilmu psikologi tidak mensejahterakan umat manusia, apakah berarti ilmu tsb ada pseudoscience? Kenapa saya merasa ada yang miss di sini ya?

    Suka

  10. Terima kasih sekali sudah berbagi. Jika tradisi spiritual diajarkan secara sistematik dari kecil, maka beragam penderitaan batin bisa dikelola dengan baik, dan bahkan dilenyapkan. Saya akan coba cari buku itu. Salam hangat selalu

    Suka

  11. Terima kasih. Motivasi boleh baik. Namun, sikap kritis amat diperlukan. Kehendak baik, tanpa sikap kritis, akan berujung pada nestapa. Saya pribadi, dan beberapa anggota keluarga, juga punya masalah batin. Saya tidak mau menyebutnya gangguan jiwa. Itu label yang berbahaya.

    Disukai oleh 1 orang

  12. Pseudosains itu adalah klaim sebuah aliran berpikir tertentu sebagai ilmiwah, tetapi sebenarnya tidak. Aplikasinya bisa merugikan manusia, bisa juga tidak berdampak. Tulisan ini berusaha membahas ilmu psikologi dan psikiatri dari sisi keilmuannya, yakni dari ontologi, epistemologi, aksiologi dan metodologinya. Ini adalah sikap kritis ilmiah terhadap dua bentuk aliran berpikir tertentu.

    Suka

  13. Mungkin yg bpk maksud disini oknum, saya sudah banyak menerapi klien, ada yang sdh 7 kali mau bunuh diri tapi selalu diselamatkan, ada anak yg dr usianya sdh hrs masuk SD tapi bicaranya beluk lancar, ada yg sdh 18 th dislexia tdk bs membedakan huruf, semua sembuh dengan ilmu psikologi yg saya punya. Mgkn Bpk perlu lht ke lapangan org2 yg sdh byk sembuh melalui bantuan psikolog. Cb Bung dtg ke lokasi2 korban bencana alam, kenapa disana sangat dibutuhkan psikolog?

    Sama halnya seperti ada anggapan yang mengatakan “di Arab ada juga PSK” bisa dijawab dgn pertanyaan “lebih banyak mana dibandingkan di eropa?” Banyak orang yg berkali2 ke Arab tdk pernah bertemu PSK.

    Nah bung..kita selalu bertemu dengan apa yg kita cari. Kita cenderung berkumpul dengan org2 yg se prekuensi.

    Disukai oleh 1 orang

  14. Hahaha… sekali kalilah, jangan yang mempelajari filsafat yang di anggap pseudosain oleh para saintisme statisme

    Saya suka ini…
    Hidup antimainstream !

    Suka

  15. Gue ODS, gue minum obat rutin buat nurunin zat dopamin di otak, gue juga sesuai jadwal dateng buat curhat ke Psikiater. Kalo lo bilang ini ilmu buat manfaatin jualan Obat, kayanya enggak deh, gue ngerasa baikan bahkan bisa balik lagi gak waham: visual, auditif, gue gak delu, halu, jadi kayanya gak sepenuhnya bener pendapat lo.

    Coba kalo gak ada psikiater, ahli jiwa, susah juga tau nyembuhin scizophernia, apalagi ampe ada yang di pasung, ngegelandang, dan lain sebagainya.

    Kayanya gak tepat Bro

    Suka

  16. TULISN kritis ini menarik, menstimulasi berpikir secara komperhensif, membantu melihat sisi lain dari psikologi, dan melalui tulisan ini saya menjadi lebih bersemangat untuk mendalami psikologi, menjadi psikolog, dan menyempurnakan ilmu yang mengantarkan saya pada kebermanfatan maksimal bagi masyarakat, yaitu ilmu psikologi.

    Suka

  17. Saya rasa satu lagi mas Reza yang pseudosains, komunikasi masa , kita bisa lihat Edward Bernay dengan propagandanya, A Huxley dengan new bravenya dan G Orwel dengan 1984 serta Animal farmnya.kalau mau jujur jujuran bagaimana 3 serangkai ini di pske untuk propaganda covid 19 …

    Suka

  18. Mestinya kita paham apa itu persepsi, apa saja yg mempengaruhi persepsi, dll
    Kalau bicara persepsi, di muka bumi ini tidak ada yg benar…
    Yang benar adalah bahwa persepsi itu adalah produk pikiran manusia ..
    Parahnya, dampak dari persepsi inilah yg membuat manusia menjadi spt Tuhan.
    Yang gak sepemikiran dengan dia, semuanya salah, pseudoscience, dll…
    Yg benar dirinya sendiri, padahal itulah persepsi…
    Sampai lupa kalo dirinya jg manusia, dan yg namanya kebenaran sudah jelas bukan milik kita, sudah ada yg punya…

    Dikira psikologi ato psikiatri saja yg bohong… matematika, fisika, filsafat, ilmu2 apa pun, even sampai sekolah serta pendidikan itu semuanya adalah kebohongan.
    Karena itu adalah produk pikiran manusia.

    So, biarkan Anda dgn pemikiran Anda, dan kami dgn pemikiran kami.
    Karena dari kedua ilmu itu banyak km peroleh kesejahteraan dan kesembuhan..
    Tidak dengan persepsi Anda…

    Salam filsafat!
    Tetap jaga protokol kesehatan!
    Jangan lupa makan…

    Suka

  19. Coba lah bung reza melakuan pembuktian secara pragmatis kalau ilmu psikologi dan psikiatri itu ilmu pesudoscien? Buktikan dong di lapangan filsafat bisa apa? Jadi volentir dong di rsj soeharto herdjan grogol JKT.

    Salam sehat selalu.

    Suka

  20. Hhhmmmm.. saya Ika Putri Dewi, psikolog Yayasan Pulih… saya ingin bertanya…
    anda pernah bertemu dgn korban korban kekerasan, anak & remaja korban kekerasan seksual? Pernah bertemu dgn kelompok rentan spt lgbtq? Menurut saya pendekatan ilmu psikologi membantu mereka hidup lebih sejahtera, membantu mereka bisa menjadi penyintas… membantu mereka pulih dari traumatisnya…
    anda pernah bertemu remaja remaja dgn persoalan emosi dan konsep diri? Pendekatan Ilmu psikologi membantu meningkatkan resilien mereka dan berhasil survive di masa remaja utk memasuki kematangan sbg individu dewasa. Anda pernah disampaikan ucapan demikian ” terimakasih mbak atau ibu karena saya menjadi lebih nyaman, saya mjd memahami situasi saya, saya mampu kelola emosi saya tdk melakukan coping yg menyakiti diri saya sendiri” pendekatan psikologi lah yg memproses individu tsb. Anda pernah berhadapan dgn proses hukum, dimana ada seorang remaja yg diduga “membunuh” bayi yg baru dilahirkannya (dia tdk paham kalau hamil, & tdk seorang dewasapun tau hal ini). Padahal remaja tsb hamil krn korban kekerasan seksual yg dialaminya? Dengan menggunakan pendekatan psikologi, kita mampu melihat dinamika pribadi dan konteks yg dialami remaja tersebut, penghayatannya..
    satu lagi, anda pernah kerja tdk dibayar & probono? Saya sering Mas… demi kemanusiaan, demi cinta kami kepada kehidupan… makanya berprofesi psikolog itu kecil kemungkinan bisa sugih.. hehehe… tdk ada dlm pikiran kami manipulasi individu demi keuntungan kami..
    Kami kerja utk kesehjateraan org lain mas… coba liat saat terjadi bencana pendekatan psikologi yg pas utk membantu korban menjadi penyintas…
    Anyway.. hhhmmm anda bicara tanpa tau kedalamannya.. agak aneh buat saya, seorang berlatar belakang pendidikan filsafat spt anda.. kok dangkal ya ngupas suatu isu dan pemikiran.. rasa-rasanya filsafat itu senangnya menguliti, sampai dalam.. bukan hanya menelanjangi..
    anda beneran backgroundnya filsafat… atau hanya beginner yg tdk pernah selesai?
    Hanya heran saja… ckckckckckck jd tertarik melakukan asesmen psikologi pd diri anda… gratis wes Mas.. beneran krn curious sm daya pikir, daya pribadi & daya emosi sosial anda…

    Disukai oleh 1 orang

  21. Dari tulisan ini saya paham bahwa ada sesuatu yg melampaui psikologi dan psikiatri sehingga ketika mengalami gangguan fisik tdk berarti kita mesti mengarah ke pendekatan psikologi dan psikiatri.

    Thx bang.. ✌✊

    Disukai oleh 1 orang

  22. Saya suka dengan cara berpikir bapak yang kritis (bkn hanya soal psikologist ini), sy tahu bpak dari tulisan bapak soal “Manusia”, ada sebagian besar hampir satu pikiran/pandangan dgn saya, Salah cara sy terapkan dlm hidup sy, hingga sy jadi hidup bahagia, tanpa beban, tetapi slalu bertolak blkg dgn dunia. (utk jd Manusia “bahagia”, hrs tahu kita berbeda. Karena kita tahu dunia skrg semakin berbeda pandangannya)
    sy bukan orang bertitle (maka tentu saja jauh dr bapak), tetapi karena pengalaman pribadi, baca2, pengetahuan dan apa yg telah sy amati dan lihat.
    Karena baca tulisan, tersebut, maka sy carilah nama bapak dan ditemukan blog ini.
    Karena sy tidak bertitle, maka hanya simpan sendiri saja. Tentu suatu hari, sy berharap bs mendapatkan gelar doctor, hingga sy punya hak utk bersuara juga.

    —Dapatkah bapak baca tulisan sy diatas? Sebuah Gelar itu penting utk jaman sekarang, biar kita didengarkan/diakui. Walau sebetulnya kita tahu kenyataannya sebuah gelar pun, bukan suatu jaminan, bahwa suara tersebut sudah pasti mengarahkan ke arah yang benar. Mgkn data-data yg didapatkan juga dr orang2 besar sebelum/sesudahnya, tapi masih ada kemungkinan salah persepsi, diputar balik demi keuntungan pribadi dan sebagainya.—-

    Krn perubahan jamanlah, semua tlh ditentukan, orang yang berkuasa, orang yang kaya, orang bergelar, orang yang lebih “Yang” ini saja…. yg dianggap “Sah”.
    Karena ini jg, bnyk yg memanfaatkannya demi keuntungan.
    Meski tidak semuanya, tetap ada yg benar, lurus dan bijak.

    Contoh tulisan bapak soal:
    jika psikologi humanistik dekat dengan filsafat dan tradisi meditatif Asia, mengapa kita tidak langsung belajar ke sumbernya? Mengapa kita mendalami barang turunan kedua, atau KW?

    —hanya orang memiliki Title yg lebih diakui dan berhak, bukan?— Salah/benar itu urusan nanti, yang penting lihat titlenya dulu 

    Sy bbrp kali konsultasi ke psikologi, maka sy berinteraksi langsung dengan psikolog.
    Tidak semua psikolog sama seperti yg bapak katakan, meskipun sebagian besar, IYA!
    Dan saya baru saja ambil jurusan psikologim tapi bukan demi dapat pekerjaan! Tapi demi sebuah HAK !!
    (sy br sadar jg, saya memiliki minat berfilsafat, karena sy tipe pemikir dan perenung, segala hal sy pikirkan sampai ke dalam-dalamnya.),
    Berharap suatu hari bisa bertemu bapak 

    Suka

  23. Saya sudah membaca tulisan bapak Ahmad Saifuddin di iainsurakarta, secara “Teori” saya sangat suka membacanya. (Dan besar harapan saya, semua itu Fakta dan nyata.) Tetapi bukan tak mungkin ada perbedaan di lapangan.
    Mungkin benar adanya sumpah, sebagai salah satu ikatan bahwa harus menerapkan etika yang benar. Tetapi bukan tak mungkin alasan tertentu juga, sumpah tersebut diabaikan. Bukan tak mungkin sudah salah dari awal bisa terjun ke dunia psikolog/psikiatri dan salah tujuannya terjun ke dunia psikologi/ psikiatri, atau salah pola pikir jaman sekarang?
    Bapak berkata, “Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) membuka layanan konseling dan terapi gratis kepada siapapun yang terdampak pandemi Covid-19:”.( Apakah fresh graduate? )
    Kembali ke individunya masing-masing, renungkan dan kesadaran tugasnya demi manusia, bukan demi sesuatu.
    Orang lain bisa melihat dan menilai sesuai kenyataan, bukan diteorikan.

    Suka

  24. “Saya tidak mau menyebutnya gangguan jiwa. Itu label yang berbahaya.”

    MANTAP BUNG REZA, Ini kalimat persis yg sy gunakan ketika bipolar menghampiri. Btw, sy mengikrarkan diri sdh sembuh dr bipolar 23 agustus kmrn. I heal my self. Sekarang tdk ada lg yg perlu sy takutkan.

    FATUM BRUTUM AMORFATI.

    INI TULISAN BUNG REZA YG PALING SEXY YG PERNAH SY BACA.

    Suka

  25. “Saya tidak mau menyebutnya gangguan jiwa. Itu label yang berbahaya.”

    Mantap Bung Reza. Kalimat yg kurang lebih sama persisnya ketika sy lg berhadapan dgn bipolar sy. Btw, sy menyatakan sdh sembuh dr bipolar 23 agustus kemarin. its not easy, but i heal my self. Skrg tdk ada yg perlu sy takutkan lagi.

    FATUM BRUTUM AMORFATI

    Ini tulisan Bung Reza yg paling sexy yg pernah sy baca. Salam hangat

    Suka

  26. “Saya tidak mau menyebutnya gangguan jiwa. Itu label yang berbahaya.”

    Mantap Bung Reza, kalimat yg sy gunakan kurang lbh sama persisnya ketika sy lg berhadapan dgn bipolar ini. Btw, skrg sy sdh sembuh dr bipolar 23 agustus kemarin. Its not easy, But i heal my self. Skrg sdh tdk ada yg perlu sy ditakutkan lagi.

    FATUM BRUTUM AMORFATI

    INI TULISAN BUNG REZA YG PALING SEXY YG PERNAH SY BACA. Salam Hangat.

    Disukai oleh 1 orang

  27. Kesimpulanmu ini yang Pseudosains, sana buktikan dulu datanya secara objektif, survey seluruh dunia, cuman mikir mikir aja kok, Berpikiran kritis, boleh, jika ada bukti yang kuat bisa membuat ide mu ini diterima. ini gak beda dengan sebuah rumor.
    Dan ini bersangkutan dengan sebuah kutipan dari seseorang :
    ” Pembuat rumor yaitu pembenci, dan penyebar adalah orang bodoh “

    Suka

  28. Tak ada satupun yg mengupas point-point dari tulisan ini secara sistemik dan analitik, ujung ujungnya balik ke personal..

    Saya pikir apapun profesi seseorang pekerjaan yg dia lakukan pondasinya adalah “niat dia apa? ” dan tulisan ini sedang mencoba membongkar niat niat dari pekerjaan itu, bantah saja pointnya bapk/ibu psikolog !

    Tulisan ini mengingatkan saya dengan ucapan ” dokter kaya diatas penderitaan orang lain”

    Disukai oleh 1 orang

  29. Saya seorang penyintas bipolar yang telah berjuang bertahun-tahun melakukan berbagai terapi medis dan alternatif untuk kesembuhan saya. Saya hargai tulisan bapak yang cukup kritis. Tapi tulisan bapak seperti seolah-olah “meremehkan” orang-orang dengan kondisi gangguan jiwa seperti saya. Dalam pengobatan psikiatri memang selalu ada trial dan error, perlu waktu yg lama untuk menemukan pengobatan yg cocok. Saya telah bertemu dengan beragam psikolog dan psikiater yg membantu saya dengan berbagai terapi yang berbeda. Meskipun memang hasilnya tidak instan, tapi saya sangat terbantu . Dan saya rasa, saya tidak sendiri. Bukan hanya dalam psikologi dan psikiatri, berbagai ilmu kedokteran lain juga belum tentu 100% berhasil menjawab segala tantangan keilmuan. Alangkah baiknya bila bapak melihat hal ini dari beragam perspektif. Setiap ilmu akan selalu berkembang dinamis mengikuti perkembangan zaman. Selayakna kita bisa terbuka melihat berbagai kemungkinan yang akan terjadi dan tidak terburu-buru melabeli suatu ilmu sebagai ilmu semu atau pseudoscience.

    Suka

  30. Menarik sekali membaca artikel Bung Reza ini. Menurut DR. Shebani Sati Dalai, MD (founder & director metabolic psychiatry physician, Stanford University), “gangguan jiwa” terkait erat dengan kondisi kesehatan metabolik seseorang. “Gangguan jiwa” menurut beliau karena otak mengalami inflamasi, terutama akibat pilihan makanan yang tinggi indeks inflamasinya, cth gula, refined grain. Ketika pilihan makanan menjadi lebih sehat, “gangguan jiwa” menjadi remisi/sembuh. Gangguan bukan di “jiwa”, tetapi pada ketidakseimbangan neurotransmiter di otak akibat pola makan & pola hidup yang buruk. “Saya tidak mau menyebutnya gangguan jiwa. Itu label yang berbahaya.” Sepakat.

    Suka

  31. Menarik sekali membaca artikel Bung Reza ini. Menurut DR. Shebani Sati Dalai, MD (founder & director metabolic psychiatriy physician, Stanford University), “gangguan jiwa” terkait erat dengan kondisi kesehatan metabolik seseorang. “Gangguan jiwa” menurut beliau karena otak mengalami inflamasi/peradangan, terutama akibat pilihan makanan yang salah secara terus-menerus yang didominasi oleh makanan dengan indeks inflamasi tinggi, contoh: refined grain, gula, tepung. Ketika pilihan makanan menjadi lebih sehat (real food), kondisi kesehatan metabolik akan membaik dan disertai pula dengan kondisi “gangguan jiwa” yang mengalami remisi/sembuh. Gangguan bukan di “jiwa”, tetapi lebih kepada gangguan pada metabolisme otak akibat kondisi kesehatan metabolik yang buruk. Terjadi peradangan & ketidakseimbangan neurotransmiter di otak akibat pola makan & pola hidup yang buruk. “Saya tidak mau menyebutnya gangguan jiwa. Itu label yang berbahaya.” Sepakat.

    Suka

  32. Pak, Lambe Turah aja kalo ngepost ada data. kalau Bapak yg claimed as a researcher, mencari data dan referensinya dari mana ya? mungkin boleh di share ☺️

    Suka

  33. ini yang komen kebanyakan sepertinya org psikolog tapi kok komennya pada sewot kepanasan gitu. gmana penerapan ilmu psikologinya jika membaca artikel yg sedikit kontra dgn ilmu yg mereka dalami.

    Disukai oleh 1 orang

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.