Apa Agamanya? Apakah Masih Berdoa? Apakah Masih Percaya Tuhan? 

PRAYER 11 Digital Arts by Paul Pinzarrone | Artmajeur
Paul Pinzarrone

Oleh Reza A.A Wattimena

Tiga pertanyaan ini kerap diajukan kepada saya oleh kenalan baru. Biasanya, ketiga pertanyaan ini diajukan di awal perjumpaan, sebelum diskusi tentang hal-hal yang lebih mendalam terjadi. Di banyak negara, soal agama adalah soal pribadi. Menanyakannya adalah sesuatu yang melanggar privasi. Namun, karena terobsesi dengan agama, orang Indonesia gemar mengajukan pertanyaan-pertanyaan semacam ini.

Tentang Agama

Saya lahir, lalu dibaptis Katolik oleh keluarga saya. Saya juga dididik di dalam lingkungan Katolik. Saya paham Katolik dari mulai sejarah, ajaran politis sampai dengan spiritualitasnya. Kebetulan, para pengajar agama saya adalah orang-orang brilian yang terbuka dan amat sangat cerdas.

Namun, di satu titik kehidupan saya, ajaran Katolik tak lagi bergema. Derita yang terasa begitu kuat mencengkram tidak lagi mampu dipahami dan diatas dengan ajaran Katolik. Disitulah saya terbuka pada ajaran-ajaran Dharma Asia, yakni ajaran Buddha dan Hindu. Derita saya pun, perlahan namun pasti, berakhir.

Memang sudah sejak kecil, saya mencintai dunia pemikiran. Saya tak puas dengan ilmu dangkal, apalagi ilmu yang hanya bertujuan mencari uang. Saya mencintai kedalaman pemikiran tentang hidup. Atas dasar itulah saya mendalami filsafat.

Ketika ditanya apa agama saya, saya secara lugas menjawab, agama saya adalah KEHIDUPAN. Ya, kehidupan dengan seluruh kekayaannya. Saya lalu mendalami banyak agama Asia, Afrika dan Amerika. Di dunia yang begitu kaya dengan budaya dan pemikiran, saya merasa tak harus memeluk satu agama secara sempit. Saya menikmati semuanya, dan belajar dari semuanya.

Tentu saja, khas orang Indonesia, mereka langsung bingung dengan jawaban itu. Bagi banyak orang Indonesia, yang belum keluar dari cuci otak sosial, agama itu hanya ada satu, yakni agama keluarga mereka. Agama pun lalu menjadi satu bentuk penyesuaian buta terhadap keadaan sosial. Tidak ada keaslian, dan tidak ada ketulusan.

Saya memilih untuk hidup secara tulus dan asli. Penyesuaian dengan dunia sosial saya lakukan seperlunya saja, tidak berlebihan. Hidup manusia hanya 70-80 tahun, bahkan kurang. Saya tak mau menghabiskan hidup dalam kepalsuan dan kemunafikan, apalagi soal agama.

Saya memilih untuk menjadi mahluk semesta, bersama bintang-bintang, galaksi dan planet di jagad raya maha luas. Saya tak mau dipenjara oleh tradisi lama yang tak lagi sesuai dengan perubahan kehidupan. Saya tak mau dipenjara oleh “apa kata orang” yang cenderung sempit dan bersikap jahat terhadap perbedaan. Saya ingin hidup sesuai dengan kenyataan apa adanya, dan bukan kenyataan yang dipenjara dalam agama, teori maupun filsafat.

Jika bukan karena kesempitan berpikir birokasi pemerintahan, saya sudah mengganti kolom agama di KTP saya menjadi “agama kehidupan”. Saya bisa membayangkan, jika saya melakukan itu sekarang. Tuduhan komunis bisa muncul. Ah, Indonesia… Indonesia. (sambil geleng-geleng)

Tentang Doa

Pertanyaan kedua yang sering muncul, apakah masih berdoa? Biasanya, khas orang beragama, berdoa itu meminta. Berdoa itu mengemis, bahkan memaksa Tuhan untuk mengikuti keinginan pribadi saya yang sempit dan dangkal. Saya tidak berdoa dengan cara seperti itu.

Doa saya adalah melihat hidup sebagaimana adanya. Saya menyaksikan segala hal datang dan pergi. Saya menyaksikan pula pikiran saya datang dan pergi. Doa saya, dengan kata lain, adalah meditasi.

Tak ada kata. Tak ada permintaan. Tak ada ucapan syukur. Hanya hening, merasakan getaran semesta di dalam diri. Batin menjadi seluas langit.

Seperti biasa, orang yang mendengar ini pasti bingung. Mereka melihat saya seolah seperti mahluk planet lain. Di dunia yang begitu indah dan sempurna sebagaimana adanya, saya merasa dangkal dan egois, jika masih harus mengemis kepada Tuhan. Doa saya adalah hening di dalam meditasi. Itu cukup, dan sudah memberikan kedamaian yang mendalam untuk diri saya.

Tentang Tuhan

Setelah bingung dengan agama dan doa, biasanya saya ditanya, apakah masih percaya Tuhan? Banyak orang memahami Tuhan sebagai sosok di luar sana. Tuhan lalu disembah, dan dimintai banyak hal. Tuhan pun menjadi obyek nafsu manusia, mulai dari nafsu untuk mendapatkan kesehatan, uang sampai dengan jodoh.

Saya tidak memahami Tuhan seperti itu. Tuhan adalah kecerdasan semesta yang melahirkan segala yang ada di alam semesta. Tuhan juga tidak hanya ada di luar sana. Ia bercokol di dalam diri manusia. Tuhan adalah kehidupan itu sendiri yang berdenyut di setiap nadi saya, dan di seluruh jagad raya semesta.

Maka, mencari Tuhan tak perlu pergi jauh. Saya melihat ke dalam diri untuk menyapa kecerdasan maha besar yang ada di sana. Setiap orang memilikinya. Namun, karena cuci otak salah kaprah, mereka lupa. Mereka pun sibuk mencari Tuhan di luar sana, bahkan menghabiskan uang begitu banyak secara sia-sia.

Sebagai kecerdasan semesta, Tuhan ada di dalam segala sesuatu. Segala hal di alam semesta itu sudah suci apa adanya. Tidak ada yang kotor dan jahat. Kejahatan terjadi, karena penderitaan dan ketidaktahuan manusia.

Inilah agama, doa dan Tuhan yang menjadi panduan hidup saya. Di abad 21 yang amat kompleks dan kaya ini, saya rasa, inilah jalan hidup terbaik. Kita menjadi manusia terbuka yang bisa belajar dari segala sesuatu. Hidup pun menjadi petualangan intelektual, sekaligus petualangan spiritual yang tidak akhir.

Tertarik mencoba?

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

26 tanggapan untuk “Apa Agamanya? Apakah Masih Berdoa? Apakah Masih Percaya Tuhan? ”

  1. begitu pula yg saya alam i, kata demi kata.
    mencicip kehidupan spt diatas, membuat kecanduan!
    lain2 tidak bisa di terangkan dgn kata2 !!
    selamat berkarya dan salam hangat !!

    Suka

  2. Kadang saya berpikir bahwa lebih baik diam daripada mengucapkan wacana yang sia-sia tentang Tuhan. Yang akan membuat kita layak untuk Tuhan adalah dengan tidak mengatakan apa-apa, tidak melakukan apa-apa, tidak ingin mengetahui apa pun yang tidak layak untuk Tuhan. Tetapi orang yang layak Tuhan adalah Tuhan itu sendiri. Saya akan menghormati Tuhan dengan cara terbaik dengan mengasimilasi ( homoiosês ) roh saya ( dianoia ) kepadanya. Tetapi asimilasi ( homoiosis ) hanya akan terjadi melalui kebajikan. Nyatanya, hanya kebajikan yang menuntun jiwa ke atas, menuju apa yang berhubungan dengannya ( syngenes ).Sejalan dengan pemikiran yang diuraikan dalam karya-karya mas Reza dalam Ontologi kebebasan , manusia ditempatkan dalam hubungan asli dengan keberadaan. Hanya dalam hubungan ini manusia dapat dipahami dan pengalamannya memperoleh makna.Manusia adalah hubungan: bukan karena dia ada dalam hubungan, bukan dia memiliki hubungan, tetapi dia adalah hubungan, lebih tepatnya hubungan dengan makhluk (hubungan ontologis), hubungan dengan orang lain (intensionalitas, yaitu, intensionalitas ala Husserlian secara ontologis ). Dan dalam hubungan ini manusia terdiri dari eksistensialitasnya, singularitasnya, kesejarahannya. Oleh karena itu, situasinya tidak hanya memiliki aspek historis, tetapi juga aspek ontologis: ia bukan hanya “batas” keberadaan, tetapi juga merupakan pembukaan bagi keberadaan; itu bukan batasan, tapi pembukaan untuk menjadi; itu bukan batasan, tetapi itu adalah pintu gerbang; ia memiliki aspek historis-personal dan ontologis, sebagai alat untuk mengatakan “ekspresif” dan “mengungkapkan”, dan mewakili solidaritas seseorang dengan kebenaran. Manusia menemukan dirinya ditempatkan secara Heideggerian. “Situasi” nya adalah pintu gerbang yang memungkinkan dia untuk menyelidiki keberadaan. Makhluk di mana manusia ditempatkan memiliki ciri-ciri yang tersembunyi yang tidak dapat direduksi oleh kesadaran manusia, itu adalah sesuatu yang “lain”, “transenden” sehubungan dengan manusia itu sendiri karena manusia tidak pernah menghabiskan totalitas keberadaan.Keberadaan dalam pengertian ini hadir dalam hubungan, tetapi tidak dengan cara yang sama di mana manusia hadir. Manusia dan makhluk bukanlah dua istilah yang setara, mereka tidak saling berhadapan, dalam hubungan ekuipotensi atau dalam hubungan ekstrinsik.Berawal dari praduga teoritis dasar ini, pada hemat saya pemikiran Mas Reza mengembangkan dua pedoman fundamental: di satu sisi, filsafat menjadi pemikiran hermeneutik, interpretatif, non-fundamental, yang tugas pemikiran manusia adalah menjadi penafsir pengalaman untuk memperoleh makna darinya; di sisi lain, menjadi memperoleh karakteristik “ringan”, itu bukan struktur yang memaksakan, obyektif, kaku, diberikan sekali dan untuk semua dan pasti, tetapi “jurang”, prinsip tanpa dasar, yang dapat diidentifikasikan dengan konsep kebebasan , dengan konsekuensi penting pada konsepsi manusia. Filsafat sebagai hermeneutika (Kebenaran ditawarkan hanya dalam interpretasi yang diberikan padanya. Ia menawarkan dirinya sendiri, tetapi sebagai tidak dapat direduksi, sebagai tidak relatif, sebagai institutif, sebagai tidak dapat disangkal, sebagai tidak pernah habis)Justru karena manusia berhubungan dengan kebenaran keberadaan dan kebenaran ini selalu lebih jauh, tidak habis-habisnya, tidak dapat dibantah dan oleh karena itu tidak dimiliki sepenuhnya, tugas yang diuraikan untuk pemikiran manusia tidak dapat menjadi tugas demonstratif. Manusia tidak dapat memberikan penjelasan yang sepenuhnya rasional tentang keberadaan karena selalu luput dari dirinya dalam kelengkapannya. Pemikiran manusia, di sisi lain, dapat mengemban tugas interpretatif, hermeneutis yang sadar akan batas-batas interpretasinya sendiri, namun yakin menjadi pembawa perspektif yang valid tentang kebenaran. Faktanya, kebenaran tidak pernah bisa diberikan secara langsung kepada manusia, tetapi hanya melalui multitafsir, yang jauh dari sekedar tafsir, melainkan perspektif personal, hidup dari kebenaran itu sendiri.Filsafat kemudian memperoleh karakter yang tidak lagi “rasional dan demonstratif”, tetapi “eksistensial dan interpretatif” dan hanya dapat dimulai dari keberadaan manusia sebagai hubungan asli dengan keberadaan:Wacana filosofis tidak mengarah langsung kepada keberadaan, tetapi hanya kepada manusia sebagai hubungan dengan keberadaan, oleh karena itu dalam pengertian ini secara tidak langsung merupakan wacana tentang keberadaan. Ini berbicara secara tidak langsung tentang keberadaan, tentang asal-usul, tentang kebenaran, di mana manusia adalah hubungan, kesadaran, interpretasi. Terima kasih , salam bening ,Rahayu…

    Suka

  3. Terbuka ke semua ajaran dari agama sampai ke ajaran yg tidak beragama (ateis atau agnostik) merupakan esensi dari seorang filsuf. Coba mungkin bapak terbuka untuk mempelajari islam yang katanya merupakan agama teroris tetapi agama dgn pertumbuhan paling pesat di dunia.

    Suka

  4. Faktanya emang orang Indonesia itu selalu “kepo” dengan agama orang lain, makanya banyak tuh debat-debat agama yang gak penting di YouTube, seolah agama itu bukan lagi soal privasi pemeluknya masing-masing. Nah..jika dibilang gak beragama langsung deh dicap macem-macem, ateis lah, kumunis lah..

    Bukan pak Reza aja yang ngerasain digituin pak, saya juga.

    Salam geleng-geleng aja deh pak. Makasih sudah berbagi. Tak kirain saya aja yang ngalamin gini. Hehehe

    Suka

  5. Saya terinspirasi dan termotivasi sekali dgn tulisan bapak Reza sangat sesuai dgn jati diri kehidupan saya terima kasih pak berbagi ilmu nya

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.