Merindukan Sosok “Ilmuwan-Pemimpin”

3589995-WRSNONSJ-7
Carmelo Margarone

Oleh Reza A.A Wattimena

Angela Merkel, Kanselir Jerman, memang sangat luar biasa. Di tengah pandemik virus global, ia memimpin sebuah negara dengan cara berpikir ilmiah yang amat tajam. Ia mengumpukan informasi. Ia bersikap jujur tentang data yang ada, dan apa yang belum diketahuinya. Alhasil, Jerman adalah salah satu negara yang berhasil menangani pandemik COVID 19 ini dengan nyaris sempurna.

Yang mengerikan sebenarnya bukan virus Covid 19 itu sendiri. Kita sudah berulang kali diserang oleh virus yang membawa petaka besar. Yang mengerikan adalah “pandemik pikiran manusia” (pandemic of the mind) itu sendiri. Ini adalah keadaan, ketika kebohongan dan sikap panik meracuni dunia, sehingga bangsa-bangsa hidup dalam kecemasan dan ketakutan yang berlebihan.

Dalam keadaan itu, berbagai keputusan yang tak masuk akal pun dibuat. Kebijakan politik merugikan rakyatnya sendiri. Kebijakan ekonomi menghancurkan ekonomi global. Akal sehat meredup, karena ditelan ketakutan dan kecemasan yang tak tertahankan.

Kenyataan dan kebohongan pun kerap sulit dibedakan. Media menyajikan berita-berita heboh secara berlebihan. Semua demi rating dan iklan. Integritas penyampaian informasi pun menjadi barang langka yang dikesampingkan.

Di dalam keadaan semacam ini, para pemimpin dunia harus membaca keadaan dengan jernih. Mereka perlu menerapkan cara berpikir logis, kritis dan sistematik di dalam memahami keadaan. Bukti-bukti ilmiah menjadi acuan, bukan ideologi atau kepercayaan agama yang tanpa dasar. Inilah yang menjadi ciri utama dari Angela Merkel, pemimpin Jerman di 2020.

Sepak Terjang Angela Merkel

Sudah beberapa bulan ini, Merkel memimpin Jerman di dalam pandemik dengan tangan dingin. Akal sehat menjadi acuannya. Sampai detik tulisan ini dibuat, pandemik Covid 19 di Jerman berhasil diperangi. Di tengah pandemik, Merkel tetap kokoh sebagai pemimpin yang analitis, tidak emosional dan sangat berpijak pada akal sehat di dalam mengambil keputusan.

Jerman pun muncul sebagai negara yang cukup stabil di bidang ekonomi dan politik, walaupun krisis melanda berbagai negara di dunia. Apa rahasianya? Pertama, Jerman memiliki jaringan ilmuwan yang tersebar di berbagai kota, termasuk para dokter dan peneliti ilmiah. Mereka mendapat dukungan penuh dari negara untuk bekerja sebaik mungkin melayani masyarakat.

Dua, secara umum, masyarakat Jerman mempercayai pemerintahnya. Kepercayaan adalah sesuatu yang amat sulit untuk diraih dan dipertahankan. Dengan keadaan ekonomi maupun politik yang stabil, walaupun keadaan terus berubah, pemerintahan Merkel berhasil menunjukkan prestasinya. Kepercayaan publik terus pun digenggamnya.

Tiga, langkah-langkah Merkel sangatlah analitis, berpijak pada data serta mengacu pada akal sehat. Tidak ada ideologi yang disembahnya, baik kapitalisme, liberalisme ataupun sosialisme. Tidak ada agama yang mempersempit daya pikirnya. Merkel adalah seorang ilmuwan-pemimpin politik yang kehadirannya sangat dibutuhkan serta dirindukan sekarang ini. (Miller, 2020)

Merkel lahir 1954, dan berasal dari Jerman Timur (sebuah desa kecil dekat Berlin). Ia adalah anak dari seorang Pastur Lutheran yang sempat menjadi incaran dari lembaga intelijen Jerman Timur. Merkel lalu menjadi seorang Doktor dalam bidang Kimia Kuantum. Namun, ia memilih untuk terlibat di dalam politik.

Sebelum Pandemik menerjang, politik dalam negeri Jerman memang sedang goyah. Krisis pengungsi, akibat perang tak berkesudahan di Timur Tengah, melanda Jerman. Politik populisme garis kanan juga tumbuh berkembang disana. Ini dibarengi dengan tanggapan keras dari para politikus dan pemikir kiri. Keadaan politik memanas.

Pandemik ini bisa dilihat sebagai berkah terselubung. Merkel menyerukan solidaritas kepada seluruh Jerman. Semua aliran politik berhenti berdebat keras, dan mulai bekerja sama. Bahkan, di pidatonya, ia menyebutkan, bahwa Jerman menghadapi tantangan terbesar, sejak perang dunia kedua lalu.

Jumlah korban terkait Covid 19 di Jerman memang terus berubah. Namun, para ahli masih terus berpendapat, bahwa Jerman adalah salah satu negara dengan risiko terkecil penyebaran Covid 19. Walaupun begitu, Jerman tak berpuas diri. Fasilitas kesehatan mereka begitu efisien, dan siap menanggapi segala kemungkinan yang terjadi.

Ilmiah dan Demokratis

Selama memimpin Jerman, Merkel memiliki satu ciri yang kuat. Ia tidak hanya mampu secara dingin dan jernih memahami keadaan, serta mengambil keputusan. Ia juga mampu mengajak berbagai pihak yang berbeda untuk berjumpa di tengah, dan bekerja sama.

Merkel juga bukan tipe pemimpin yang merasa sok tahu. Ia sadar keterbatasannya, dan berani bertanya serta mendengarkan orang yang tepat. Inilah pemimpin yang tidak hanya ilmiah, tetapi juga demokratis. Ciri kepemimpinan yang amat diperlukan di dunia abad 21 yang semakin kompleks ini.

Secara khusus, Merkel memberikan dukungan penuh yang amat besar terhadap berbagai institusi penelitian maupun pendidikan Jerman. Kini, semua lembaga itu bekerja keras untuk memahami Covid 19, dan dampaknya bagi dunia. Jerman bahkan menciptakan jaringan nasional penelitian ilmiah khusus untuk hal ini. Dengan para menterinya, Merkel bahkan menyatukan seluruh fakultas kedokteran dan farmasi di Jerman menjadi satuan tugas menanggapi Covid 19. (Miller, 2020)

Salah satu ahli kepercayaan Merkel adalah Christian Drosten, kepala Virologi di Rumah Sakit Charite di Berlin. Mereka berdua adalah ilmuwan sejati. Mereka mempertimbangkan semua data yang ada. Mereka menganalisisnya secara jernih, lalu berbicara dengan jujur kepada masyarakat.

Alhasil, komunikasi yang bermutu antara pemerintah dan masyarakat luas pun tercipta. Kepercayaan yang ada semakin kuat. Rakyat mematuhi anjuran pemerintah, karena mereka percaya kepada pemerintah. Keadaan pun menjadi teratur, dan krisis bisa dikelola dengan baik.

Walaupun begitu, pandemik ini juga masih penuh dengan ketidakpastian. Keadaan ini mengajarkan kepada kita, bahwa pemimpin politik pun harus mampu berpikir ilmiah. Angela Merkel adalah sosok ilmuwan-pemimpin yang amat dibutuhkan sekarang ini. Ia adalah seorang pemimpin politik yang berpijak kuat pada data akurat, serta daya analisis yang jernih, kritis dan rasional.

Indonesia jelas membutuhkan pemimpin-pemimpin semacam ini. Gelar pendidikan tidak jaminan. Di Indonesia, banyak pemimpin bergelar panjang, namun doyan bermain mata dengan radikalis agama, dan koruptor. Banyak pula lembaga pendidikan yang dikuasai pandangan radikalis agamis, dan menjadi antek-antek kapitalisme global.

Berpikir ilmiah adalah soal cara hidup, dimana bukti nyata lebih penting, dan kejernihan akal sehat menjadi acuan utama. Tidak peduli, orang itu punya gelar atau tidak. Ayo para ilmuwan sejati, kuasailah politik Indonesia! Singkirkan koruptor dan kaum radikal yang meracuni bangsa ini!

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

6 tanggapan untuk “Merindukan Sosok “Ilmuwan-Pemimpin””

  1. `Indonesia jelas membutuhkan pemimpin-pemimpin semacam ini. Gelar pendidikan tidak jaminan. Di Indonesia, banyak pemimpin bergelar panjang, namun doyan bermain mata dengan radikalis agama, dan koruptor. Banyak pula lembaga pendidikan yang dikuasai pandangan radikalis agamis, dan menjadi antek-antek kapitalisme global.`

    saya ingin mengomentari ulang apa yang Mas Reza utarakan dengan lelucon satir yang dapat membantu kita untuk memahami arti penting dari “objektivitas” dari pandangan radikal tentang seorang ilmuan penjual minyak ular Seorang ilmuwan sedang melakukan tes dengan laba-laba. Tes tersebut menyiratkan bahwa laba-laba dapat mendengarkan dan memahami suara manusia. Ilmuwan mengambil laba-laba dan meletakkannya di atas meja. Kemudian, ilmuwan mengatakan:- Laba laba datang! Dan laba-laba berjalan.Sekarang, ilmuwan memutuskan untuk melepaskan kaki dari laba-laba. Setelah dia melakukannya, ilmuwan mengatakan:- laba laba datang! Dan laba-laba itu berjalan lagi.Setelah melakukan itu, ilmuwan melepaskan tiga kaki lagi dari laba-laba dan dia berkata:- Gerak dan jalan laba-laba! Ayo! Dan laba-laba itu mulai berjalan sekali lagi.Setelah semua, ilmuwan membuat keputusan melepas semua kaki lain dari laba-laba. Sang ilmuwan mengatakan:- Laba laba datang! Bergerak !!!Tapi sekarang, laba-laba itu tidak berjalan sama sekali. Laba-laba itu tenang. Tidak ada gerakan.Setelah percobaan ini, ilmuwan menyimpulkan secara obyektif bahwa ketika seseorang melepas semua kaki laba-laba, laba-laba itu menjadi tuli! laba-laba itu menjadi Bodoh!Sama dengan ilmuan pejual minyak ular itu juga bodoh! (para saintist statisme )
    Saya percaya bahwa ilmu-ilmu sedang dikekang oleh dogmatisme, dan khususnya oleh sikap tunduk pada filosofi materialisme, doktrin bahwa materi adalah satu-satunya realitas dan bahwa pikiran tidak lain adalah aktivitas fisik otak. Saya percaya bahwa ilmu-ilmu akan lebih ilmiah jika mereka bebas untuk menyelidiki dunia alam dengan cara yang benar-benar terbuka (tanpa kendala materialisme dan prasangka dogma ) sambil tetap berpegang pada metode ilmiah pengumpulan data, pengujian hipotesis dan diskusi kritis sebagai daya upaya pembebasan dari dogma saintisme statisme dengan mengabaikan pengamatan empiris a priori, hanya didasarkan pada bias atau asumsi teoritis dari para lembaga kediktatoran ilmiah dan mafia epistimologi, mendasari ketidakpercayaan terhadap kemampuan proses ilmiah untuk membahas dan mengevaluasi bukti berdasarkan kemampuannya sendiri.( ilmu pengetahuan itu tidak perlu konsensus rekan sejawat) Saya berbeda dalam hal sejauh mana Saya yakin bahwa kasus untuk fenomena psi telah dibuat, tetapi tidak dalam pandangan saya tentang sains sebagai proses non-dogmatis, terbuka, kritis tetapi penuh hormat yang membutuhkan pertimbangan menyeluruh dari semua bukti juga. sebagai skeptisisme terhadap kedua asumsi yang sudah kita miliki dan mereka yang menantangnya.seruan dari para ilmuwan yang berdedikasi ini untuk sikap terbuka, bebas-tabu sangat menggembirakan. Bersama-sama dengan bukti lain dari minat yang berkembang, ini mungkin menandakan perubahan yang benar-benar substantif dalam komunitas ilmiah yang lebih luas menuju suasana terbuka yang benar-benar terbuka. Seperti yang ditulis Dean Radin dalam The Conscious Universe :… ketika ide-ide yang menghancurkan bumi bergerak dari Tahap 1, “tidak mungkin,” ke Tahap 2, “itu nyata, tetapi terlalu lemah untuk menjadi penting,” Tahap 3 sering mengikuti. Inilah saat konsekuensi dari “itu nyata” mulai menyingsing pada generasi ilmuwan baru yang tidak harus berjuang melalui penutup prasangka masa lalu. Ada beberapa alasan karena beberapa pandangan yang ada (1).Pandangan dunia ilmiah modern sebagian besar didasarkan pada asumsi yang terkait erat dengan fisika klasik. Materialisme (gagasan bahwa materi adalah satu-satunya realitas) adalah salah satu asumsi ini. Asumsi terkait adalah reduksionisme, gagasan bahwa hal-hal kompleks dapat dipahami dengan mereduksinya menjadi interaksi bagian-bagiannya, atau ke hal-hal yang lebih sederhana atau lebih mendasar seperti partikel material kecil.(2).Selama abad ke-19, asumsi-asumsi ini menyempit, berubah menjadi dogma, dan bergabung menjadi sistem kepercayaan ideologis yang kemudian dikenal sebagai “materialisme ilmiah.” Sistem kepercayaan ini menyiratkan bahwa pikiran tidak lain adalah aktivitas fisik otak, dan bahwa pikiran kita tidak dapat mempengaruhi otak dan tubuh kita, tindakan kita, dan dunia fisik.(3).Ideologi materialisme ilmiah menjadi dominan di dunia akademis selama abad ke-20. Begitu dominan sehingga sebagian besar ilmuwan mulai percaya bahwa itu didasarkan pada bukti empiris yang mapan, dan mewakili satu-satunya pandangan rasional dunia.(4).Metode ilmiah berdasarkan filosofi materialistik telah sangat berhasil tidak hanya meningkatkan pemahaman kita tentang alam tetapi juga dalam membawa kontrol dan kebebasan yang lebih besar melalui kemajuan teknologi.(5) Namun, dominasi materialisme yang hampir absolut di dunia akademik telah secara serius membatasi ilmu pengetahuan dan menghambat pengembangan studi ilmiah tentang pikiran dan spiritualitas. Kepercayaan pada ideologi ini, sebagai kerangka penjelasan ekslusif untuk realitas, telah memaksa para ilmuwan untuk mengabaikan dimensi subyektif dari pengalaman manusia. Ini telah menyebabkan pemahaman yang sangat menyimpang dan miskin tentang diri kita dan tempat kita di alam.(6) Ilmu pengetahuan pertama dan terutama adalah metode non-dogmatis, pikiran terbuka untuk memperoleh pengetahuan tentang alam melalui pengamatan, penyelidikan eksperimental, dan penjelasan teoretis tentang fenomena. Metodologinya tidak identik dengan materialisme dan tidak boleh dilakukan dengan keyakinan, dogma, atau ideologi tertentu.(7). Pada akhir abad kesembilan belas, fisikawan menemukan fenomena empiris yang tidak dapat dijelaskan oleh fisika klasik. Ini mengarah pada pengembangan, selama 1920-an dan awal 1930-an, cabang fisika revolusioner baru yang disebut mekanika kuantum (QM). QM telah mempertanyakan dasar-dasar material dunia dengan menunjukkan bahwa atom dan partikel subatom bukanlah benda yang benar-benar padat (mereka tidak ada dengan pasti di lokasi spasial dan waktu yang pasti) Yang paling penting, QM secara eksplisit memperkenalkan pikiran ke dalam struktur konseptual dasarnya karena ditemukan bahwa partikel yang diamati dan pengamat – ahli fisika dan metode yang digunakan untuk pengamatan (saling terkait. Menurut salah satu interpretasi QM,Fenomena ini menyiratkan bahwa kesadaran pengamat sangat penting bagi keberadaan peristiwa fisik yang diamati, dan bahwa peristiwa mental dapat mempengaruhi dunia fisik). Hasil percobaan terbaru mendukung interpretasi ini. Hasil-hasil ini menunjukkan bahwa dunia fisik bukan lagi komponen utama atau satu-satunya dari realitas, dan bahwa ia tidak dapat sepenuhnya dipahami tanpa merujuk pada pikiran.(8).Studi psikologis telah menunjukkan bahwa aktivitas mental sadar dapat mempengaruhi perilaku secara kausal, dan bahwa nilai penjelas dan prediktif dari faktor-faktor agen (misalnya kepercayaan, tujuan, keinginan, dan harapan) sangat tinggi. Selain itu, penelitian dalam psikoneuroimunologi menunjukkan bahwa pikiran dan emosi kita dapat mempengaruhi aktivitas sistem fisiologis (misalnya, kekebalan tubuh, endokrin, kardiovaskular) yang terhubung ke otak. Dalam hal lain, studi neuroimaging regulasi diri emosional, psikoterapi, dan efek plasebo menunjukkan bahwa peristiwa mental secara signifikan mempengaruhi aktivitas otak.(9) Studi tentang apa yang disebut “fenomena psi” menunjukkan bahwa kita kadang-kadang dapat menerima informasi yang bermakna tanpa menggunakan akal sehat, dan dengan cara yang melampaui ruang kebiasaan dan batasan waktu. Lebih jauh, penelitian psi menunjukkan bahwa kita dapat mempengaruhi secara mental (pada jarak tertentu) alat fisik dan organisme hidup (termasuk manusia lain). Penelitian Psi juga menunjukkan bahwa pikiran jauh dapat berperilaku dengan cara yang berkorelasi secara nonlokal, yaitu korelasi antara pikiran jauh yang dihipotesiskan menjadi tidak dimediasi (mereka tidak terkait dengan sinyal energi yang dikenal), tidak dikurangi (mereka tidak menurun dengan meningkatnya jarak), dan langsung (tampaknya simultan). Peristiwa-peristiwa ini sangat umum sehingga tidak dapat dipandang sebagai anomali atau sebagai pengecualian terhadap hukum alam,tetapi sebagai indikasi perlunya kerangka kerja penjelasan yang lebih luas yang tidak dapat diprediksikan secara eksklusif pada materialisme.(10).Aktivitas mental sadar dapat dialami dalam kematian klinis selama henti jantung (inilah yang disebut “pengalaman hampir mati” [NDE]). Beberapa orang yang hampir mati (NDErs) telah melaporkan persepsi keluar tubuh secara verbal (yaitu persepsi yang dapat dibuktikan bertepatan dengan kenyataan) yang terjadi selama henti jantung. NDE juga melaporkan pengalaman spiritual yang mendalam selama NDE yang dipicu oleh henti jantung. Perlu dicatat bahwa aktivitas listrik otak berhenti dalam beberapa detik setelah henti jantung.(11).Eksperimen laboratorium terkontrol telah mendokumentasikan bahwa media penelitian yang terampil (orang yang mengklaim bahwa mereka dapat berkomunikasi dengan pikiran orang yang telah mati secara fisik) kadang-kadang dapat memperoleh informasi yang sangat akurat tentang individu yang telah meninggal. Ini lebih lanjut mendukung kesimpulan bahwa pikiran dapat eksis terpisah dari otak.(12).Beberapa ilmuwan dan filsuf materialistis cenderung menolak untuk mengakui fenomena ini karena mereka tidak konsisten dengan konsepsi eksklusif mereka tentang dunia. Penolakan investigasi post-materialis terhadap alam atau penolakan untuk mempublikasikan temuan-temuan sains yang kuat yang mendukung kerangka post-materialis bertentangan dengan semangat penyelidikan ilmiah, yaitu bahwa data empiris harus selalu ditangani secara memadai. Data yang tidak sesuai dengan teori dan kepercayaan yang disukai tidak dapat diabaikan secara apriori. Pemecatan seperti itu adalah ranah ideologi, bukan sains.(13).Adalah penting untuk menyadari bahwa fenomena psi, NDE dalam henti jantung, dan bukti yang dapat ditiru dari media penelitian yang kredibel, tampak anomali hanya jika dilihat melalui lensa materialisme.(14).Selain itu, teori-teori materialis gagal untuk menjelaskan bagaimana otak bisa menghasilkan pikiran, dan mereka tidak dapat menjelaskan bukti empiris disinggung dalam manifesto ini. Kegagalan ini memberi tahu kita bahwa inilah saatnya untuk membebaskan diri kita dari belenggu dan penutup mata dari ideologi materialis lama, untuk memperluas konsep kita tentang dunia alami, dan untuk merangkul paradigma post-materialis.(15).Menurut paradigma post-materialis:(a) Pikiran mewakili aspek realitas yang primordial seperti dunia fisik. Pikiran adalah fundamental di alam semesta, yaitu ia tidak dapat diturunkan dari materi dan direduksi menjadi sesuatu yang lebih mendasar.(b) Ada keterkaitan yang mendalam antara pikiran dan dunia fisik(c) Pikiran (kehendak / niat) dapat mempengaruhi keadaan dunia fisik, dan beroperasi dalam cara nonlokal (atau diperluas), yaitu tidak terbatas pada titik-titik tertentu di ruang, seperti otak dan tubuh, atau ke titik-titik tertentu dalam waktu, seperti saat ini. Karena pikiran dapat secara nonlocal mempengaruhi dunia fisik, niat, emosi, dan keinginan seorang pelaku eksperimen mungkin tidak sepenuhnya terisolasi dari hasil eksperimen, bahkan dalam rancangan eksperimental yang terkontrol dan buta.(d) Pikiran tampaknya tidak terikat, dan dapat bersatu dalam cara-cara yang menyarankan kesatuan, Satu Pikiran yang mencakup semua individu, pikiran tunggal.(e) NDE dalam henti jantung menunjukkan bahwa otak bertindak sebagai transceiver aktivitas mental, yaitu pikiran dapat bekerja melalui otak, tetapi tidak diproduksi olehnya. NDE yang terjadi dalam serangan jantung, ditambah dengan bukti dari media penelitian, lebih lanjut menyarankan kelangsungan hidup kesadaran, setelah kematian tubuh, dan keberadaan tingkat realitas lain yang non-fisik.(f) Para ilmuwan tidak perlu takut untuk menyelidiki spiritualitas dan pengalaman spiritual karena mereka mewakili aspek sentral dari keberadaan manusia.(16) .Ilmu post-materialis tidak menolak pengamatan empiris dan nilai besar pencapaian ilmiah yang direalisasikan sampai sekarang. Ia berupaya memperluas kapasitas manusia untuk lebih memahami keajaiban alam, dan dalam proses menemukan kembali pentingnya pikiran dan jiwa sebagai bagian dari jalinan inti alam semesta. Post-materialisme termasuk materi, yang dipandang sebagai unsur dasar alam semesta(17).Paradigma post-materialis memiliki implikasi yang luas. Ini secara fundamental mengubah visi yang kita miliki tentang diri kita sendiri, memberi kita kembali martabat dan kekuatan kita, sebagai manusia dan sebagai ilmuwan. Paradigma ini menumbuhkan nilai-nilai positif seperti kasih sayang, rasa hormat, dan kedamaian. Dengan menekankan hubungan yang mendalam antara diri kita dan alam pada umumnya, paradigma pasca-materialis juga mempromosikan kesadaran lingkungan dan pelestarian biosfer kita. Selain itu, bukanlah hal baru, tetapi hanya dilupakan selama empat ratus tahun, bahwa pemahaman transmaterial yang hidup mungkin merupakan landasan kesehatan dan kesejahteraan, karena telah dipegang dan dilestarikan dalam praktik pikiran-tubuh-roh kuno, tradisi keagamaan, dan pendekatan kontemplatif.(18).Pergeseran dari sains materialis ke sains_
    *post-materialis mungkin sangat penting bagi evolusi peradaban manusia. Mungkin bahkan lebih penting daripada transisi dari geosentrisme ke heliosentrisme.*

    Suka

  2. Kepercayaan pada pemimpin sepertinya memang krusial di situasi seperti ini. Entah kenapa kebijakan di tingkat pusat selalu menimbulkan prasangka alih-alih harapan & rasa aman. Hingga akhirnya masyarakat secara independen saling memberdayakan demi bisa bertahan. Tapi ada yg menarik di tingkat pemda, apa Bang Reza sempat menonton video ttg Bupati di Sulut? Atau cara Gubernur Jateng merespon janazah yg ditolak warga di Ungaran? Mungkin itu bisa jd tanda bahwa masih ada pemimpin yg setidaknya benar-benar mengurusi warganya. Gmn pendapat Bang Reza?

    Suka

  3. Saya tidak bisa bicara secara khusus. Tentu saja, ada perkecualian. Namun, secara umum, kepemimpinan pusat dan daerah di Indonesia bermutu amat rendah dari segala sisi. Banyak dasar untuk pandangan ini. Mungkin di lain waktu, saya bahas. Terima kasih ya

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.