Korona Mengajak Kita Berkaca

Ilustrasi karya Jason Ranti

Oleh Reza A.A Wattimena

            Beberapa mahasiswa bertanya kepada saya. “Bapak tidak takut dengan virus Korona?” Jawab saya sederhana. Kematian karena serangan virus itu hal biasa di dalam sejarah manusia. Sekarang, kita hanya bisa berusaha untuk tetap sehat di dalam badan maupun pikiran. Sisanya serahkan pada alam.

Yang menjadi ketakutan saya adalah dampak Korona terhadap keadaan politik, sosial, ekonomi dan budaya dunia. Kehadiran Korona menyibak luka global yang lebih dalam, yakni penyebaran berita palsu untuk menciptakan ketakutan, ketololan teologis, berkembangnya teori konspirasi sampai dengan rasisme yang meledak. (Zizek, 2020)

Korona memancing kita berkaca tentang penyakit manusia yang sesungguhnya.

Hoaks Global

Berita menggemparkan memang laku dijual. Itulah fakta dunia pers, baik di Indonesia maupun dunia. Jika tak ada berita buruk, maka spekulasi yang mencemaskan lalu diciptakan. Jika ada berita bencana, maka ia harus dibuat segempar mungkin, sehingga menciptakan ketakutan yang berlebihan.

Hoaks adalah berita palsu yang disebarkan sebagai fakta. Ia menciptakan kecemasan pribadi. Ia mempengaruhi keadaan politik dan ekonomi global. Dalam hal virus Korona, industri pariwisata di berbagai negara lumpuh.

Hoaks juga melahirkan kebencian. Kebohongan pasti melahirkan kebencian. Kebencian memecah manusia ke dalam kelompok-kelompok fiktif. Kekerasan dan kematian lalu adalah buahnya.

Ketololan Teologis

Akibat pemahaman agama yang lemah, Tuhan lalu digiring kemanapun. Segala hal selalu dicari sebabnya pada Tuhan. Padahal, manusia diberi kebebasan dan akal budi. Dengan dua hal itu, manusia bisa mengubah dunia.

Ketololan teologis lahir dari kedangkalan berpikir. Ini tentu terkait dengan mutu pendidikan yang rendah di Indonesia. Manusia tak diajak berpikir kritis, rasional dan mendalam. Yang ditekankan dan dipuja justru kepatuhan buta dan mental menghafal.

Buah dari kedangkalan adalah tafsir agama yang sesat. Tafsir sesat melahirkan kebencian di dalam hati. Tafsir sesat juga melahirkan kebencian terhadap orang lain yang berbeda pandangan. Di abad 21, agama dengan tafsir sesat adalah salah satu biang keladi berbagai persoalan politik global.

Teori Konspirasi

Teori konspirasi memang menarik. Intinya, bahwa di balik semua masalah yang ada, ada satu tokoh yang menjadi penjahat utamanya. Tokoh ini bisa satu orang, ataupun satu kelompok. Teori konspirasi telah menginspirasi begitu banyak film maupun novel sepanjang sejarah manusia.

Hal serupa terjadi pada virus Korona. Ia bukanlah kebetulan semata. Ada aktor global yang mendalangi semuanya. Begitulah kata para pendukung teori konspirasi.       Teori konspirasi seringkali mengabaikan data. Ia senang dengan kegemparan. Data yang tak sesuai diabaikan, supaya teori yang menggemparkan bisa tercipta, dan tersebar. Apapun yang menggemparkan lebih cocok berada di film dan novel. Kenyataan terlalu membosankan.

Rasisme

Tersebarnya virus Korona kiranya menyingkap tabir rasisme yang tertutup. Rasisme adalah kebencian terhadap ras lain. Motifnya beragam, mulai dari politik, sejarah sampai dengan ekonomi. Rasisme adalah salah satu bentuk dari heterofobia, yakni ketakutan pada yang lain.

Kali ini, negara Cina yang menjadi sasaran. Mereka dianggap sebagai biang keladi utama penyebaran virus Korona. Di berbagai belahan dunia, warga Cina dan keturunan Cina mengalami diskriminasi. Di sisi lain, upaya menjadikan Cina sebagai pelaku utama ini merupakan salah satu cara untuk melumpuhkan kejayaan ekonomi Cina beberapa dekade ini.

Kebencian juga diarahkan pada para korban virus. Mereka dicaci maki oleh orang-orang yang ketakutan. Tak hanya harus menderita sakit, mereka pun menjadi tumbal dari ketakutan dan kebodohan masyarakat. Sikap berbudaya tinggi yang diajarkan tradisi dan agama tunduk di bawah rasa takut dan kebodohan.

Penyakit Manusia Yang Sesungguhnya

Tersebarnya Korona mengangkat kembali penyakit manusia yang terpendam. Jika karena Korona, umat manusia punah, maka tak ada lagi masalah. Namun, jika karena korona, kita saling membenci dan membunuh satu sama lain, itulah bencana yang sesungguhnya. Korona mengajak kita berkaca.

Korona mengajak kita berkaca tentang kebohongan yang kita ciptakan tentang satu sama lain. Korona mengajak kita berkaca tentang ketololan teologis yang mengendap di dalam hidup beragama kita. Korona mengajak kita berkaca tentang gosip hampa yang kita sebarkan secara buta. Korona juga mengajak kita berkaca tentang kebencian terhadap perbedaan yang bercokol di hati kita.

Korona lalu mengajak kita untuk berpikir lebih kritis dan rasional di dalam menanggapi peristiwa. Ia juga mengajarkan kita untuk beragama dengan lebih cerdas dan seimbang. Di bidang jurnalisme, Korona mengajarkan kita tentang betapa pentingnya kehadiran media yang sehat dan mencerahkan. Kita bisa bersatu sebagai manusia, belajar dari semua ini, lalu menjadi bijak karenanya, asal kita mau.

Melampaui Korona

Pendapat Yuval Harari kiranya tepat. Kita perlu melakukan dua hal di dalam menanggapi Korona. Pertama, kita harus percaya pada kekuatan ilmu pengetahuan di dalam menyelamatkan hidup manusia. Metode ilmiah, terutama dalam bidang medis dan kedokteran, telah berulang kali menyelamatkan manusia dari kehancuran. Seluruh dunia harus mendukung sepenuhnya berbagai penelitian medis untuk memerangi Korona.

Dua, kita perlu melakukan kerja sama global untuk melawan virus ini. Prasangka antar bangsa harus dilampaui. Kebencian karena perbedaan harus dibuang jauh-jauh. Di hadapan musuh bersama, pilihan hanya satu, yakni bersatu.

Jika dua hal ini dilakukan, manusia akan mampu melampaui berbagai tantangan. Budaya dan peradaban akan kembali diselimuti nilai-nilai luhur kehidupan. Perbedaan dan permusuhan akan dilampaui melalui pemahaman yang mendalam. Jika ini sungguh terjadi, maka kita harus berterima kasih terhadap Korona.

 

 

 

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

15 tanggapan untuk “Korona Mengajak Kita Berkaca”

  1. tulisan yang sangat menginspirasi, satu kata penting yang menggugah saya, jika karena korona umat manusia musnah maka tidak ada lagi masalah, sebaliknya jika karena korona manusia membunuh, memfitnah, mengucilkan bahkan menghancurkan sesamanya, itulah bencana sesungguhnya. Hemat saya, pernyataan ini sangat tepat dan benar. Di Indonesia, masalah korona itu tidak seberapa dibandingkan kematian akibat DBD ATAU AIDS, namun berita yang dibawa media menimbullkan ketakutan yang mencekam dan aktor-aktor politik kotor mulai memanfaatkan kesempatan untuk merebut kekasaan dengan menyebarkan berita bohong bahkan mengambil keputusan sepihak. Benar kata Bapak, bencana yg sesungguhnya ialah jika sesama manusia dihancurkan karena ras, agama, dan kepentingan, sebab hal itu sudah ada tanda-tandanya, pernyataan JK untuk lock down adalah salah satunya. Jika lock down seperti kata JK maka Jokowi bisa dilengserkan karena demonstrasi menentang turunya pemerintah pasri mencuat….tapi kita berharap, langkah hening Jokowi kiranya bisa meredam maalah yang lebih berat untuk negeri ini. salam filosofis

    Suka

  2. sepakat sekali dgn karya diatas.
    corona gini corona gitu kita menyemati lingkungan hidup sehari2, melihat dan mengalami begitu banyak.
    “kejadian corona” ini lah salah satu maksud saya bberapa waktu yg llu utk indirekt membawa manusia balik ke nalar sehat dan hati nurani.
    corona hanyalah satu “vorgeschmack”, satu permulaan ringan utk kita semua. tidak salah utk berterima kasih corona.
    banya salam !!

    Suka

  3. Luar biasa hebat pak.
    Kedangkalan berfikir orang, jadi menggiring rasa takut yang berlebihan.
    Ternyata, lebih takut pada yang di ciptakan (covid-19) dari pada sang pencipta.

    Suka

  4. TUHAN MENGAJAR MELALUI CORONA

    Vatikan sepi.
    Yerusalem sunyi.
    Tembok Ratapan dipagari.
    Paskah tak pasti.
    Kabbah ditutup.
    Shalat Jumat dirumahkan.
    Umroh batal.
    Shalat Tarawih Ramadhan mungkin juga bakal sepi.

    Corona datang
    Seolah-olah membawa pesan bahwa RITUAL itu RAPUH!
    Bahwa “hura-hura” atas nama Tuhan itu SEMU.
    Bahwa simbol dan upacara itu banyak yang hanya menjadi TOPENG dan KOMODITI dagangan saja.

    Ketika Corona datang,
    Engkau dipaksa mencari Tuhan.
    Bukan di Basilika Santo Petrus.
    Bukan di Kabbah.
    Bukan di dalam gereja.
    Bukan di masjid.
    Bukan di mimbar khotbah.
    Bukan di majels taklim.
    Bukan dalam misa Minggu.
    Bukan dalam sholat Jumat.

    Melainkan,
    Pada KESENDIRIANMU.
    Pada MULUTMU yang terkunci.
    Pada hakikat yang SENYAP.
    Pada keHENINGan yang bermakna.

    Corona mengajarimu,
    Tuhan itu bukan (melulu) pada keramaian.
    Tuhan itu bukan (melulu) pada ritual.
    Tuhan itu ada pada jalan keputus-asaanmu dengan dunia yang berpenyakit.

    Corona memurnikan agama
    Bahwa tak ada yang boleh tersisa.
    Kecuali Tuhan itu sendiri!
    Tidak ada lagi indoktrinasi yang menjajah nalar.
    Tidak ada lagi sorak sorai memperdagangkan nama Tuhan.

    Datangi, temui dan kenali DIA di dalam RELUNG JIWA dan HATI NURANIMU sendiri.
    Temukan Dia di saat yang TEDUH dimana engkau hanya sendiri bersamaNya.

    Sesungguhnya Kerajaan Tuhan ada DALAM DIRIMU.
    Qalbun mukmin baitullah.
    Hati orang yang beriman adalah rumah Tuhan.

    Biarlah hanya Tuhan yang ada.
    Biarlah hanya nuranimu yang bicara.
    Biarlah para pedagang, makelar, politikus dan para penjual agama disadarkan oleh Tuhan melalui kejadian ini.
    Semoga kita bisa belajar dan mengambil hikmah dari kejadian ini.

    Rahayu sagung dumadi…….

    Suka

  5. Pada hemat saya Covid-19 dan bagi orang orang sadar dan waras hal itu menunjukkan kepada kita bahwa ketika manusia bersatu padu dalam dalam tujuan bersama, perubahan yang sangat cepat dimungkinkan. Tidak ada masalah dunia yang secara teknis sulit dipecahkan. Dalam koherensi, kekuatan kreatif manusia tidak terbatas. Covid menunjukkan kekuatan kehendak kolektif kita ketika kita sepakat tentang apa yang penting. Apa lagi yang bisa kita capai, dalam koherensi? Apa yang ingin kita capai, dan dunia apa yang akan kita ciptakan? Itu selalu pertanyaan berikutnya ketika ada orang yang sadar akan kekuatan mass consciousness, covid 19 buat orang yang tidak sadar dan waras hanya menciptakan mass unsciousness versi animal farmnya orwellian ,

    Salam Rahayu

    Suka

  6. Ketololan Teologis

    `Akibat pemahaman agama yang lemah, Tuhan lalu digiring kemanapun. Segala hal selalu dicari sebabnya pada Tuhan. Padahal, manusia diberi kebebasan dan akal budi. Dengan dua hal itu, manusia bisa mengubah dunia.
    `Ketololan teologis lahir dari kedangkalan berpikir. Ini tentu terkait dengan mutu pendidikan yang rendah di Indonesia. Manusia tak diajak berpikir kritis, rasional dan mendalam. Yang ditekankan dan dipuja justru kepatuhan buta dan mental menghafal`
    `Buah dari kedangkalan adalah tafsir agama yang sesat. Tafsir sesat melahirkan kebencian di dalam hati. Tafsir sesat juga melahirkan kebencian terhadap orang lain yang berbeda pandangan. Di abad 21, agama dengan tafsir sesat adalah salah satu biang keladi berbagai persoalan politik global.’

    Pada hemat saya ketidakjelasan merupakan ciri nyata dari pemikiran keagamaan,kepercayaan agama muncul dari upaya kolektif, dialogis dan historis untuk menilai, mengklarifikasi dan menafsirkan nilai semantik dari klaim-klaim dasar yang diterima oleh sebuah komunitas agama dengan alasan kekuatan ekspresif yang mereka duga. daripada menjadi sikap proposisional tentang penerimaan atau penolakan terhadap konten yang terpisah dan ditentukan dengan baik, meyakini sesuatu dalam bidang agama adalah dengan berkomitmen pada proses sementara untuk pemastian makna yang belum selesai.
    Sebagai kesimpulan, argumen saya menyoroti bagaimana iman bukanlah kepemilikan kepastian yang stabil tentang apa yang kita yakini, tetapi proses saling belajar tanpa akhir dari penyelidikan kolektif.
    Saya hanya mengasumsikan klaim yang lemah bahwa ketidakjelasan keyakinan agama dalam hal apapun setidaknya semantik . Sebenarnya, jika objek yang relevan tidak kabur, ketidakjelasan adalah semantik; dan, jika mereka kabur, mengingat bahwa deskripsi objek yang tidak jelas menyiratkan kurangnya determinasi dalam konten, ketidakjelasan semantik adalah kunci untuk ketidakjelasan ontologis melahirkan apa yang mas Reza sebut dengan ketololan teologis.
    Salam Rahayu

    Suka

  7. Terima kasih sekali sudah berbagi. Semantik memang selalu tidak jelas. Karena bahasa hanya mewakili. Perwakilan selalu tak mencukupi. Pengalaman langsung yang akan mengakhiri kebingungan.

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.