Kunci Kemajuan Skandinavia

Ilustrasi dari Jason Ranti

Oleh Reza A.A Wattimena

Siapa yang tak kagum pada negara-negara Skandinavia? Dari berbagai ukuran, mereka adalah pemimpin di dunia. Negara-negara, seperti Denmark, Swedia, Norwegia dan Finlandia, memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang bagus. Kesenjangan sosial antar warganya pun amat rendah.

Di tingkat pribadi, warga amat percaya kepada pemerintahnya. Sebaliknya, pemerintahnya pun menghargai kepercayaan tersebut, dan berusaha bekerja sebaik mungkin. Beberapa pengukuran pun menunjukkan, bahwa tingkat kebahagiaan warganya amatlah tinggi. Tingkat kepuasan hidup secara keseluruhan juga amatlah memuaskan.

Jika kita ingin mencari teladan pembangunan, jangan menoleh ke Amerika Serikat, apalagi negara-negara Arab. Banyak kekacauan berpikir disana. Tengoklah kawasan Skandinavia. Ada sesuatu yang berharga untuk dipelajari.

Keseimbangan Ideologis

Di satu sisi, negara-negara Skandinavia menggunakan sistem politik ekonomi Negara Kesejahteraan. Artinya, negara bertanggung jawab penuh menjamin keadilan dan kemakmuran warganya. Semua sistem dibuat semurah dan semudah mungkin, sehingga kepentingan warga bisa dipenuhi. Mutu pendidikan dan kesehatan mereka secara menyeluruh adalah salah satu yang terbaik di dunia.

Di sisi lain, negara-negara Skandinavia menerapkan kebijakan pasar terbuka. Pasar bebas menjadi filosofi ekonomi mereka. Persaingan dan inovasi didorong sepenuhnya. Mereka menjadi contoh nyata, bagaimana sosialisme dan kapitalisme bisa menemukan titik keseimbangan yang membawa keadilan maupun kemakmuran untuk semua.

Beberapa pendapat sesat menyatakan, bahwa negara-negara Skandinavia maju, karena mereka adalah masyarakat homogen secara etnis. Imigran dan pendatang sangatlah sedikit. Namun, jika kita melihat sejarah, pada 1800 lalu, Skandinavia adalah kawasan yang amat miskin. Bahkan, pada masa itu, kawasan Skandinavia jauh lebih homogen, daripada sekarang.

Bildung

Lalu, apa yang mendorong kemajuan kawasan Skandinavia, sehingga menjadi seperti sekarang? Jawabannya, menurut David Brooks, adalah kebijakan pendidikan yang luar biasa jenius. (Brooks, 2020) Di akhir abad 19, para pemikir Skandinavia sampai pada kesimpulan, bahwa mereka hanya bisa maju, jika semua warganya mendapatkan pendidikan yang bermutu tinggi. Pendidikan pun tidak hanya berhenti di sekolah, tetapi menjadi proses seumur hidup.

Para pemikir dan pembuat kebijakan Skandinavia sesungguhnya belajar dari filsafat Jerman. Di dalam bahasa Jerman, pendidikan diartikan sebagai Bildung. Ini bukan pendidikan sebagai pelatihan untuk siap kerja, sebagaimana diartikan di Indonesia. Bildung adalah proses pengembangan manusia seutuhnya, termasuk unsur moral, emosional, intelektual dan sikap kewarganegaraan seluruh warga. (Wattimena, 2020)

Dunia abad 21 adalah masyarakat yang amat kompleks. Perkembangan teknologi mengubah wajah seluruh dunia. Sebuah bangsa hanya dapat berkembang di abad  ini, jika warganya memiliki kemampuan yang juga kompleks. Pandangan lama yang ketinggalan jaman harus dilepas, jika sebuah bangsa tak mau terjebak pada budaya terbelakang.

Biasanya, pendidikan dipahami sebagai proses mengajar keterampilan, seperti membaca, menghitung, menghafal dan sebagainya. Pandangan ini salah kaprah, dan justru membunuh pendidikan itu sendiri. Bildung adalah proses membangun manusia secara utuh, terutama pandangan dunia (Weltancschauung) seseorang. Bildung diciptakan, supaya orang mampu memahami hubungannya dengan dunia yang lebih luas, termasuk dengan masyarakat yang majemuk, Tuhan dan masyarakat global.

Bildung melahirkan tanggung jawab terhadap diri sendiri, keluarga, sahabat, sesama manusia dan alam yang lebih luas. Di dalam Bildung, tanggung jawab selalu bergandengan tangan dengan kebebasan. Ketika orang mengambil tanggung jawab penuh atas dunianya, maka ia lalu punya kebebasan untuk terlibat, dan ikut menentukan bentuk dunia yang akan diciptakan. Inti utama Bildung adalah pemahaman akan diri yang bersifat luas, dan tidak terjebak pada identitas kelompok kecil semata.

Kesadaran Diri dan Berpikir Menyeluruh

Di dalam konsep Bildung ala Skandinavia, kesadaran diri juga amat penting. Kesadaran diri adalah proses orang menyadari segala sesuatu yang terjadi di dalam dirinya, termasuk emosi, pikiran maupun perasaan. Orang diajak untuk menyadari dan menerima kompleksitas dunia di dalam dirinya. Dengan kesadaran diri yang terlatih, orang tidak lagi diperbudak oleh pikiran ataupun perasaannya.

Kesadaran diri juga kunci untuk berpikir holistik, atau berpikir menyeluruh. Manusia adalah bagian dari jaringan yang lebih luas, mulai dari keluarga, masyarakat, negara sampai dengan alam semesta. Berpikir menyeluruh berarti menyadari keterkaitan itu semua di dalam diri. Inilah dasar berpikir filsafat pendidikan yang menjadi kunci dari kemajuan kawasan Skandinavia.

Setelah beberapa generasi, pola berpikir menyeluruh, terbuka dan penuh kesadaran diri menjadi bagian utuh dari budaya Skandinavia. Dampaknya pun amat terasa. Tingkat korupsi di kawasan tersebut adalah yang paling kecil di dunia. (Brooks, 2020) Orang-orang Skandinavia pandai menari di antara kebebasan pribadi dan rasa tanggung jawab di dalam hidup bersama.

Ketika orang punya rasa tanggung jawab terhadap satu sama lain, maka hidup bersama akan terasa indah. Solidaritas akan tumbuh dengan sendirinya. Kepatuhan pada hukum dan aturan bersama bukan lahir dari ketakutan dan keterpaksaan, melainkan dari kesadaran penuh. Secara keseluruhan, rasa kepercayaan satu sama lain pun akan bertumbuh.

Indonesia

Dunia pendidikan Indonesia selalu mengundang rasa sedih. Mutunya amat rendah. Biaya amat tinggi. Kebijakan-kebijakan para pemimpinnya pun selalu tanpa pemikiran yang jelas.

Anggaran pendidikan amat besar, dan terus meningkat. Gedung sekolah diperbaiki. Tunjangan guru diberikan. Namun, mutu tetap tak beranjak, bahkan cenderung menurun.

Yang bertanggung jawab penuh atas sistem pendidikan Indonesia pun tak jelas. Menteri sama sekali tak punya pemahaman soal pendidikan. Pejabat-pejabatnya mempersulit, dan bahkan merusak hakekat pendidikan itu sendiri. Korupsi dan proyek kosong menjadi acara keseharian.

Pendidikan Indonesia juga dihabisi oleh formalisme agama. Guru-guru menjadi gila hormat. Agama diajarkan secara dogmatis. Kepatuhan buta dan hafalan menjadi metode mengajar utama.

Berpikir kritis dicap sesat. Pertanyaan dianggap pembangkangan. Kreativitas dianggap pemberontakan. Tak heran, mutu pendidikan dan mutu manusia Indonesia amat sangat rendah.

Pendidikan Indonesia juga dihabisi oleh fundamentalisme ekonomi. Kerja dan uang menjadi acuan utama. Nilai-nilai luhur kehidupan dianggap barang jualan belaka. Pendidikan diubah menjadi semata-mata pelatihan mental pegawai.

Jika tak ada perubahan yang mendasar, terutama di tingkat filsafat, bangsa Indonesia akan ketinggalan jauh. Kita akan menjadi bangsa terbelakang. Korupsi bertebaran. Kemunafikan berbaju agama akan semakin tersebar luas.

Belajar dari Skandinavia, kunci kemajuan sebuah bangsa adalah pendidikan, atau Bildung. Ini bukan hanya pengembangan keterampilan untuk bekerja. Ini juga bukan hanya kegiatan menghafal dan mematuhi guru-guru yang gila hormat. Bildung adalah soal pembentukan cara berpikir dan cara hidup. Ia mengembangkan kesadaran diri sekaligus tanggung jawab terhadap lingkungan yang lebih luas.

Inilah kiranya yang harus menjadi arah pendidikan Indonesia.

 

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

14 tanggapan untuk “Kunci Kemajuan Skandinavia”

  1. system pendidikan di finnland sangat bagus, patut di trap kan. hanyalah di indonesia masih banyak halangan2 (sampingan) yg mempersulit system tsb.
    langkah pertama, agama harus di pisah dari politik dan ekonomi.
    agama hanya lah urusan pribadi masing2.
    “bildung” sangat penting utk kemajuan. rakyat yg haus “bildung” berusaha utk maju (sejahtera dsb dsb), tetapi setelah puncak tercapai, perkembangan menurun bahkan mundur. kita lihat saja , contoh di bidang perekonomian / kehidupan di bbrapa belah dunia dari zaman baheula, bahkan budaya pun musnah.
    “bildung ” sangat bagus utk yg berminat, hanya lah begitu banya orang2 yg tak acuh, malas berusaha utk maju, di mana saja .
    akibat nya: mereka beku otak dan jadi pikulan masyarakat .
    bilang saja, siapa mau maju, harus berusaha sebisa mungkin ! lain2 tidak ada !!
    banya salam !!

    Suka

  2. Semoga kedepannya mengarah kesana Bang, mungkin setelah generasi saya habis dan generasi anak saya juga habis. Generasi saya mungkin generasi transisi, yang mengalami didikan orang tua yang tidak bisa menerima pertanyaan dan jawaban yg kritis (ortu kelahiran 1920an), tapi membesarkan anak yang mulai kritis terhadap orangtuanya (anak kelahiran 2000an). Mungkin pendidikan dan Indonesia secara keseluruhan berubah lebih baik di generasi cucu saya.

    Suka

  3. Saya sangat sepakat dengan artikel ini, khususnya kalimat: “Pendidikan diubah menjadi semata-mata pelatihan mental pegawai”.

    Memang pendidikan di negeri kita sering salah kaprah, sekolah seolah-seolah hanya untuk kepentingan ekonomi aja (jadi pegawai atau pengusaha), padahal pendidikan tidak melulu tentang mendapatkan pekerjaaan atau mencari uang. Pendidikan adalah tentang pengembangan emosi, moral, dan intelektual. Ia adalah tentang bagaimana memanusiakan manusia seutuhnya.

    Saya berharap menteri pendidikan yang sekarang dapat membaca artikel ini, jujur saya sangat khawatir dengan pemikiran pak menteri yang sekarang. Beliau terlalu “KAPITALIS” dalam mengelola kebijakan, pendekatan yg beliau pakai adalah pendekatan pasar sehingga peran peserta didik direduksi menjadi sebatas alat ekonomi saja.

    Pendidikan bukan seharusnya mengenai apa pekerjaan kamu setelah selesai sekolah tetapi ia adalah pencarian jati diri, pemahaman mengenai alam semesta, dan lebih realisnya apa yang bisa kamu lakukan (kontribusi) untuk lingkungan sekitarmu? Bukan sekedar dapat kerja atau cari uang.

    Saya ada beberapa pertanyaan untuk mas reza:

    1. Apakah sistem pendidikan Indonesia saat ini adalah contoh nyata kapitalisme turbo? Jujur saya merasa pendidikan negeri ini terlalu terobsesi dengan “nilai” yg sekedar “coretan” sang penilai. Padahal pendidikan harusnya lebih fokus pada nilai-nilai kehidupan seperti gotong royong, kbhinekaan, dan spiritualitas.

    2. Apa yang bisa dilakukan para pemimpin selaku pembuat kebijakan untuk memperbaiki mutu pendidikan Indonesia?

    3. Menurut bapak, apa indikasi bahwa sistem pendidikan telah sukses diterapkan di suatu negara.

    4. Menurut bapak, apakah tepat nilai di rapor dijadikan acuan sukses siswa-siswi sekolah? Jika tidak apa solusinya

    5. Menurut bapak, sukses itu apa? (Definisi sukses menurut mas reza sendiri)

    Semoga mas reza bisa menjawab pertanyaan saya, maaf kalau komentar saya terlalu panjang.

    Tulisan kali ini benar-benar “tertancap” di dalam hati saya

    Salam hangat

    Suka

  4. Terima kasih ya. Empat pertanyaan di atas sudah dijawab di tulisan ini, dan di beberapa tulisan sebelumnya. Coba dilihat lagi. Pertanyaan kelima akan coba saya buat tulisan sendiri. Salam hangat selalu

    Suka

  5. Agama harus di pisah kan secara “tegas” dari negara dan ekonomi, menjadi urusan pribadi yg di lindungi oleh negara….
    Kalau belajar agama yah ke sekolah agama saja….
    Kementrian teknis yg mengatur pendidikan masih “rancu”.
    Karena dana pendidikan antara kemtrian pendidikan dan kemenag hampir sama….
    Ini kan sangat aneh……

    Suka

  6. sangat ter inspirasi_memang negara Kolonial NKRI memang didalam kuriklum nya secara tidak sengaja membunuh daya tanggap dan daya pemahaman ank bangsa maka hal ini patutu di contohi oleh Negara Kolonial NKRI. dan diterapkan

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.