Feodemokrasi dan Teknokratisme Dangkal di Indonesia

Oleh Reza A.A Wattimena

Sebagai sistem politik yang diakui seluruh dunia sekarang ini, demokrasi amatlah unik. Ia memiliki pola serupa sekaligus tak sama di berbagai tempat. Ia menampung perbedaan corak budaya ke dalamnya. Akibatnya, dua negara bisa memiliki demokrasi sebagai tata politiknya, namun berbeda di dalam bentuk maupun penerapannya.

Demokrasi menikah dengan budaya setempat. Beberapa negara masih menganut sistem kerajaan, namun dengan balutan konstitusi demokratis di dalamnya. Beberapa negara menganut demokrasi murni dengan menghapus sama sekali sisa-sisa pola kerajaan dari masa lalu. Uniknya, Indonesia menjauh dari dua pola umum tersebut.

Keunikan yang Beracun

Di Indonesia, demokrasi mengambil bentuk feodemokrasi. Artinya, bentuk tata politiknya demokrasi. Namun, mental pelakunya masih kerajaan dari masa lalu, yakni mental feodalisme. Beberapa corak unik, dan merugikan, dari pola semacam ini akan dibahas lebih jauh.

Teknokratisme dangkal juga menjadi ciri unik demokrasi di Indonesia. Teknokratisme adalah paham yang menggunakan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi secara buta dan naif untuk memajukan sebuah bangsa. Teknokratisme menolak pencarian ilmiah yang berbekal ketekunan, budaya egaliter dan sikap kritis. Teknokratisme hanya tertarik pada buahnya saja, yakni teknologi siap pakai, tanpa mau bertekun di dalam proses pencarian dan penemuan ilmiah.

Teknokratisme justru lahir dari kesalahpahaman terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi. Kesalahpahaman itu bercampur dengan ambisi untuk maju di satu sisi, dan kemalasan untuk belajar di sisi lain. Tampilan luar bisa modern. Gelar pendidikan bisa tinggi. Namun, tidak ada semangat pencarian kebenaran dan penemuan di dalamnya, yang justru merupakan inti dari ilmu pengetahuan dan teknologi.

Feodemokrasi

Lima hal kiranya menjadi dampak langsung dari feodemokrasi di Indonesia. Pertama, orang mengejar jabatan publik, seperti pegawai negeri ataupun wakil rakyat, bukan untuk melayani kepentingan bersama, tetapi untuk meraih kehormatan. Mereka ingin menjadi bangsawan-bangsawan di masyarakat demokratis. Tak heran, banyak orang yang tak kompeten justru kini menjadi pejabat negara.

Dua, mental gila hormat ini terus berlanjut, ketika mereka menduduki posisi pejabat publik. Di jalan raya, mereka ingin didahulukan, walaupun tidak ada keperluan mendesak. Di berbagai forum, mereka senang diundang jadi pembicara, walaupun tak ada isi bermutu yang ingin disampaikan. Mental bangsawan semacam ini sebenarnya sudah ketinggalan jaman, dan tak layak hidup di masyarakat demokratis.

Tiga, seperti mungkin sudah diduga, mental gila hormat bermuara pada kinerja yang buruk. Ini hampir menjadi hukum baja di dalam organisasi. Orang-orang yang hanya peduli pada kehormatan dan kekayaan tidak akan mampu memberikan sumbangan nyata bagi kebaikan bersama. Sebaliknya, mereka justru menjadi beban bagi perkembangan organisasi.

Empat, salah satu bentuk buruknya kinerja adalah berkembangnya korupsi, kolusi dan nepotisme. Karena banyak pejabatnya ditunjuk bukan karena kemampuan, tetapi karena hal-hal lain, seperti kedekatan pribadi ataupun kemudahan melakukan korupsi, maka budaya busuk ini pun tersebar di berbagai organisasi negara di Indonesia. Korupsi dilakukan secara massal, dan ditutupi bersama-sama. Akibatnya, pembuktian pun seringkali sangat sulit dilakukan.

Lima, secara keseluruhan, seluruh sistem politik pun akan menjadi lambat dan boros. Segala hal menjadi sulit dilakukan, karena harus melalui jalur birokrasi yang korup dan lambat. Suap menjadi hal yang diterima secara umum, walaupun tak disampaikan secara publik. Indonesia pun gagal dalam persaingan mewujudkan keadilan dan kemakmuran di dalam politik global.

Jika hal ini didiamkan, maka Indonesia akan menjadi negara gagal. Inilah negara yang tak mampu menyediakan keamanan, stabilitas, keadilan dan kemakmuran bagi warganya. Kemiskinan, korupsi dan kesenjangan ekonomi antara si kaya dan si miskin terjadi begitu luas. Terorisme dan krisis lingkungan hidup akan mengikuti.

Teknokratisme Dangkal

Demokrasi di Indonesia tidak hanya berisi feodalisme, tetapi juga teknokratisme dangkal. Empat hal kiranya perlu diperhatikan. Pertama, teknokratisme berpijak sepenuhnya pada data. Kenyataan di depan mata pun kerap kali diabaikan. Inilah yang disebut ilusi ilmiah, yakni ketika ilmu pengetahuan memberikan gambaran yang berbeda dengan apa yang sesungguhnya terjadi.

Dua, teknokratisme adalah sebentuk kedangkalan. Teknologi digunakan untuk membangun proyek-proyek besar. Penampilan fisik jauh lebih diutamakan, daripada perubahan yang sifatnya mendasar dan berkelanjutan. Pola semacam sudah lama terjadi di Indonesia sejak jaman Orde Baru, dan belum berubah sampai sekarang.

Tiga, semua ini tentu membutuhkan sumber daya. Hutang luar negeri pun menjadi satu jalan. Jalan lainnya adalah dengan menjadi banci investasi. Pada kadar yang tepat, hutang dan investasi bisa membawa kemajuan pesat. Namun, jika terjadi kecanduan pada keduanya, maka kedaulatan ekonomi dan politik bangsa pun akan terancam.

Empat, teknokratisme tidak akan bisa menyelesaikan tantangan-tantangan bangsa sampai ke akarnya. Ia bagaikan kosmetik yang menutupi jerawat, tetapi tidak menyembuhkan apapun. Jika akar masalah, mulai dari korupsi, kemiskinan, kesenjangan ekonomi, terorisme, radikalisme dan persoalan lingkungan, hanya disentuh secara permukaan, maka ia akan menjadi bom waktu. Ia akan meledak di suatu waktu, dan merugikan banyak pihak.

Akar dan Jalan Keluar

Demokrasi yang berbalut feodalisme dan teknokratisme adalah demokrasi semu. Ia adalah demokrasi palsu yang hanya sekedar kata, namun tak ada isi yang bermutu. Demokrasi kosmetik semacam ini berbiaya tinggi, namun kinerjanya amat rendah. Dua hal kiranya penting diperhatikan.

Pertama, ini semua terjadi, karena miskinnya pemahaman tentang demokrasi dan modernisasi. Keduanya diimpor dari peradaban Barat, tanpa sikap kritis. Tidak ada usaha untuk mendalami sejarah dan filsafat yang mendasari demokrasi maupun modernisasi yang melahirkan teknologi dan ilmu pengetahuan modern. Kita hanya mau membeli buahnya, tanpa mau sibuk menanam.

Dua, sikap tidak kritis di seluruh bidang kehidupan adalah akar masalah semua ini. Kita suka meniru dan bersaing, tanpa paham hakekat dari apa yang kita tiru, dan pola sesungguhnya dari persaingan yang sedang terjadi. Kita latah mengikuti bangsa lain, tanpa menggunakan akal sehat dan sikap kritis. Tak heran, kita tidak hanya mengimpor demokrasi palsu dan teknologi siap pakai, tetapi juga paham radikal dan teroristik dari negara lain.

Dengan melampaui dua akar masalah ini, kita bisa mulai keluar dari jebakan feodalisme dan teknokratisme dangkal yang menghantui bangsa kita. Pendidikan berperan besar dalam hal ini. Pendidikan bukan hanya soal hafalan dan kepatuhan buta terhadap moral, agama dan tradisi, tetapi juga pada pemahaman mendasar soal politik, filsafat dan sejarah. Sikap kritis dan pengembangan akal sehat juga harus menjadi roh utama pendidikan Indonesia.

Ini tentu dimulai dengan memilih orang-orang yang bermutu di berbagai lembaga pendidikan. Dengan begitu, berbagai kebijakan dan peraturan terbelakang bisa dimusnahkan. Kita lalu bisa sungguh mendidik apa yang penting dan mendalam bagi semua peserta didik di Indonesia. Sudah waktunya, feodemokrasi dan teknokratisme dangkal menjadi masa lalu yang kelam di Indonesia.

 

 

 

 

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

6 tanggapan untuk “Feodemokrasi dan Teknokratisme Dangkal di Indonesia”

  1. Pada hemat saya semua kembalu ke garda depan kehidupan berbangsa yaitu Dunia Pendidikan, Tap dan tapi dunia pendidikan sekarang sudah di kuasai oleh lembaga “kediktatoran ilmiah.”DImana dengan cara yang halus dan cepat, kelas yang berkuasa mengambil kendali sains dan menggunakannya sebagai ‘senjata epistemologis’ terhadap massa.
    atau istilah lain saya Kartel Epistemologis para Saintisme statis (taktik yang digunakan oleh elit untuk mempertahankan dominasi mereka.) Diantaranya adalah:
    Kontrol yang dapat dipahami atas apa yang dapat diketahui, dengan memasarkan sains terakreditasi secara kelembagaan sebagai satu-satunya jalan menuju pemahaman yang benar. Dengan demikian, kelas penguasa berusaha untuk mencegah alasan independen sambil menggunakan kekuatan ilusi atas pengetahuan manusia.Taktik kontrol ini melalui penindasan pengetahuan dan penyebaran selektif diulang dalam dokumen yang ditulis secara anonim. Sebagai senjata senyap untuk perang diam, (dimana Energi diakui sebagai kunci untuk semua aktivitas di bumi. Ilmu alam adalah studi tentang sumber dan kontrol energi alam, dan ilmu sosial, secara teoritis dinyatakan sebagai ekonomi, adalah studi tentang sumber dan kontrol energi sosial.)
    Keduanya adalah sistem data pembukuan. Matematika adalah ilmu energi primer. Dan pemegang buku bisa menjadi raja jika publik tidak tahu tentang metodologi pembukuan. Semua ilmu pengetahuan hanyalah sarana untuk mencapai tujuan. Artinya adalah pengetahuan tujuan akhirnya adalah untuk kontrol ( sistem matrix )
    Kata ‘sains’ berasal dari kata Latin scientia , yang berarti ‘mengetahui’.Epistemologi adalah studi tentang sifat dan asal pengetahuan. Monopoli elit yang dapat diketahui ini, yang ditegakkan melalui ilmu kelembagaan, dapat dicirikan sebagai “kartel epistemologis Saintisme Statis.” Kelas penguasa telah menyuap para ‘pemegang buku’ (yaitu, ilmuwan alam dan sosial). Sementara itu, massa praktis mendewakan ‘pembukuan’ elit, dan tetap ‘tidak tahu tentang metodologi pembukuan.’Ini adalah tujuan akhir dari elit: oligarki yang dilegitimasi oleh ekspositor ‘pengetahuan’ yang diurapi secara sewenang wenang.
    Scientism mendasari lahirnya 
    Technocracy dan Transhumanism
    (yang terakhir adalah untuk kemanusiaan seperti yang pertama bagi masyarakat).Tanpa saintisme , tidak ada yang bisa dijelaskan atau dibenarkan.Scientism pertama kali didefinisikan dengan jelas oleh filsuf Perancis, Henri De Saint-Simon ketika ia menyatakan: “Seorang ilmuwan, teman-para sahabat dan sejawat terkasihku, adalah seorang pria yang meramalkan; itu karena sains menyediakan sarana untuk meramalkan bahwa itu berguna, dan para ilmuwan itu lebih unggul daripada semua manusia lainnya. ?(Saint-Simon juga dianggap sebagai bapak Technocracy yang kemudian dipopulerkan dan dicap pada 1920-an dan 1930-an oleh pria-pria seperti Frederic Taylor , M. King Hubbard dan Howard Scott .) 
    Ini adalah kesalahan fatal untuk menyamakan Scientism 
    dengan sains …~!!!
    Ilmu pengetahuan sejati mengeksplorasi dunia alami menggunakan metode ilmiah yang telah teruji oleh waktu untuk eksperimen dan validasi berulang. Sebagai perbandingan, 
    Scientism adalah pandangan dunia spekulatif, metafisik tentang sifat dan realitas alam semesta dan hubungan manusia dengan alam semesta.Bagi seorang Teknokrat, ia adalah palu dan setiap masalah di dunia adalah paku. Tidak ada masalah di alam semesta yang tidak dapat dipecahkan oleh seorang Teknokrat, dengan waktu dan sumber daya yang cukup.
    Pada akhirnya, kata Technocrat, solusi akan menjadi solusi yang paling efisien, seimbang, dan masuk akal, dan tidak akan ada perselisihan mengenai hal itu. Dengan kata lain, solusi teknokrat selalu berakhir di posisi yang sama, bahwa “sains diselesaikan” dan diskusi tidak ada gunanya.Orang-orang yang tidak setuju diberhentikan sebagai orang yang tidak tahu apaapa,bodoh dan/ atau tidak jujur dan para pengikut tehnokrat adalah idiot idiot yang berguna

    Suka

  2. sepakat sekali dgn urai an diatas.
    “demokrasi di indonesia diimpor…TANPA MENDALAMI SEJARAH DAN FILSAFAT” ini menurut hemat saya salah satu halangan utk menerapkan demokrasi.
    kias nya, seperti budaya instant, tinggal ambil, tanpa mengikuti perkembangannya. fenomena yg mirip dgn “tembok batas dikepala antara jerman barat dan timur walau
    sudah runtuh 30 thn yg lalu”.
    perkembangan politik dan perekonomian yg dijalankan disatu pihak sejak achir perang dunia dari permulaan.
    sedang di pihak lain dgn system lain tiba2 diselubungi system demokrasi, kapitalis, berdikari.
    tembok dikepala yg memerlukan bbrapa generasi utk dirobohkan.
    teringat saya membaca thema ini, revolusi napoleon, revolusi spanyol, bahkan kultur revolusi cina, yg memakan begitu banyak korban physisch dan psychisch.
    perkembangan di cina yg kita liat achir2 ini , juga berdasarkan revolusi2 di masa lampau.
    teringat saya peribahasa ” auf tönerden füssen gebaut”( angelehnt zum alten testament, badan atas yg dibangun dgn metal tetapi kaki dgn tanah liat).
    begitu lah gambaran demokrasi di indonesia.
    orang pintar sdh begitu banyak , tapi buta nalar.
    salam hangat !

    Suka

  3. Terima kasih atas uraian dan pencerahannya. Saintisme dan teknokratisme memang salah satu racun dalam peradaban modern kita. Keduanya lahir dari salah paham mendasar tentang makna ilmu pengetahuan bagi hidup manusia.

    Suka

  4. saya tertawa membaca karya diatas, sangat menyejukan. “pembebasan besar” untuk mampu / minat / menghargai semua pekerjaan, termasuk pekerjaan sederhana.
    menurut hemat saya, “semua” tugas dan pekerjaan adalah bagian dari zen, yg membimbing kita kearah kesadaran, walaupun tujuannya begitu “jauh”.
    semasa sesshin kami semua tiap hari
    bekerja samu, dgn fokus dan melakukan sebaik mungkin. pekerjaan tetap selama sesshin. timbullah minat utk perhatian dan sekeliling kita. setapak demi setapak kami merasa, bahwa kami semua berkaitan. setiap peserta menunaikan tugas dgn sepenuh hati.
    kita mengalami begitu banya pengetahuan.
    kesibukan apapun sangat baik, kalau kita tangani sepenuh hati, setiap waktu. sangat mendukung dalam “latihan”mencari nalar sehat dan hati nurani. kehidupan yg benar2 hidup, bila kita mampu hidup di saat ini. lain2 tidak perlu.
    salam hangat !!

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.