Politik, Demokrasi dan Keadilan di Indonesia

Abdel Hadi el-Gazzar

Oleh Reza A.A Wattimena

“Tugas menyedihkan dari politik”, demikian tulis Niebuhr, pemikir asal Amerika Serikat, “Adalah untuk mewujudkan keadilan di tengah dunia yang penuh dengan dosa.” Itulah pergulatan Indonesia di pertengahan September 2019, ketika persoalan Komisi Pemberantasan Korupsi mengundang kontroversi besar di masyarakat. Banyak pihak yang merasa, bahwa ketidakadilan besar telah terjadi. Masa depan pemberantasan korupsi di Indonesia pun kini dipertaruhkan.

Di abad click bait ini, dimana berita-berita sensasional dijual begitu cepat dan laku, media pun menggoreng isu tersebut besar-besaran. Semua sudut dianalisis. Semua tema sensitif diangkat ke permukaan. Semua dilakukan secara terus menerus demi memperpanas keadaan, dan memperoleh keuntungan finansial.

Alhasil, masyarakat semakin resah. Keresahan pun dibarengi dengan rasa tak berdaya. Di tengah pemerintahan yang mengaku demokratis, rakyat justru merasa tak berdaya. Inilah salah satu ironi politik terbesar di Indonesia.

Politik yang Sejati

Beberapa hal kiranya perlu diperjelas. Politik yang sejati berkisar dua hal, yakni membangun tatanan sosial yang adil untuk kebaikan bersama. Demokrasi berusaha memastikan, bahwa hal ini terjadi. Pemahaman tentang keadilan, sekaligus penerapannya, memiliki peran penting disini.

Di dalam sepak terjang para mafia politik, yang kerap kali mengaku pejabat negara ataupun wakil rakyat, keadilan adalah isu yang tak relevan. Pun jika ada, keadilan hanya menjadi persoalan bagi-bagi proyek hasil korupsi. Keadilan dan kebaikan bersama menjadi konsep asing yang nyaris tak terdengar. Inilah salah satu masalah terbesar di dalam politik Indonesia.

Persoalan keadilan menjadi semakin kabur, ketika agama dipolitisasi. Agama digunakan untuk menggiring suara rakyat di dalam politik. Agama juga dipergunakan untuk memecah belah rakyat. Keadilan pun dipelintir menjadi keadilan kelompok mayoritas belaka, sekaligus diskriminasi dan penindasan terhadap kelompok agama minoritas.

Demokrasi di Indonesia

Dalam hal ini, ada empat hal yang perlu diperhatikan. Pertama, tradisi demokrasi di Indonesia masih amat lemah. Sistem modern yang ada tidak dibarengi dengan perkembangan budaya. Yang terjadi kemudian adalah sistem negara demokrasi modern, lengkap dengan kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif, namun mental pelaksananya masih pola kerajaan dari masa lalu.

Dua, inilah yang disebut mental feodal. Mental ini membuat orang gila hormat, dan gemar melakukan penindasan. Orang menjilat untuk meningkatkan karirnya, sekaligus menindas para pesaing yang mungkin lebih baik darinya. Kaidah demokrasi dan politik modern diabaikan demi mencapai kekuasaan politik yang sifatnya amat sementara dan rapuh.

Tiga, keadilan pun menjadi korban, ketika feodalisme justru menjadi jantung hati demokrasi. Proyek dikucurkan bukan untuk kebaikan bersama, namun untuk korupsi bersama. Lembaga penegak hukum justru menjadi pelindung para koruptor. Ketika ini terjadi, demokrasi dan keadilan hanya tinggal nama indah, tanpa isi yang berarti.

Empat, ketika feodalisme dan korupsi menjadi jantung demokrasi, maka kepentingan rakyat akan dikesampingkan. Dalam jangka panjang, ini menciptakan keteladanan politik yang buruk. Rakyat seolah menjadi penonton pasif di dalam panggung politik mafia yang penuh kebusukan. Ini tentunya menciptakan ketidakpedulian politik besar yang justru merupakan tanda akhir dari demokrasi itu sendiri.

Beberapa Kemungkinan

Beberapa hal kiranya bisa dilakukan. Pertama, budaya demokratis harus menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional secara menyeluruh. Keluarga dan masyarakat luas pun harus menerapkannya. Pola pendidikan yang berpijak pada kepatuhan dan hafalan buta harus dibuang jauh-jauh. Mengikuti pandangan Humbolt, bapak pendidikan Jerman, sikap kritis, berani dan kreatif harus menjadi jantung hati pendidikan Indonesia, baik di keluaga, sekolah maupun di dalam masyarakat.

Dua, budaya egaliter juga perlu dikembangkan. Manusia berkedudukan setara, baik di hadapan hukum, politik maupun agama. Para pemimpin politik harus juga menerapkan hal ini, sekaligus menjadi teladan bagi masyarakat luas. Mental gila hormat dan menindas bawahan harus sungguh dilenyapkan dari politik demokratis di Indonesia.

Tiga, dengan dua hal di atas, maka keterlibatan masyarakat di dalam politik bisa semakin nyata. Keterlibatan tersebut ditandai sikap adil dan kritis untuk kebaikan bersama. Keterlibatan politik dan keadilan adalah jantung hati demokrasi modern yang sejati. Ini hanya bisa dibangun lewat pendidikan bermutu di semua bidang kehidupan, sekaligus keteladanan nyata dari semua pemimpin masyarakat.

Sebenarnya, kisruh soal KPK di pertengahan September 2019 ini menyingkap persoalan demokrasi yang lebih mendasar. Politik para mafia bermain di belakang layar, serta menciptakan keresahan besar di masyarakat. Inilah tanda mental feodal-korup yang masih hidup nyaman di alam demokratis sekarang ini. Sudah waktunya mental semacam ini dibuang jauh-jauh dari Indonesia.

 

 

 

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

12 tanggapan untuk “Politik, Demokrasi dan Keadilan di Indonesia”

  1. Gapernah kepikiran tentang hal semacam ini, terima kasih telah menambah wawasan saya, semangat terus

    Suka

  2. begitu juga pandangan saya.
    dengan pendek, tidak ada jalan lain, selain agama harus dipisah jauh2 dari pemerintah / politik. badan executiv, legislativ dan judikadif harus berfungsi betul2 secara konzequent, badan pengontrol benar2 wajib bekerja serius, bahkan ada baiknya beberapa badan serius!!!
    salam hangat
    G. Buss

    Disukai oleh 1 orang

  3. Bung Reza, dalam pidato pengukuhan Gurubesar pada tahun 2009 lalu, Pak Boediono mengatakan bahwa, Berdasarkan pengalaman empiris selama 1950-90, demokrasi di negara-negara dengan income per kapita $1500 mempunyai harapan hidup hanya 8 tahun. Pada tingkat income per kapita $1500-$3000, demokrasi dapat bertahan rata-rata 18 tahun. Hanya pada income per kapita di atas 6000 dolar sistem demokrasi bisa bertahan lebih langgeng. Nah Posisi Indonesia saat mulai demokrasi saat reformsi diperkirakan sekitar $4000 dolar. masih dibawah batas kritis demokrasi $ 6600. Itu juga yang munglin membuat perjalanan demokrasi kita tertatih2 karena pada hakekatnya masyarakatmkita belum sepenuhnya siap. Income per kapita bukan semata-mata indikator ekomoni, tetapi punya dimensi sosial, pada income per kapita $ 6000, bisa jadi rata rata tingkat pendidikan sudah lebih tinggi, masyarakat secara sosial juga lebih matang. Saat ini kita mengaku demokratis tapi kita tidak siap diprotes anak atau istri atau pacar, kita mengakui egaliter tapi bergaya hidup kapitalis dan jika di rumah kita jadi feodal. tksh

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.