Mencari Kebahagiaan Sejati

thewaterproject.org

Oleh Reza A.A Wattimena

Segala mahluk hanya punya satu tujuan di alam semesta ini, yakni mencapai kebahagiaan. Manusia mencarinya dengan susah payah. Hewan dan tumbuhan pun berusaha mencari kebahagiaan. Tak ada mahluk yang mau dengan sengaja menderita di dalam hidupnya.

       Khusus untuk manusia, pengalaman mencari kebahagiaan adalah soal rumit. Kita cenderung mencari di tempat yang salah. Akhirnya, tenaga habis, lelah, namun tetap tak bahagia. Tak hanya itu, kita bahkan lebih menderita, ketika kita mencari kebahagiaan di tempat yang salah.

            Ini terjadi, karena kita salah paham. Sistem pendidikan kita tak mengajarkan jalan untuk mencapai kebahagiaan yang sejati. Kebahagiaan semacam ini memberi kedamaian, tidak hanya sesaat, tetapi kedamaian yang berkelanjutan. Sebaliknya, kita justru diajarkan untuk mencari kebahagiaan di tempat-tempat yang salah.

Tempat-tempat yang Salah

            Kita diajarkan, bahwa kebahagiaan dapat diperoleh dengan uang. Paham semacam ini diajarkan di mana-mana, baik di keluarga, di sekolah bahkan di dalam agama. Uang memberikan kenyamanan hidup sampai pada tingkat tertentu. Namun, lebih dari itu, uang menjadi sumber kecemasan baru, dan mendorong orang untuk menjadi rakus.

            Kita juga diajarkan, bahwa karir yang lancar akan membuat kita bahagia. Untuk itu, kita harus belajar rajin. Kita harus tekun bekerja, dan rajin menabung. Ironisnya, ketika karir sudah menjulang tinggi, ketidakpuasan tak juga hilang. Tidak hanya itu, kesehatan pun kerap menjadi korban, karena sibuk mengejar karir di waktu-waktu sebelumnya.

            Kekuasaan juga dianggap sebagai sumber kebahagiaan. Kekuasaan akan mendatangkan rasa hormat dari orang lain. Namun, kenyataannya, kekuasaan justru membuat orang gelisah dan rakus. Ketika rasa hormat tak datang dari orang lain, penderitaan, dan bahkan konflik, pun muncul.

            Berbagai kenikmatan hidup lainnya, seperti seks, makan dan belanja, memang menghasilkan kenikmatan sementara. Namun, yang kerap kali terjadi, penderitaan datang berkunjung, entah dalam bentuk penyesalan, atau hutang yang harus dibayar. Ini bagaikan menjilat madu di atas pisau tajam. Memang, rasanya manis. Tapi, lidah langsung tersayat, dan kemudian bercucuran darah.

            Belakangan ini, terutama di Indonesia, kepatuhan buta pada ajaran agama dianggap sebagai jalan menuju kebahagiaan. Di satu sisi, kepatuhan buta akan membuat orang gampang ditipu oleh para pemuka agama busuk untuk memperkaya diri mereka. Di sisi lain, kepatuhan buta akan melahirkan fanatisme dan radikalisme agama. Ini akan menciptakan perpecahan di dalam hidup bersama, bahkan berujung pada tindakan makar dan terorisme.

            Indonesia sudah kenyang dengan pengalaman buruk terkait radikalisme agama.

Hukum Alam

            Mengapa kebahagiaan sejati tetap tak dapat diraih, walaupun kita sudah berusaha? Ada tiga hal yang patut diperhatikan. Pertama, segala sesuatu berubah, termasuk pikiran dan perasaan kita. Di satu waktu, kita menginginkan sesuatu. Namun, ketika kita mendapatkannya, kita tak lagi menginginkannya.

            Segala hal di dunia juga terus berubah. Kenikmatan datang, lalu pergi. Penderitaan juga datang, lalu berlalu. Tak ada hal di dunia yang bisa memberikan kita kepuasan ataupun kebahagiaan yang lestari.

            Dua, segala sesuatu itu kosong. Ia tak punya inti di dalamnya. Dunia materi itu bagaikan bayangan yang seolah ada, tetapi tidak dapat sungguh digenggam. Tidak hanya ajaran filsafat berusia ribuan tahun yang menyatakan ini. Ilmu pengetahuan modern, terutama fisika teoritis, pun menyatakan hal serupa.

            Karena terus berubah dan kosong, dunia tak akan bisa memberikan stabilitas hidup. Rasa tidak aman selalu bercokol, lepas dari seberapa besar harta dan kuasa yang dipunyai seseorang. Ketidakpuasan, dan bahkan kekecewaan, akan selalu muncul. Apa jalan keluar dari semua ini?

Mencari Ke Dalam

            Dua buku saya yang terbit tahun lalu (2018), yakni Dengarkanlah: Pandangan Hidup Timur, Zen dan Jalan Pembebasan serta Mencari Ke Dalam: Zen dan Hidup yang Meditatif, juga bergulat dengan persoalan serupa. Jika orang terus mencari kebahagiaan di luar dirinya, ia akan menderita. Jalan kebahagiaan adalah melihat ke dalam diri, yakni melihat latar belakang “pengalaman sadar” yang ada di balik semua bentuk emosi maupun pikiran yang muncul.

            Setiap detik, kita selalu memiliki “pengalaman sadar” ini. Misalnya, kita sadar, bahwa kita sedang marah. Kita sadar, bahwa badan kita sedang lelah. Setiap bentuk emosi, pikiran dan keadaan tubuh kita selalu berada di dalam “pengalaman sadar” ini. Kita hanya perlu mengarahkan perhatian tidak ke isi kesadaran, seperti pikiran ataupun emosi, tetapi pada “pengalaman sadar” yang menjadi latar belakangnya.

            “Pengalaman sadar” ini sifatnya kosong, jernih dan mendamaikan. Ia tidak terpengaruh oleh beragam pikiran maupun emosi yang muncul, sekuat apapun pikiran dan emosi tersebut. Sebaliknya, “pengalaman sadar” inilah yang memungkinkan semua pikiran dan emosi itu muncul. Ia adalah sumber dari semua pengalaman manusia.

            “Pengalaman sadar” terletak di latar belakang semua pikiran dan emosi yang ada. Ketika menyentuhnya, kita akan menemukan kedamaian yang sejati. Kita akan merasa seperti di rumah. Semua bentuk kesepian, ketakutan dan kemarahan luruh di dalam “pengalaman sadar” ini.          

“Pengalaman Sadar”

            Dua hal kiranya bisa membantu menjelaskan. Pertama, “pengalaman sadar” itu seperti layar film. Sementara, emosi dan pikiran, sekuat apapun, hanya filmnya saja. Layar tak berubah, walaupun film dimulai dan berakhir. Di dalam dunia yang terus berubah, pengalaman sadar ini bersifat abadi dan stabil.

            Dua, “pengalaman sadar” ini seperti langit. Ia selalu menjadi latar belakang dari semua cuaca yang ada, baik terang ataupun hujan badai. Cuaca berganti. Namun, langit tetap sama. “Pengalaman sadar” itu seperti ruang yang siap menampung segalanya, tanpa terganggu apapun.

            Untuk mencari kebahagiaan yang lestari, kita hanya perlu memperhatikan “pengalaman sadar” ini dari saat ke saat. Segala bentuk emosi dan pikir lahir serta lenyap di dalam “pengalaman sadar” ini. Kedamaian alami, yang merupakan keadaan alami dari hidup, akan tampil dengan sendirinya. Di tengah dunia yang terus berubah dan penuh tantangan ini, “pengalaman sadar” adalah surga.

            Tak percaya? Silahkan dicoba.

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

24 tanggapan untuk “Mencari Kebahagiaan Sejati”

  1. Pengalaman “sadar” adalah pengalaman eksistensial manusia sebagai makhluk rasional. Setiap manusia memiliki di dalam dirinya pengalaman akan kodratnya, akan budi sadar. Semoga ide ini mengarahkan kita ke jalan kebahagiaan. Vielen Dank!

    Suka

  2. Apakah kedamaian alami yg lahir dari mengamati “pengalaman sadar” dari saat ke saat ini yg disebut dg upekha atau equanimity?

    Suka

  3. begitu pula yg saya alami. cukup kita melatih “pengalaman sadar” yg selalu ada dalam hidup kita, hanya kita tidak “menyadari” hidup, kita terpengaruh dgn segala macam faktor ( premordial, pendidikan kalangan dsb, dsb ) sehingga kita terjebak dalam kabut, sulit utk keluar. tetapi ada jalan keluar utk peminat. kita melatih hidup kita kearah sejati kita, melatih “hidup dan mati” dengan “duduk”, semua nya terjadi alami.
    sangat membantu pengertian “die ochsen bilder”, herz sutra dan beberapa “sanjak” (tidak banya).
    ingin saya utarakan kesalah pengertian yg selalu terjadi : beda kesenangan dan kebahagiaan.
    salam hangat !

    Suka

  4. “Pengalaman sadar” adalah manusia eksistensial manusia sebagai makhluk rasional. Setiap manusia memiliki di dalam dirinya pengatahuan akan kodratnya, akan budi sadarnya. Semoga ide ini membawa kita ke jalan kebahagiaan. Vielen dank!

    Suka

  5. gimana mengintegrasikan pengalaman sadar dengan eksistensi Tuhan, agar pengalaman sadar ini menjadi pengejewantahan dzikir

    Suka

  6. Adakah latihan khusus “Pengalaman sadar” ini? atau hanya berpikir selalu? Mohon pencerahannya, supaya benar2 “sadar” bukan hanya mengaku sadar. “-)

    Suka

  7. Sepakat
    Pengalaman sadar itu seperti menyadari langit tetap sama walau cuaca terus berubah.

    Charvin

    Suka

  8. Dalam definisi sadar seperti apa bang… Tiap individu mempunyai tingkat kesadaran yg relevan sesuai tingkat dan pengetahuan yg mereka cerap…

    Suka

  9. Terima kasih sudah berbagi. Hanyut dan terpengaruh tidak apa-apa, asal kesadaran tetap dikenali. Itu kuncinya. Apapun pengalamannya, baik ataupun buruk, kesadaran selalu diperhatikan.

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.