Ambisi dan Identitas

Pablo Picasso

Oleh Reza A.A Wattimena

            Marcus Aurelius, pemikir Stoa yang sekaligus adalah Kaisar Romawi, pernah menulis, “Nilai seorang manusia tidaklah lebih dari nilai ambisinya.” Sebagaimana diungkap oleh Neel Burton, ambisi berasal dari kata ambitio yang berarti “berkeliling untuk mencari dukungan”. Kata ini kemudian bisa dipahami sebagai upaya untuk mencapai kehormatan dan pengakuan dari masyarakat luas. (Burton, 2014)  

            Kata ambisi juga melibatkan dua hal. Pertama, ia melibatkan dorongan dari dalam diri seseorang untuk mencapai sesuatu yang ia pandang sebagai berharga. Dua, dorongan ini juga melibatkan kemampuan untuk terus berusaha, walaupun tantangan dan kegagalan terus mengancam. Tujuan untuk dari orang-orang yang ambisius adalah mencapai pengakuan dari masyarakat, baik dalam bentuk kekuasaan, uang maupun nama besar.

            Dalam perkembangannya, kata ambisi dikaitkan dengan kerakusan. Dalam arti ini, kerakusan adalah dorongan berlebihan di dalam diri orang untuk mendapatkan sesuatu yang tidak ia butuhkan, atau tidak pantas ia dapatkan. Namun, ada perbedaan mendasar disini. Kerakusan selalu berakar pada motivasi yang merusak, seperti ingin menguasai orang lain, dan sebagainya. Sementara, ambisi bisa mengarah pada sesuatu yang searah dengan kebaikan bersama.

Ambisi dan Aspirasi

            Apapun bentuknya, ambisi menciptakan tegangan. Ia berakar pada pikiran yang mencengkram (grasping mind). Artinya, kita ingin sesuatu terjadi di dunia dengan memaksakannya, jika perlu dengan merusak alam, atau merugikan orang lain. Inilah cara hidup banyak orang dewasa ini.

            Padahal, ambisi itu mengandung paradoks. Jika kita mendapatkannya, kita akan tetap tak puas. Ambisi berikutnya akan muncul lagi, sehingga seluruh hidup kita akan diiisi oleh tegangan demi tegangan. Jika kita gagal mewujudkan ambisi yang kita punya, kita pun akan kecewa.

            Tak berlebihan jika dikatakan, bahwa ambisi adalah sumber penderitaan. Orang yang memendam ambisi tak pernah tenang hidupnya. Jika ambisi itu menguat, dan mendorong tindakan, orang lain pun bisa jadi korban. Seluruh konflik, perang dan bencana kemanusiaan di sejarah manusia adalah hasil dari ambisi buta.

            Maka, ambisi harus diubah menjadi aspirasi. Aspirasi adalah harapan yang digendong dengan ringan. Seperti menggendong anak, harapan dipegang dengan seksama, namun tidak dicengkram. Jika keadaan tidak memungkinkan, aspirasi bisa ditunda, atau disesuaikan.

Identitas

            Ambisi dan aspirasi berakar pada diri manusia. Artinya, ia amat tergantung dari identitas yang dimiliki seseorang. Dalam arti ini, identitas adalah sekumpulan cerita yang orang percaya tentang dirinya. Termasuk di dalamnya adalah cerita tentang sejarah dirinya, keluarganya, bangsanya, agamanya dan bahkan gendernya.

            Jika identitas seseorang sempit, maka ambisi dan aspirasinya juga sempit. Identitas yang sempit adalah identitas yang bersifat tertutup. Orang meyakini begitu saja kumpulan cerita yang disebarkan oleh bangsa, ras, suku maupun agamanya. Akhirnya, ia cenderung bersikap diskriminatif terhadap orang-orang yang berbeda identitas.

            Sebaliknya, jika identitas seseorang luas, maka ambisi dan aspirasinya juga luas. Identitas manusia yang sejati sebenarnya amatlah luas, bahkan seluas semesta. Tubuh manusia adalah campuran dari berbagai hal yang tersebar di berbagai penjuru semesta. Tak heran, bagi beberapa pemikir, tubuh dan pikiran manusia adalah mikrokosmos, yakni alam semesta kecil.

            Identitas yang sejati berada sebelum semua identitas lainnya. Ia berada sebelum cerita yang diajarkan oleh keluarga dan masyarakat tentang bangsa, ras, suku dan agama. Sebelum itu semua, kita adalah warga negara semesta. Inilah yang menjadi titik tolak tidak hanya pemikiran Asia, terutama Zen, tetapi juga teori-teori kosmopolitanisme.

            Dengan identitas seluas semesta, aspirasi yang ada juga bisa amat luas. Hidup dan kerja bukan hanya untuk kepentingan dan kepuasan diri semata, tetapi untuk seluruh semesta. Politik identitas pun tak akan jadi masalah, asal identitas yang kita pegang seluas semesta. Dan, sesuai dengan pernyataan Marcus Aurelius, jika aspirasi kita seluas semesta, nilai kita pun akan seluas dan seluhur semesta itu sendiri.

            Jadi, apapun ambisimu, atau aspirasimu, pastikan, bahwa identitas yang kamu pegang seluas semesta itu sendiri.

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

9 tanggapan untuk “Ambisi dan Identitas”

  1. sangat jelas. sebetul nya dgn kesadaran bahwa hidup hanya lah ke sementaraan belaka, relativ, kita akan sadar bahwa ambisi dan identitas hanya lah bayangan dikepala, baik untuk ancang2, tapi bisa dilepas setiap saat.
    teringat saya kejadian dengan beberapa “hochstapler”, dalam bentuk apapun. griechisches mythos “ikarus” sangat membantu kita.
    bisa2 ambisi dan identitas hanya lah “sejenis” minderwertigkeit komplex yg ada dalam lubuk hati, berkembang dan berakar dikala manusia dalam keadaan tertekan / lemah, di pupuk dgn segala bayangan dan fantasi di kepala, dgn cara tertentu meluas di masyarakat.
    kita bisa lihat di sejarah, sdh terjadi selama manusia berada.
    salam hangat !!

    Suka

  2. Ini tepat sekali. Kesementaraan hidup meruntuhkan ambisi dalam segala bentuknya. Terima kasih atas uraiannya. Membuka beberapa sudut pandang baru. Salam hangat selalu.

    Suka

  3. Awalnya saya orang yang tidak pernah mengerti dan paham apa itu filsafat ?, dan pada waktu itu saya tidak sengaja menonton sebuah acara ILC di tv one, ketika saya menonton acara ilc tersebut. Saya terkejut dengan adanya satu tokoh yang saya kagumi, mampu mengguncangkan sebuah publik dengan konsep” pemikirian kristis beliau yang tidak cukup di pahami oleh para hadirin yang sedang mengikuti acara ilc tersebut. Dengan kata” beliau yang menurut saya sangat kontroversial, dari situlah saya mendapatkan satu titik terang untuk mempelajari apa itu filsafat, dari acara tersebut lah saya mendapat suatu inspirasi bahwa mempelajari filsafat itu penting bagi saya dan semua kalangan di indonesia. untuk mewujudkan bahwa filsafat itu adalah ajaran yang membuka suatu akal sehat, pemikiran keritis dan logika yang cukup mendalam. Artinya kebanyakan publik di wilayah indonesia ini tidak terlalu banyak orang yang selalu memikirkan suatu konsep akal sehat, logika, dan pemikiran kritis, mereka orang” yang selalu melakukan suatu tindakan atau perkataan tanpa memikirkan suatu akal sehat dan logika dalam mengambil keputusan saat bertindak. Jadi buat orang” di wilayah indonesia marilah kita wujudkan suatu konsep pemikiran akal sehat untuk dapat mencerdaskan anak” bangsa indonesia. Saya juga berterima kasih kepada abang REZA A.A yang selalu membagi-bagikan atau memposting artikel” tentang filsafat dan akal sehat untuk mencerdaskan negara dan generasi” anak-anak muda di NKRI. 🙏🙏🙏

    Suka

  4. Awalnya saya tidak pernah mengerti dan paham apa itu filsafat ?
    Dan pada saat waktu itu saya tidak sengaja menonton suatu acara ILC (politik) di tv one, dan pada saat saya menonton acara ILC tersebut saya melihat suatu tokoh yang mampu mengguncangkan publik dan para hadirin di acara ilc tersebut, lewat opini dan tutur bahasa dari suatu tokoh yang sangat kontroversial, pemikirannya kristis, dan penuh logika. Akhirnya setelah selesai menonton acara itu saya mendapatkan sebuah inspirasi atau titik terang untuk berniat belajar dan mempelajari apa filsafat itu sebenernya. dan setelah saya telusuri dan mempelajari filsafat, saya sedikit menemukan apa makna dari kehidupan ini. Memang bagi saya tidak cukup mudah mempelajari filsafat, itu dibutuhkan konsentrasi, akal sehat dan pemikiran kristis untuk bisa mengerti dari suatu kata-kata tersebut. Jujur saya berterima kasih kepada abang REZA A.A WATTIMENA yang masih mau membagikan dan memposting artikel”, insipirasi, pengetahuan untuk mencerdaskan anak-anak muda dan berbagai kalangan lainnya untuk negara indonesia. Walaupun saya sedikit mengerti dan tahu di negara indonesia ini, hampir semua tokoh” atau publik indonesia yang selalu mengedepankan tindakan dan perkataan”, tanpa berpikir terlebih dahulu dan tidak menggunakan akal sehat. Untuk negara indonesia mari kita bersatu meningkatkan akal sehat dan pemikiran yang lebih kritis. Terima kasih

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.