Memahami Kemarahan

Oleh Reza A.A Wattimena

Jantung berdetak keras. Kepala terasa sakit. Seluruh badan menegang. Jika mungkin, ingin sekali rasanya berteriak.

Pada puncaknya, orang lupa diri. Semua kesadaran lenyap. Itulah kemarahan. Gejalanya menyakitkan. Namun, ia tak dapat begitu saja dihindarkan.

Memang, selama kita masih hidup, kemarahan, dan beragam emosi lainnya, pasti akan datang berkunjung. Kemarahan adalah emosi manusia. Ia dirasakan secara pribadi. Namun, ia juga memiliki unsur sosial.

Indonesia tak asing dengan amuk massa. Gerombolan orang merusak berbagai hal yang ada di depan mata mereka. Ini adalah kemarahan sosial. Alasannya beragam, mulai dari kekecewaan pada keadaan politik dan ekonomi, sampai demo pesanan penguasa busuk tertentu.

Di sisi lain, banyak orang mengira, bahwa orang yang telah mendalami Zen tidak akan pernah bisa marah. Mereka hidup dalam kedamaian abadi. Tak ada yang dapat menganggu mereka. Anggapan ini jelas salah kaprah.

Kemarahan perlu dipahami, supaya ia tak menjajah hidup kita. Pemahaman muncul dalam dua titik, yakni pemahaman akan akar kemarahan, sekaligus pemahaman tentang keluar dari kemarahan. Pemahaman adalah kunci kebebasan.

Akar Kemarahan

Kemarahan memiliki empat akar. Keempat akar ini saling terhubung satu sama lain. Pertama, kemarahan berakar pada kekecewaan, yakni ketika keinginan bertentangan dengan kenyataan. Ini terlihat sederhana, namun dampaknya bisa sangat parah, mulai dari stress, depresi, kehilangan kewarasan sampai dengan bunuh diri.

Dua, kemarahan berakar pada pikiran yang mencengkram. Inilah ambisi, yakni upaya untuk menjajah kenyataan, supaya sesuai dengan keinginan, jika perlu dengan kekerasan. Orang amat menginginkan sesuatu, sampai lupa, bahwa kekuatan dirinya terbatas. Ketika kenyataan lolos dari cengkraman, penderitaan adalah buahnya.

Tiga, ketika orang mencengkram terlalu kuat dunia, supaya berjalan sesuai keinginannya, ia akhirnya melekat, dan tak mampu melepas ambisinya sendiri. Kemarahan pun muncul. Penderitaan datang berkunjung. Tak mampu melepas adalah penderitaan pada dirinya sendiri.

Empat, segalanya berubah. Apa yang lahir pasti akan berakhir. Ketika orang tak mampu menerima ini, maka ia akan jatuh pada kemarahan. Ia menginginkan sesuatu yang mustahil, yakni supaya segalanya tetap seperti yang diharapkan, atau kembali ke masa lalu yang diimpikan.

Kemarahan adalah racun bagi diri. Berbagai penelitian menunjukkan, bahwa ketika orang marah, seluruh sistem biologis tubuhnya menjadi kacau. Sesungguhnya, dengan marah, orang menyakiti dirinya sendiri. Ketika kemarahan menggumpal menjadi dendam, berbagai penyakit pun datang mengunjungi diri, mulai dari ketidakseimbangan hormon, sampai dengan kanker.

Just Do It

Bagaimana jalan keluar dari kemarahan? Kita perlu memiliki pemikiran yang melepas setiap saat. Apapun yang muncul di kepala, perlu segera dilepas, supaya tidak menghasilkan ambisi baru, yang berujung pada penderitaan. Bagaimana cara melepas?

Orang dapat melepas, jika ia menerapkan just do it (lakukan saja) mind. Artinya, apapun yang ia lakukan, ia lakukan sepenuhnya, tanpa keraguan. Ketika berjalan, ia sekedar berjalan. Ketika duduk, ia sekedar duduk.

Ketika bernapas, ia sekedar bernapas. Ketika menderita, ia sekedar menderita. Ketika berpikir, ia sekedar berpikir. Dengan cara ini, kemarahan, dan semua emosi lainnya, akan turun, dan kebenaran akan tampak di depan mata, yakni kebenaran disini dan saat ini. Hidup pun akan menyentuh dimensi yang sebelumnya tak tampak.

Apakah lalu kemarahan akan langsung lenyap, dan orang tak akan marah lagi? Tidak. Kemarahan lalu dibalut dengan kesadaran, sehingga bisa digunakan sesuai dengan konteks kebutuhan. Ada kalanya, kemarahan itu perlu, asal dilakukan secara kontekstual, yakni dengan sikap welas asih dan kebijaksanaan. Dengan cara ini, kemarahan tak lagi menjadi sumber penderitaan, melainkan justru bisa menolong orang lain.

Memahami kemarahan adalah kunci kebebasan, sekaligus kunci dari kebahagiaan yang lestari. Para politisi kita, terutama yang kalah dari pilpres dan pileg April 2019 kemarin, perlu memahami hal ini. Dengan begitu, berbagai peristiwa politik yang konyol kiranya bisa dihindari.

 

 

 

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

10 tanggapan untuk “Memahami Kemarahan”

  1. ya paparan Bung Reza tepat sekali secara kontekstual karena bagaimanapun, bahwa masing-masing dari kita adalah psikosomatis yaitu, pikiran dan tubuh kita secara efektif adalah satu.Dengan adanya perbedaan yang melekat dalam tipe batas, kita dapat membayangkan bahwa aliran perasaan akan berliku-liku di tempat yang berbeda, dan menyebabkan efek yang berbeda dari orang ke orang. Kemarahan dan kesadaran adalah satu misteri besar sains mungkin juga misteri terbesar..Kita semua tahu bahwa kita memilikinya, ketika kita berpikir, ketika kita bermimpi, ketika kita menikmati rasa dan aroma, ketika kita mendengar simfoni yang hebat, ketika kita jatuh cinta, dan itu pasti yang paling intim, paling sapient, paling pribadi bagian dari diri kita sendiri. Namun tidak ada yang benar-benar dapat mengklaim telah memahami dan menjelaskannya sepenuhnya.Setiap orang tentunya berbeda bagaimana memproses perasaan mereka , gaya emosional kita adalah aspek mendasar dari siapa kita. Itu mempengaruhi lebih dari sekadar pandangan hidup; itu dapat memengaruhi kesehatan. Banyak penyakit kronis bukan hasil dari kuman atau gen tetapi berakar pada biologi emosional kita.

    Tabya pun
    Yoes €lang Roesmana

    Suka

  2. saya tersenyum membaca karya diatas, penjelasan yg mudah dimengerti, hanya sulit sebagai “instant” utk diterapkan.
    menurut hemat saya, hanya dgn jalan spiritual kita mampu utk sadar dan menerima apa adanya, bahkan “mencintai” kemarahan (???).
    kalau kita sadar semua dalam hidup hanyalah relativ, tidak kekal, kitapun tidak yakin, apakah tindakan dan cara berpikir kita benar. kalau kita mampu mengkosongkan pikiran dan hemat dgn komentar2, kita melihat dunia dgn apa adanya, benar2 kenyataan. saya sendiri heran, bagaimana saya “mampu” merangkul semesta alam walau pikiran dan perasaan saya kacau balau. saya sadar, semua nya berlalu spt awan. begitu juga dgn kemarahan, kesedihan, kekecewaan dsb dsb, setelah semua nya mereda, sering saya alami , penerangan dari pihak luar sebab musabab kemarahan saya, bahkan tidak spt yg saya bayangkan. kesadaran ini mengkuatkan saya dalam jalan spiritual. sangat sulit utk diterangkan, hanya bisa dijalan kan dan dialam i sendiri.
    bahkan terwujud hal2 yg dgn ratio tidak mungkin terwujud, tapi toch terwujud , saya sendiri tidak mengerti dan lupa. maklum hidup dari saat kesaat, begitu “tegang”, begitu menarik jalan hidup yg penuh dgn prihatin dan perhatian.
    salam hangat !

    n.b.: sangat mendukung buku2 thic nhat hahn, walau sulit utk diterapkan, sebab beliau sebagai bikhu hidup “single”, tidak hidup dalam keluarga dgn segala problem.

    Suka

  3. Terima Kasih atas Berbagi Artikelnya. Saya mau bertanya: Apakah dengan Siap Menerima Kenyataan Semacam Pasrahlah pada Apapun yang Terjadi Itu Bisa Mengurangi sampai Mencegah Timbulnya Kemarahan? Kemudian Bagaimana Caranya Agar Kemarahan yang muncul ini segera di sadari terus di Alokasikan Untuk Kebaikan?

    Suka

  4. Terima kasih sudah berbagi. Di satu sisi, emosi dan pikiran adalah segala-galanya. Di sisi lain, ia adalah sampah, hasil bentukan sosial masyarakat sekitar. Ia kosong, dan tak punya inti pada dirinya sendiri. Salam hangat selalu.

    Suka

  5. Terima kasih sudah berbagi. Saya sepakat. Kesadaran akan kesementaraan memang sungguh melegakan dan mencerahkan. Saya sudah membaca beberapa buku beliau. Ada beberapa gagasan menarik. Salam hangat.

    Suka

  6. Terima kasih kembali. Sebenarnya, jawaban atas pertanyaan itu ada di dalam artikel ini. Terima apa yang terjadi. Lalu, cari cara untuk menanggapinya secara tepat. Ketika marah muncul, cukup disadari segala sensasi yang muncul dalam tubuh, tanpa penilaian. Lalu, ambil keputusan dengan kesadaran itu.

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.