Tirani Asumsi

Jo Cody

Oleh Reza A.A Wattimena

Kita hidup dengan asumsi. Asumsi adalah hal-hal yang dianggap benar, dan tidak dipertanyakan lagi. Ia adalah anggapan-anggapan lama yang diwarisi dari generasi sebelumnya. Ada kalanya, ia mengandung kebenaran. Namun, tak jarang pula, ia menggiring orang pada kesalahan berpikir, dan penderitaan.

Deretan Asumsi

Misalnya, di abad 21 ini, banyak orang berpikir, bahwa politik itu busuk. Ini anggapan lama yang lahir dari kekecewaan. Padahal, politik adalah soal urusan bersama, guna menciptakan kebaikan bersama. Ia adalah panggilan luhur, asalkan lahir dari nilai-nilai kehidupan, dan bukan kerakusan semata.

Politik juga bukan hanya soal merebut jabatan. Itu hanya bagian yang amat kecil dari politik. Politik adalah soal keterlibatan, terutama keterlibatan untuk mewujudkan kebaikan bersama. Keterlibatan itu bisa mengambil beragam bentuk, mulai dari keterlibatan di lingkungan sekitar, sampai dengan keterlibatan di ranah politik negara.

Asumsi lainnya adalah soal agama. Di Indonesia, agama dianggap sebagai sesuatu yang suci, jauh dari kegelapan dunia. Padahal, agama juga merupakan organisasi buatan manusia. Ada ajaran iman di dalamnya. Namun, ia pun tak bebas dari kebohongan maupun kejahatan, seperti segala ciptaan manusia lainnya. Sejarah manusia sudah membuktikan itu.

Berbagai asumsi soal hidup juga mengepung hidup kita sekarang ini. Kita didorong untuk menjadi sukses dalam hidup. Artinya, kita harus kaya raya. Ukuran sukses adalah kaya raya.

Padahal, jika diteliti lebih dalam, banyak orang justru menderita, karena kekayaan yang ia punya. Rasa rakus tumbuh di dada, bersama dengan sikap pelit. Godaan untuk menjadi korup justru semakin besar, ketika orang kaya. Ketika ukuran keberhasilan hidup disamakan dengan kekayaan, penderitaan sudah siap menanti.

Berulang kali, saya mendengar, pernikahan adalah sumber kebahagiaan. Ini juga merupakan asumsi sesat yang disebarkan oleh generasi lama. Jutaan data menunjukkan dengan jelas, di berbagai belahan dunia, pernikahan berakhir dengan perceraian brutal, atau konflik yang bermuara pada kematian. Pernikahan bisa menjadi bahagia, jika beberapa hal sudah terpenuhi sebelumnya, mulai dari komitmen sampai dengan kesiapan untuk mengampuni. Namun, pernikahan, pada dirinya sendiri, sama sekali bukan jalan menuju kebahagiaan.

Di Indonesia, beragam asumsi tentang kaum LGBTQ (Lesbian, Gay, Biseks, Transgender dan Queer) juga masih saja tertanam dalam. Mereka dianggap sakit jiwa, atau bahkan kemasukan setan. Ini juga asumsi yang dibangun atas dasar kebodohan dan ketakutan. Begitu banyak penderitaan yang diciptakan atas dasar asumsi sesat ini.

Asumsi itu berbahaya. Ia bisa menjadi tirani. Ia menindas dan menjajah. Ia menyebarkan penderitaan, seringkali justru dengan niat baik.

Jeda Asumsi

Salah satu jalan keluar adalah dengan berpikir “belum tentu”. Politik belum tentu busuk. Kaya belum tentu sukses. Agama belum tentu suci. Menikah belum tentu bahagia.

“Belum tentu” adalah saat jeda. Ia menunda kesimpulan. Ia juga menunda keputusan. Ia menunda pikiran kita dari terjebak dalam kebohongan yang diciptakan oleh dirinya sendiri.

Dengan cara ini, kita lalu bisa melihat kenyataan sebagaimana adanya. Itu bisa menjadi dasar yang kokoh bagi kehidupan. Hidup ini tidaklah melulu penderitaan, dan juga tidak melulu kebahagiaan. Ia keduanya, sekaligus sebelum keduanya.

Ini adalah seni melihat hidup, tanpa prasangka. Sebenarnya, asumsi adalah prasangka. Ia mengaburkan pandangan kita terhadap kenyataan sebagaimana adanya. Seringkali, prasangka ini tertanam dalam budaya, serta ditutupi oleh konsep-konsep agama yang salah tafsir.

Hidup dengan kenyataan juga berarti hidup dengan jeda setiap saat. Derita dijalani. Kebahagiaan dijalani. Hidup yang penuh dan bermutu tak akan terlepas dari keduanya.

Hidup adalah nuansa. Ia selalu ada di antara. Tak melulu hitam, dan tak melulu putih. Seni melihat dan menikmat nuansa adalah jalan menuju hidup yang kaya.

Tirani asumsi adalah penghalang terbesar di dalam memahami kenyataan yang penuh nuansa. Ia menyebabkan penderitaan bagi diri sendiri, dan bagi orang lain. Tirani asumsi membuat hidup menjadi sempit dan penuh ketakutan. Sudah waktunya, ia dilepas, dan dibuang jauh-jauh.

 

 

 

 

 

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

12 tanggapan untuk “Tirani Asumsi”

  1. sepakat sekali. asumsi tidak lain dari ikatan dan belenggu yang mencekam benak kita, sejak kita lahir.
    untuk hidup spt nurani dan jati hati , authentik spt kita dilahirkan, kita harus memupuk kehidupan spiritual.
    dgn kesadaran , kita mampu “melihat dan merasakan pengaruh asumsi dlm diri sendiri” dan mampu membebaskan diri dari segala belenggu. kita amati sehari2 sekeliling kita, asumsi mencekam hidup. dgn “latihan”( subud ) setapak demi setapak kita mampu memperkecil asumsi, bahkan mengkikis habis. kita merasa betapa bebasnya kita dari segala prasangka, bayangan dsb dsb.
    “belum tentu”, “relativ”, “ketidak kekalan” dsb dsb, dibalik kata2 ini terletak kunci pembebasan dari asumsi, dalam arti, semua derita dan kesenangan tidak kekal, semua bisa berubah dan di koreksi kearah yg dituju.
    salam hangat !

    Suka

  2. Dalam relasi dalam politik yang telah bapak jelaskan. Saya mengingat kembali tentang tulisan daripada Amartya Sen “kebebasan kesejahteraan dan kapabilitas” di mana Sen menulis bahwa pemikiran arus utama kaum politik dan ekonomi adalah hal yang rasional ialah hal yang menguntungkan. Dalam tulisan daripada Sen tersebut dapat diinterpretasikan bahwa relasi dalam politik adalah tentang maksimalisasi kepentingan diri, meniadakan yang lain, dan meniadakan rasa kemanusiaan. Saya setuju dengan Amartya Sen, yang di mana kita bicara tentang konteks di Indonesia. Politik adalah panggung di mana manusia memperkaya dirinya dan tidak memperdulikan manusia lain. Lalu di mana poin politik membangun kebersamaan bersama, tetapi pada kenyataannya kita masih terbelenggu pada relasi yang tidak memanusiakan manusia dan memaksimalisasikan kepentingan diri?

    Suka

  3. Saya merasakan unsur taoisme di tulisan ini
    Tidak melulu hitam, tidak melulu putih.

    Salam damai

    Suka

  4. saya selalu tertarik terhadap tulisan-tulisan anda yang sangat mencerahkan, terimakasih telah berbagi.
    ketika melihat tulisan ini saya langsung menyadari masyarakat kita sejatinya masih di hantui oleh cara berfikir mainstraime yang membuat seseorang dengan mudahnya tunduk terhadap cara pandang umum, tanpa mengambil jarak berada di dalam keotentikan diri, untuk itu di butuhkan sikap kritis agar dapat menunda asumsi yang sayangnya sangat jarang, karena apa yang di hayati adalah hasil dari produk sosial masyarakat kita selama ratusan tahun.

    Suka

  5. Ternyata manusia tak bisa lepas dari asumsi, mungkin karena itulah, juga disediakan perangkap logika, agar bisa membedakan mana asumsi dan mana yg sesudah asumsi.

    Suka

  6. Terima kasih sudah berbagi. Kepentingan diri justru hanya dapat terpenuh secara penuh dengan memperhatikan kepentingan bersama. Keduanya tidak terpisahkan, asal dilihat secara jernih. Keamanan dan kenyamanan hidupku baru bisa terpenuhi secara maksimal, jika lingkungan sekitarku aman dan nyaman.

    Suka

  7. berkenaan dgn thema diatas, kebetulan dewasa ini saya membaca” einbruch in die freiheit” (jiddu krishnamurti/ terjemahan dari “freedom from the known” 1969).
    komentar nya : “wowww”.
    mungkin ada peminat yg haus dgn “pembebasan”.
    salam hangat !!

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.