Rohaniwan; Mantan Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara
Kompas, 12 Maret 2019
Istilah ”golput”, singkatan dari golongan putih, menurut Wikipedia, diciptakan tahun 1971 oleh Imam Waluyo bagi mereka yang tak mau memilih. Dipakai istilah ”putih” karena gerakan ini menganjurkan agar mencoblos bagian putih di kertas atau surat suara di luar gambar parpol peserta pemilu kalau tak menyetujui pembatasan pembentukan partai-partai oleh pemerintah Orde Baru.
Jadi, golput artinya sama dengan menolak untuk memberikan suara. Setiap kali ada pemilu, kemungkinan golput, diperdebatkan. Memang, UU pemilu kita, seperti halnya di mayoritas demokrasi di dunia, tak mewajibkan warga negara harus memilih. Masalahnya: bagaimana penolakan warga negara untuk ikut pemilu harus dinilai?
Yang sulit disangkal: hasil pemilu legislatif dan pilpres pada 17 April nanti akan krusialbagi masa depan bangsa dan negara. Itu hal serius. Karena itu pertimbangan-pertimbangan berikut juga serius. Jangan harap pendapat berikut akan diajukan secara santun, adem-ayem, baik-baik. Tidak! Saya mau menulis dengan jelas.
Tentu ada beberapa situasi di mana Anda berhak, barangkali bahkan wajib untuk tak ikut memilih. Misalnya, biaya untuk ikut memilih terlalu mahal karena tempat pemungutan suara (TPS) terlalu jauh dari tempat tinggal Anda, pekerjaan Anda tak dapat diinterupsi, atau Anda harus merawat seseorang yang tak dapat ditinggalkan.
Untuk alasan seperti itu, yang akan saya tulis tak berlaku bagi Anda. Ada alasan-alasan sah untuk tak ikut memilih. Namun, kalau tak ada alasan yang betul-betul sah dan obyektif seperti, jelas Anda wajib memilih.
Bukan wajib secara hukum, melainkan wajib secara moral. Kalau Anda, meskipun sebenarnya dapat, tetapi Anda memilih untuk tak memilih atau golput, maaf, hanya ada tiga kemungkinan: Anda bodoh, just stupid; atau Anda berwatak benalu, kurang sedap; atau Anda secara mental tidak stabil, Anda seorang psycho-freak.
Misalnya Anda menganggap kedua capres sama-sama tak memuaskan. Oke!Namun, itu tak berarti kedua capres adalah sama—dan dua capres sekarang jelas tak sama. Dalam pandangan Anda, dari dua calon ini pasti ada yang kurang baik dan ada yang lebih lagi kurang baik.
Pastikan agar jangan calon yang Anda anggap lebih kurang baik yang terpilih. Artinya, meski juga tak memuaskan, pilihlah yang lebih baik di antara keduanya. Jangan mendukung yang lebih tidak baik dibanding calon satunya dengan cara abstain! Dalam suatu pemilu, kita tak memilih yang terbaik, melainkan berusaha memastikan yang terburuk jangan terpilih.
Mencegah yang buruk berkuasa
Tak ikut memilih karena tak ada calon yang betul-betul sesuai dengan cita-cita Anda adalah, maaf, tanda kebodohan. Antara yang kurang memuaskan dan yang sama sekali tak memuaskan masih ada perbedaan besar. Yang betul-betul buruk adalah: ada yang bersikap ”peduli amat” dengan siapa yang dipilih. Dia tak bersedia ”membuang waktu” dengan repot-repot memilih. Yang dia pikirkan adalah kariernya sendiri. Nasib negara dia tak peduli.
Itu sikap benalu atau parasit. Dia hidup atas usaha bersama masyarakat, tetapi tak mau menyumbang sesuatu. Kita dengan susah payah berhasil mewujudkan demokrasi di Indonesia, tetapi Anda ”tak peduli politik”. Betul-betul tak sedap! Sikap itu juga bukan tanda kepintaran. Bisa saja hasil pemilihan punya dampak pada karier Anda.
Ada juga yang tak mau memilih karena kecewa. Misalnya, capres A yang begitu diidam-idamankan ternyata juga punya kelemahan, bukan seratus persen ksatria putih bersinar seperti dibayangkan karena ia ternyata juga mengambil sikap politik yang sangat mengecewakan. Atau, Anda barangkali begitu mengharapkan capres B akan membawa Indonesia ke pantai-pantai baru, tetapi ia ternyata mengambil sikap kompromistis, tak konsekuen seperti Anda harapkan. Maka, karena kecewa, Anda tidak memilih, baik capres A maupun B.
Anda menggerutu dan golput. Seakan dengan tak ikut memilih, Anda mau menghukum si capres karena ia mengecewakan Anda. Itu pilihan buruk. Bukan hanya karena alasan di atas. Mengambil sikap atas dasar rasa kecewa adalah tanda mental yang lemah. Orang yang mentalnya baik tak akan mengizinkan rasa kecewa memengaruhi keputusannya.
Kalau Anda menolak Prabowo, pilih Jokowi!, meski Anda kecewa dengan Jokowi. Kalau Anda tak mau Jokowi jadi presiden lagi lima tahun ke depan, pilih Prabowo, meski ia jauh dari harapan Anda! Dua tokoh itulah yang kini tersedia bagi Indonesia. Kenyataan ini harus diterima. Sekali lagi, kita tak memilih yang terbaik, melainkan mencegah yang terburuk berkuasa. Dalam suatu demokrasi kita wajib memberi bagian kita.
Salam. Saya selalu membaca tulisan Mas Reza. Utamanya yg di sini, menyegarkan sekali. Terima kasih, mas.
SukaDisukai oleh 1 orang
eine schwierige entscheidung auf der einen seite. die welt ist global, durch und durch vernetzt. wir sind mit gut und böse verbunden , verheddert, verirrt, abhängig voneinander,dennoch ist es alles vergänglich im leben.
eine kurskorrektur ist nicht ausgeschlossen.
alles gute !!
SukaDisukai oleh 1 orang
Pendapat Anda tentang opini Romo Magnis di atas?
SukaDisukai oleh 1 orang
Memahami ALASAN GOLPUT yang dikemukanakan oleh Magniz soal, saya pikir ini satu sulusi yang tepat.
SukaDisukai oleh 1 orang
Sepakat dengan tulisan ini. Mantap Prof. Magniz, mantap Bang Reza
SukaDisukai oleh 1 orang
Ngirim opini ke kompos gimana yah mas? Alamat dan aturan penulisannya. Terima kasih
SukaDisukai oleh 1 orang
👌
SukaSuka
Tumben tulisan ya cukup “provokatif” mas
Saya dapat merasakan “amarah” yang besar di tulisan ini
Salam damai
SukaSuka
mencegah yang terburuk berkuasa??…sangat ironis melihat tulisan pak magniz bertema ”golput” yang anda bawakan ulang ini, jelas tulisan ini berirama sangat skeptis, namun di satu sisi analysis isi di dalam esai tulisan ini sangatlah obyektiv, karena sekali lagi kita di hadapakan oleh dua pilihan sosok pemimpin di bawah harapan, tetapi situasi terjebak itu membuat kita tidak punya pilihan selain memilih pilihan itu sendiri, dengan sebuah harapan semu, karena sekali lagi demokrasi kita gagal menjalankan ethos yang memainkan peranan di mana prasyarat seorang pemimpin sejati muncul di permukaan, karena pemimpin bukan datang dari uang (oligark)!, nama besar!, popularitas!, identitas! yang mewujud jadi ”kepandiran” ,,,,,,,,,,,,,,tetapi mereka yang mempunyai logos, akal budi, visi tentang kesetaraan dan keadilan, menjadi prasyarat utama menjadi seorang pemimpin, yang sulit sekali muncul kepermukaan, di saat memang jutaan rakyat indonesia harus hidup secara apolitis dan kekuasaan di kendalikan oleh segelintir orang.
SukaDisukai oleh 1 orang
Setuju dech pokoknya dg ulasannya. Ayo, jngn golput!
SukaDisukai oleh 1 orang
Terima kasih mas. Tapi, ini bukan tulisan saya. Ini tulisan Franz Magnis. Salam hangat mas
SukaSuka
Alles gute. Aber in diesem Zusammenhang ist die Sache schon ganz klar, dass wir nich als Golput sein müssen.
SukaSuka
Saya sepakat dengan beliau, walaupun dengan pertimbangan yang lebih tidak emosional. Salam hangat.
SukaSuka
saya juga berpikir begitu.
SukaSuka
terima kasih bung
SukaSuka
saya kurang tahu mas. Coba lihat website mereka.
SukaSuka
INi bukan tulisan saya mas. INi tulisan franz magnis. Salam.
SukaSuka
Itu memang keadaan bangsa sekarang ini. Oligarki atas nama uang dan agama yang menipu rakyat untuk mendapat kekuasaan.
SukaSuka
Sepakat.
SukaSuka
untuk mengetahui siapa penulis artikel diatas, saya membaca di beberapa forum. sangat menarik dan mengesankan latar belakang penulis, dan mempermudah pengertian , apa yg dimaksud dan tujuan penulis.
salut dan respect utk penulis dan pendukung2nya.
salam hangat !!
SukaDisukai oleh 1 orang
Bang, saya salah satu penggemar tulisan filsafat Abang. Update terus dong tentang filsafat. Nunggu terus kiriman dari Abang. Hehe Terima kasih bang.
SukaSuka
Salam hangat selalu. Penulis artikel ini adalah guru saya sewaktu masa kuliah dulu.
SukaSuka
Terima kasih kembali. Saya selalu posting tulisan baru setiap Senin.
SukaSuka
Tulisan romo magnis menyakitkan.tapi itulah realitas.kegagalan demokrasi kita adalah
SukaDisukai oleh 1 orang
Tidak sepenuhnya gagal. Ada hal-hal hebat yang sudah dicapai.
SukaSuka
“memilih atau menyumbangkan suara pada pemilu bukan semata karena taat hukum, tapi karena tuntutan moral”
SukaSuka
begitulah
SukaSuka