Membongkar Jeroan “Gerombolan”

The Austin Chronicle

Oleh Reza A.A Wattimena

Di Indonesia, kebenaran rupanya kerap tunduk pada tekanan gerombolan. Jika banyak orang berkumpul menuntut sesuatu, biasanya akan dituruti, walaupun itu bertentangan dengan akal sehat. Beragam kasus bisa dideret, mulai dari ketidakadilan yang menimpa Ahok (Basuki Tjahaja Purnama) pada 2017 lalu, sampai tekanan para supir ojol terhadap petugas keamanan salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta. Mengapa gerombolan bisa mendikte kebijakan?

Di abad 21 ini, gerombolan bisa dibagi menjadi dua. Yang pertama adalah gerombolan nyata. Ini adalah gerombolan orang yang berdemo di jalan menuntut sesuatu. Gerombolan ini dapat dengan mudah dilihat dengan mata.

Lalu, ada juga gerombolan virtual. Mereka adalah para netizen, yakni orang-orang yang aktif di media sosial di internet. Mereka juga kerap kali bergerombol secara virtual untuk menuntut sesuatu. Jika anda adalah orang yang aktif di dunia media sosial, anda pasti akan selalu berjumpa dengan gerombolan virtual ini.

Jeroan Gerombolan

Setidaknya, ada tiga pemikir yang berbicara tentang gerombolan secara mendalam. Yang pertama adalah Gustave Le Bon dalam bukunya yang berjudul Psychologie des Foules. Yang kedua adalah Sigmund Freud dalam bukunya Massenpsychologie und Ich Analyse: Die Zukunft einer Illussion. Lalu Ellias Canetti dalam bukunya yang berjudul Masse und Macht.

Secara umum, ada empat ciri gerombolan. Pertama, mereka cenderung tak berpikir, dan patuh buta pada dorongan-dorongan dasariah manusia, seperti kerakusan. Karena tak berpikir, gerak gerombolan juga cenderung irasional. Mereka merusak, tanpa peduli pada pertimbangan-pertimbangan akal sehat lainnya.

Dua, di dalam gerombolan, orang kehilangan ciri kepribadiannya. Orang yang ramah dalam keseharian bisa berubah menjadi brutal dalam sekejap mata. Kewarasan seolah lenyap dalam hitungan detik. Setelah euforia gerombolan berakhir, yang tersisa hanya rasa heran pada apa yang telah terjadi.

Tiga, di dalam gerombolan, tidak ada tanggung jawab. Orang bisa bertindak seenaknya dengan mengikuti gerak gerombolan. Mereka tak takut pada hukum dan aturan yang berlaku. Dalam hitungan detik, mereka merasa menjadi manusia super yang siap merusak dan menjarah, tanpa rem moralitas ataupun pertimbangan nurani apapun.

Empat, gerombolan meleburkan semua bentuk identitas pribadi. Yang tercipta kemudian adalah kesetaraan sejati. Tidak ada pria, wanita, orang kaya ataupun orang miskin. Sekat-sekat agama, suku dan ras tertunda, ketika gerombolan tercipta.

Gerombolan menciptakan ilusi kekuasaan. Seolah kekuatan terbesar ada di dalam jumlah. Padahal, gerombolan itu amat sementara. Dalam sekejap mata, ia bisa muncul dan lenyap. Jika orang bisa bertahan dengan akal sehat dan nuraninya, tekanan gerombolan tak akan mempengaruhinya.

Anti-Gerombolan

Mental gerombolan ini sudah banyak menciptakan masalah. Para pendukung Hitler di perang dunia kedua adalah gerombolan fasis yang paling brutal dalam sejarah. Akal sehat dan kebenaran diputarbalikan melalui paksaan dan ancaman. Pemerintah dan lembaga yang pengecut akan tunduk pada ancaman gerombolan, dan menciptakan kekacauan serta kecemasan di masyarakat luas. Inilah yang kiranya terjadi di Indonesia.

Mental gerombolan hanya dapat dikalahkan dengan dua cara. Yang pertama adalah membangun sikap autentik dalam diri. Sikap autentik menolak tunduk pada tradisi dan kecenderungan masyarakat luas, tanpa pendasaran akal sehat dan nurani yang bersih. Orang yang autentik tidak akan mudah dipengaruhi, bahkan dengan ancaman kekerasan ataupun rayuan kenikmatan.

Sikap autentik hanya dapat tumbuh, jika orang mengembangkan pola berpikir kritis dan rasional. Sebenarnya, inilah peran utama filsafat di dalam kehidupan bersama. Sikap kritis membuat orang tak gampang percaya pada apapun. Sikap rasional membuat orang mampu menarik kesimpulan, dan menyampaikan pendapat dengan jernih serta masuk akal.

Banyak masalah akan selesai, jika sikap autentik dan kritis ini dikembangkan secara merata. Hoaks tidak akan menganggu kehidupan politik. Gosip dan rumor murahan akan secara alami lenyap dari wacana bersama. Politik identitas juga akan kehilangan daya tariknya. Radikalisme, baik agama ataupun ideologi, akan lenyap dengan sendirinya.

Sebaliknya, jika mental gerombolan terus dilestarikan, maka petaka akan terus menghantui hidup bersama. Orang akan hidup dalam rasa takut tanpa henti. Energi masyarakat akan habis untuk membicarakan hal-hal yang dangkal dan tak berguna. Kita sudah berulang kali mengalami ini di Indonesia. Apakah anda tidak lelah?

 

 

 

 

 

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

24 tanggapan untuk “Membongkar Jeroan “Gerombolan””

  1. Mental gerombolan… Hehe pertamakali mendengar istilah itu bersamaan dengan mengenal istilah “archaic”, “tribal”, ” “Primitive”, dan ” Savage”. Antara freud, jung, levi-strauss.

    Suka

  2. tepat sekali makna karya diatas.
    “gerombolan” terjalin, sbb manusia hidup sebagai mahluk sozial. asal usul utk hidup bersama, saling membutuhkan, kerja sama mudah sekali beralih sebagai penggerak masa kearah apapun.
    kita sdh lelah dan muak mengalami segala bentuk gerombolan , tapi toch secara tidak sadar kita hanyut dgn arus nya, contoh kecil sehari2 bisa diperhatikan.
    salam hangat !

    Suka

  3. Bagaimanakah membangun sikap autentik dalam diri (khususnya untuk masyarakat awam di Indonesia) ??
    Apa solusi konkrit yang dapat diterapkan pada Indonesia saat ini, jujur saya miris melihat perkembangan radikalisme agama dah hoaxs politik yang makin banyak belakangan ini.

    Suka

  4. Seharusnya orang-orang sadar bahwa ‘mental gerombolan’ hanya menciptakan ilusi kekuasaan yang sementara saja. Kekuassan itu tidak kekal, ada kemungkinan bahwa ‘mereka’ akan ‘pecah sendiri’ atau kelahi satu sama lain setelah tujuan mereka tercapai, karena ‘mereka’ hanya mementingkan nafsu masing-masing,
    Salam hangat dari charvin

    Suka

  5. Jangan dipengaruhi oleh kebencian dan keserakahan, karena sesungguhnya hidup tu sudah cukup nikmat. Masih bisa bernafas, menikmati angin lewat, langit cerah, pohon sejuk, dan segelas air putih dingin. Hidup dah terasa memuaskan.

    Salam damai
    Charvin

    Suka

  6. Tidak ada yang kekal di dunia ini
    Suatu saat mental gerombolan juga akan “lenyap” di bumi pertiwi
    Hanya saja kita tidak tahu itu kapan
    Salam damai dari charvin

    Suka

  7. Sekumpulan orang atau manusia yang berada dalam waktu dan tempat yang sama yang mempunyai ketertarikan atau point of interest yang sama yang bersifat sementara.

    Suka

  8. gerombolan menurut saya hanya ombak dalam segala bentuk, kita manusia samudera nya, saling bergantung.
    kommunitas dan gerombolan sepertinya persaudaraan dgn segala kebencian dan cinta yg bergantian spt air laut (flut-ebbe).
    (“die welle und das meer” – willigis jäger )
    salam hangat !

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.