Kekuasaan dan Kesementaraan

Dave Lebow

Oleh Reza A.A Wattimena

2019 ini, banyak orang harus berpisah dengan kekuasaan. Anggota legislatif akan berakhir pada jabatannya. Kemungkinan besar, banyak yang tidak lagi terpilih. Pemilihan presiden masih tetap mengarah pada petahana. Namun, semua kemungkinan selalu terbuka.

Di tengah semua ini, banyak orang harus berpisah dari uang yang mereka punya. Para caleg yang akan mengalami depresi, karena gagal terpilih, walaupun sudah mengeluarkan uang banyak untuk kampanye. Para donor dan partai politik yang harus kalah, walaupun sudah mengeluarkan uang banyak juga untuk kampanye jagoan mereka. Kita mungkin kerap lupa, bahwa kekuasaan, seperti segala yang ada, akan berakhir.  

Zen Master Man Gong dari Korea pernah berkata, bahwa jika kita mendapat sesuatu berarti kita sedang kehilangan sesuatu. Ini terjadi, karena segala sesuatu berubah. Tak ada apapun yang bisa kita genggam dengan erat di dalam hidup ini, termasuk hidup kita. Mendapatkan atau kehilangan, keduanya adalah satu dan sama.

Dimensi Kekuasaan

Bagi sebagian orang, kekuasaan adalah kutukan. Kekuasaan mengubah kepribadian mereka menjadi rakus dan sombong. Hidup mereka pun dipenuhi tegangan penderitaan. Dengan pola berpikir ini, kekuasaan yang mereka pegang juga akan membuat banyak orang menderita.

Sayangnya, pola pikir inilah yang masih dianut oleh para penguasa politik dan ekonomi di Indonesia. Gejalanya dengan mudah dilihat. Kedudukan sebagai wakil rakyat ataupun pejabat publik digunakan untuk memperkaya diri dengan melakukan korupsi, kolusi maupun nepotisme. Ini telah menjadi budaya yang mengakar dalam, sehingga orang ingin menjadi pejabat publik justru karena ingin korupsi.

Namun, pada dirinya sendiri, kekuasaan tidaklah baik dan tidak buruk. Jika dipegang dengan kesadaran penuh, kekuasaan bisa menjadi berkah. Orang bisa membaktikan hidupnya untuk kebaikan bersama masyarakatnya. Ia bisa menciptakan kesejahteraan dan kebahagiaan untuk banyak orang.

Anatomi Kekuasaan

Kekuasaan adalah kemampuan untuk mempengaruhi dunia. Dengan perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan modern, kekuasaan manusia kini menjadi amat besar. Alam fisik dibentuk sedemikian rupa, sehingga bisa sesuai dengan keinginan manusia. Beberapa peradaban bahkan mencoba mengembangkan teknologi pikiran, supaya bisa menciptakan kebahagiaan hidup yang tak terpengaruh oleh perubahan keadaan.

Akar dari kekuasaan adalah kehendak. Ini kiranya sejalan dengan pandangan Nietzsche yang melihat hidup sebagai kehendak untuk berkuasa (Der Wille zur Macht). Tentu saja, kehendak tidak muncul dari ruang kosong. Ia adalah hasil dari rangkaian sebab akibat yang melahirkan energi dan dorongan kehidupan itu sendiri.

Kekuasaan lalu terwujud melalui tindakan dan keputusan. Setiap tindakan dan keputusan selalu terjadi dalam kerangka sosial. Begitu pula setiap tindakan dan keputusan selalu memiliki dampak yang bersifat sosial.

Michel Foucault, pemikir Prancis, juga menegaskan, bahwa kekuasaan terdapat di dalam pengetahuan. Penentuan benar-salah, dan baik-buruk, juga merupakan sebentuk kekuasaan. Ia tidak baik, dan juga tidak buruk. Ia diperlukan untuk mencipta dan melestarikan tatanan yang terus berubah.

Satu hal yang tak boleh terlupa, bahwa kekuasaan itu sementara. Semakin lama, kemampuan seseorang untuk mempengaruhi dunianya semakin kecil. Kekuasaan mesti siap untuk dilepas, ketika waktunya tiba. Jika gagal memahami hal ini, maka masalah dan derita sudah siap berkunjung di depan mata.

Kekuasaan yang Korup

Tanpa kesadaran akan kesementaraan, kekuasaan bisa menjadi korup. Ia menjadi ego sentrik, yakni hanya menjadi ajang pemenuhan kebutuhan diri dan kelompok sempit mata. Orang lain dan masyarakat luas dirugikan. Kebaikan bersama menjadi semakin jauh dari genggaman.

Tanpa kesadaran, kekuasaan akan berubah menjadi penindasan. Inilah yang kiranya terjadi di banyak negara sekarang ini. Kekuasaan menjadi ajang pamer, tanpa kesadaran akan pengabdian terhadap kepentingan bersama. Dalam arti ini, kekuasaan adalah sebuah kutukan, karena ia menyakiti banyak orang, dan bahkan orang yang memegangnya.

Penindasan terjadi tidak hanya di tataran politik dan ekonomi, tetapi juga di tataran simbolik. Pemikir Prancis, Pierre Bourdieu, menyebut ini sebagai kekerasan simbolik. Ia berada di tingkat yang lebih halus dan tak terlihat, yakni di ranah pengetahuan dan penentuan baik-buruk ataupun benar-salah. Antonio Gramsci, pemikir asal Italia, menyebut ini sebagai hegemoni, yakni penindasan yang begitu halus, sehingga orang justru merasa puas, ketika ditindas.

Kekuasaan semacam ini dijalankan dengan kekerasan dan teror, baik fisik maupun simbolik. Sejarah bangsa-bangsa sudah menunjukkan, betapa kejamnya kekuasaan semacam ini. Begitu banyak korban jiwa dan harta benda, akibat kekerasan dan teror yang dijalankan. Ketika saatnya berlalu, kerusakan yang diakibatkan juga bisa dirasakan lintas generasi.

Kekuasaan adalah kesementaraan. Hal sederhana ini sekarang banyak terlupakan. Maka dari itu, ia harus memiliki arah yang jelas, yakni demi kebaikan bersama. Hanya dengan begitu, kekuasaan bisa menjadi bermakna, tidak hanya di waktu sekarang, tetapi juga di generasi mendatang. Ia bisa terus dikenang, tanpa sesal, namun dengan kekaguman.

 

 

 

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

14 tanggapan untuk “Kekuasaan dan Kesementaraan”

  1. bagaimana tanggapan pak reza mengenai bung rocky gerung?saya termasuk orang yang salut sama pemikiran dia ,karna dia mampu membuat lawan debat terjebak perkataannya sendiri dan bisa membuat lawan kembali pada sifat aslinya ketika berdebat ,gimana kalo tanggapan anda mengenai bung rocky?cara berpikirnya?atau hal lain

    Suka

  2. Bang Reza, tulisan ini menarik. Apabila dijelaskan dalam hubungannya dgn Politik populisme atau yg bisa disebut sbgi Politik identitas, kira2 bagaimana?

    Suka

  3. saya sepakat sekali dgn maksud diatas. “kekuasaan” hanyalah suatu bentuk dr bayangan , yg sllu kita pelihara. saya jadi ingat, dongeng org indian, percakapan cucu dgn nenek ttg 2 serigala dikepala.
    karya ini, membawa saya ke karya yg lalu, kapitalismus dan marxismus sbg. penindas sesama.
    “kekuasaan dan kesementaraan” bisa2 mengarahkan kita dgn liku2 jalan dan waktu seumur hidup ke tujuan : nalar sehat dan hati nurani.
    sangat absurd, tidak bisa dimengerti, tapi toch begitu banya terjadi dalam sejarah manusia.
    “nalar sehat dan hati nurani” ada disetiap manusia, kita tinggal memelihara dan memupuk, baru kita mengalami “potensi dahsyat” dalam diri kita, yg sd ada sejak kita lahir.
    karya sangat menginspirasi !
    kita cukup mengamati hidup sehari2 dgn kesadaran murni, tanpa “ilmu filsafat tinggi”( achir nya ilmu filsafat berachir hanya sebagai konsept belaka, hanya theorie, bayangan dikepala, hasil pemikiran dan terlalu banya baca buku (??).
    fazit nya absurd , irrasional, gila ??
    semuanya terbuka, apa adanya !
    selamat berkarya!
    salam hangat !

    Suka

  4. Menurut mas Reza apakah paham nihilism sama dengan realistis??

    Karena banyak yang mengganggap Buddhisme itu nihilistik walaupun beberapa ahli Buddhisme menganggap ia realis.

    Mohon pencerahan nya

    Suka

  5. terima kasih. Saya rasa cukup jelas. Politik identitas menggiring dukungan dengan memainkan primordialitas. Ini jelas merupakan cara-cara rakus yang tak sesuai dengan visi demokrasi modern.

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.