Pengakuan Seorang Marxis-Zennist

Ricardo Levins Morales

Oleh Reza A.A Wattimena

Di dalam filsafat, Marxisme adalah cinta pertama saya. Saya masih ingat buku tulisan Franz Magnis-Suseno yang berjudul Pemikiran Karl Marx. Seingat saya, buku itu terbit pada 1999. Itu merupakan salah satu buku filsafat pertama yang saya baca sampai selesai.

Sewaktu itu, saya masih di bangku SMA. Saya masih ingat perasaan saya waktu itu. Pikiran begitu tercerahkan. Dada begitu berkobar oleh semangat untuk membuat perubahan. Sejak itu, saya menjadi seorang Marxis.

Jalan Filsafat

Sejak kecil, saya tertarik pada tiga hal, yakni musik, olahraga basket dan komputer. Persentuhan saya dengan filsafat mengubah semua itu. Saya memutuskan, bahwa musik, basket dan komputer bisa dipelajari sendiri. Namun, untuk belajar filsafat, orang butuh guru. Dan guru terbaik, pada saat itu, adalah Franz Magnis-Suseno yang mengajar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara.

Setelah berbicara dengan keluarga, saya memutuskan untuk belajar filsafat secara total. Di STF Driyarkara, saya berulang kali mengalami “ejakulasi intelektual”. Saya begitu banyak mendapat pencerahan dari para pengajar yang amat brilian, kritis dan rendah hati (F. Budi Hardiman, Karlina Supelli, Mudji Sutrisno, B. Herry Priyono, Franz Magnis-Suseno). Saya tidak hanya mendalami pemikiran Marx, tetapi juga para pendahulu (Kant, Hegel) sekaligus para penerus Marx (Lukacs, Gramsci, Habermas, Adorno).

Saya percaya, perkawinan antara teori dan laku politik akan mendorong perubahan sosial di dalam kehidupan. Namun, dalam perjalanan, saya selalu merasa kurang. Ada kehampaan batin yang terus datang di tengah pergulatan teoritis dan laku politik. Ini semua bermuara pada depresi amat berat yang saya alami, ketika sedang belajar di Jerman.

Di hadapan derita batin yang amat kuat, semua teori runtuh. Bahkan, hiburan-hiburan batin filosofis ala filsafat Stoa, Arthur Schopenhauer, Friedrich Nietzsche dan Martin Heidegger tidak juga membantu. Saya mengalami pembalikan yang tak terduga, baik di tingkat pemikiran dan terutama di tingkat spiritual. Saya menemukan Zen di Jerman.

Kebetulan, pada 2014 lalu, Kota Muenchen, Jerman sedang mengalami jatuh cinta dengan Buddhisme. Begitu banyak tempat dan komunitas meditasi. Kebetulan juga, salah satu profesor fisika di tempat saya belajar adalah seorang master Zen dari tradisi Rinzai Zen Jepang (namanya Stefan Bauberger). Saya langsung menghubungi dia, dan belajar darinya.

Jika ada yang tanya, dimana saya belajar Zen, saya langsung menjawab: Jerman. Itu tentu jawaban aneh. Jerman adalah rumah bagi teknologi dan filsafat (terutama pemikiran Marxis, Fenomenologi, Idealisme Jerman dan sebagainya). Lalu, mengapa ada Zen disana? Hidup memang lucu terkadang.

Cinta Pertama Saya: Marxisme

Pada Januari 2019 ini, saya mengikuti seminar dua hari tentang Marx di Goethe Institut, Jakarta. Saya berjumpa dengan Daniel Loick, seorang pemikir kiri sejati, amat cerdas, dan sangat rendah hati, yang memberikan materi tentang Marx (terima kasih banyak Goethe Institut Jakarta). Dua hari berdiskusi dengannya, saya teringat cinta pertama saya, yakni Marxisme. Rasa kangen pun muncul di dada.

Marx, bagi saya, adalah seorang ilmuwan revolusioner dengan jiwa romantis. Ia memimpikan dunia yang terdiri dari orang-orang yang bebas, setara dan bersahabat satu sama lain. Ini mirip dengan cita-cita Revolusi Prancis, yakni kebebasan, kesetaraan dan persaudaraan. Marx memimpikan dunia tanpa penindasan, tanpa kemiskinan.

Bagi Marx, akar kemiskinan adalah kehadiran sistem ekonomi kapitalisme yang akhirnya mempengaruhi politik dan budaya masyarakat Eropa pada masa itu. Kapitalisme memisahkan masyarakat ke dalam dua kelas yang saling bertentangan, yakni kelas pemilik modal (borjuasi) dan kelas pekerja (proletariat). Di permukaan, kedua kelas ini saling membutuhkan. Di kedalaman, kedua kelas ini saling bermusuhan, dan, dalam jangka panjang, akan saling meniadakan.

Cita-cita terdalam Marx adalah masyarakat tanpa kelas. Ini akan terjadi, setelah kelas pekerja bersatu, dan menghancurkan kelas pemilik modal melalui revolusi. Alat-alat produksi pun dikuasai bersama, dan tidak lagi dimiliki secara pribadi oleh para pemilik modal. Bagi Marx, ini akan merupakan kepastian sejarah, karena pertentangan kepentingan yang begitu dalam antara kelas pekerja dan kelas pemilik modal.

Para pemikir Neo-Marxis banyak melakukan penambahan ataupun pengurangan terhadap pemikiran Marx. Saya tidak akan membahas itu disini. Ada dua hal penting yang kiranya bisa kita ambil dari Marx.

Yang pertama adalah semangat melakukan perubahan sosial untuk mewujudkan dunia yang lebih adil, daripada yang kita tempati sekarang ini. Yang kedua adalah bahasa dan konsep yang tetap bisa digunakan untuk memahami ketidakadilan yang terjadi(konsep alienasi, teori nilai lebih, basis-bangunan atas), baik di masa lalu, masa kini maupun masa depan. Di abad 21 yang semakin kompleks ini, pemikiran Marx, dan Neo-Marxis, tetap hidup, dan justru semakin relevan.

Sebelum Revolusi: Zen

Pemikiran Marx memang amat revolusioner. Marx sendiri memang bermaksud untuk merumuskan dasar teoritis yang kokoh bagi laku revolusi yang mengubah seluruh sistem kapitalisme sampai ke dasarnya. Namun, dibandingkan dengan jalan Zen, revolusi Marx masih kurang radikal. Sampai saat ini, saya merasa, jalan Zen adalah jalan paling radikal dan paling revolusioner yang pernah ada.

Ada tiga hal yang menjadi alasan saya. Pertama, revolusi Zen adalah revolusi pemahaman tentang diri sendiri. Ini seperti membalikan semua pemahaman yang telah ada sebelumnya. Ketika orang menekuni jalan Zen secara tekun, perubahan terasa di berbagai unsur kehidupan, baik itu pikiran, hubungan dengan orang lain, cara bertindak, cara merasa bahkan sampai struktur biologis tubuh.

Dua, revolusi Zen akan mengusir segala bentuk penderitaan borjuasi. Penderitaan borjuasi muncul, karena orang terpaku pada kepentingan dirinya semata. Ia rakus, dan mau supaya dunia bekerja sesuai dengan kehendaknya. Penderitaan borjuasi adalah penderitaan sempit yang konyol dan memalukan. Ia dengan mudah bisa dilihat dari lahirnya generasi galau yang kesulitan hidupnya hanya soal patah hati, ataupun tak bisa membeli ponsel canggih keluaran terbaru.

Tiga, jalan tertinggi Zen adalah jalan Bodhisattva. Ini adalah jalan orang yang sudah memahami jati diri asalinya, dan kemudian hidup untuk kepentingan semua mahluk. Jalan ini jauh lebih radikal dari jalan revolusioner Marxis. Kepentingan diri, yang diselubungi kepentingan kelas pekerja, masih amat kuat di Marx. Pemikirannya juga masih hanya melihat manusia sebagai pusat alam semesta, dan mengabaikan bentuk-bentuk kehidupan lainnya.

Seorang Marxis-Zennist

Pada titik terdalam, jalan Marx dan jalan Zen adalah satu dan sama. Marx ingin mewujudkan dunia tanpa penindasan. Zen ingin mewujudkan dunia tanpa penderitaan. Jika disatukan, keduanya akan menjadi kekuatan perubahan yang amat besar.

Revolusi sosial politik, tanpa revolusi batin, akan bermuara pada tirani baru yang tak kalah mengerikannya. Sejarah sudah mengajarkan kita tentang hal ini. Uni Soviet mungkin adalah contoh paling baik. Sebuah sistem politik yang didirikan dengan ide luhur, namun dipelintir menjadi salah satu tiran politik paling mengerikan di dalam sejarah. Tidak ada Marxisme di dalam Uni Soviet. Itu yang harus dipahami.

Dengan revolusi batin di jalan Zen, kejernihan dan kebijaksanaan akan tumbuh secara alami. Revolusi sosial politik amat membutuhkan kejernihan dan kebijaksanaan semacam itu. Korban jiwa dan harta benda bisa sejauh mungkin dihindari. Sistem politik yang tercipta kemudian pun lalu didasari oleh kejernihan, dan bukan lagi oleh ambisi kekuasaan, seperti yang banyak terjadi sebelumnya.

Seminar bersama Daniel Loick di Goethe Institut Jakarta kemarin amat menyegarkan batin dan pikiran saya. Terima kasih atas semua pihak yang terlibat. Saya dikembalikan pada cinta pertama saya, namun dengan kaca mata baru yang lebih luas. Saya semakin revolusioner, sekaligus semakin jernih. Penderitaan tak hilang. Namun, penderitaan kini menjadi bermakna, karena memiliki kerangka yang lebih luhur dan luas,…. yakni kerangka Marxis-Zen.

 

 

 

 

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

28 tanggapan untuk “Pengakuan Seorang Marxis-Zennist”

  1. Paham Marxisme mengajak kita untuk berpikir ke arah makna nilai-nilai sosial yang tinggi. Ia menyusun sebuah teori besar yang berkaitan dengan sistem ekonomi, sistem sosial, dan sistem politik. Juga mencakup materialisme dialektis dan materialisme historis serta penerapannya pada kehidupan sosial. Secara pribadi saya sangat terinspirasi karya Marx.

    Suka

  2. Ini tulisan yang saya tunggu. Saya sempat membaca buku zen yang di tulis Pak Reza ‘dengarkanlah’. Saya juga sudah membaca beberapa buku Marx. Saya jadi penasaran dengan tulisan dan analisa dari Pak Reza tentang Keterkaitan Marx dan Zen. Tulisan ini sangat mencerahkan.

    Suka

  3. sangat menarik thema marxis-zenist. saya belum pernah menjamah pemikiran karl marx, hanya sedikit tahu, sebagai pemikiran utopia.
    kenyataan runtuhnya system negara2 dgn pemikiran tsb sdh berlangsung, dengan effekt yg tak terkendali, termasuk “tembok pemisah di kepala” yg tidak bisa dihilangkan.
    produktifitet di system marx yg menuju jalan buntu.
    belum lagi system marx yg membimbing rakyat, kearah pemikiran “tergantung dari pemerintah”. dalam hal ini “kontra zen”, yg mengarahkan “nalar sehat hati nurani”.
    disini benar2 teralami “zen geist”, “das nicht wissen”, wir lassen die dinge, so wie sie sind.
    sehr interessant “stefan bauberger”, den namen habe ich schon mal als ein geheimtipp gehört. er war ehem. schüler von ama sami, auch ein begriff, einige zen gefährten u.a. zenlehrer waren schüler von ama sami (dietfurt). ich habe direkt gegoogelt. du hast dort die erste zen-berührung gemacht ??
    die lage ist sehr idyllisch. vielleicht verirre ich mich dort eines tages. mit öffentlichem verkehrsmittel ist der weg dort hin machbar.
    so wie du siehst, marxismus no go aber nordwaldzendo sehr verführerisch !!
    salam hangat !!

    Suka

  4. der unterschied zwischen kapitalismus und marxismus ist die unterdrückung zwischen den menschen.
    während im kapitalismus der mensch von mitmenschen unterdrückt wird, ist im marxismus umgekehrt.
    bitte verstehe mich recht, nur ein alter witz !!

    Suka

  5. biskah saya juga merasa jath cinta yg indah seperti itu, huhu terimakasih atas penemuan marxis-zennistnya tuan

    Suka

  6. Marx ist sehr romantisch im seinen Herz, insbesondere wenn er jung war. Sehr empfehlenswert zu lesen eigentlich. Aber du hast Recht. Zen ist tiefer und radikaler im Vergleich zu Marxismus und Marx-Theorie. Stefan in München ist am meisten ruhig. Zen ist natürlich wortlos. Der Fokus ist die unmittelbare Erfahrung mit der Wirklichkeit, damit wir in diesem Moment aufwachen können. Aber viel Erfolg und alles Gute.

    Suka

  7. hahahah… Kapitalismus und Marxismus sind beide ok, solange wir unser wahres Selbst verstanden haben. Dieses wahres Selbst bietet eine Bodhisattva-Orientierung und Klarheit, die sehr sehr wichtig für das Leben sind.

    Suka

  8. Pembahasan singkat antara marxisme dan zen membuat saya ingin cari tahu lebih bayak. Sangat menarik bila mengikuti pola analisa Pak Reza. Terima kasih telah menuliskan pandangan bapak. Tabik.

    Suka

  9. Sekedar sharing pengalaman pribadi saja

    Dulu saya sempat merasa depresi sekali karena “patah hati”. Pada waktu itu saya jatuh cinta pada perempuan yg berbeda agama dengan saya. Dimana setelah PDKT 3 tahun, akhirnya saya memberanikan diri untuk “nembak”. Sayangnya, saya ditolak lantaran dia mau mencari suami yang seiman sedangkan kita berbeda keyakinan.

    Waktu saya betul-betul depresi sekali, stress karena setelah menghabiskan waktu dan pikiran untuk mendekati si “doi” ujung-ujungnya harus berpisah. Saya bahkan mengalami gangguan tidur dan kehilangan nafsu makan. Kerja dan kuliah menjadi tidak fokus, dunia tiba-tiba terasa hampa.

    Untungnya saya tidak sengaja menemukan artikel karangan mas Reza berjudul Zen dan patah hati (kalau saya tidak salah ingat). Setelah memahami tulisan tersebut saya menjadi sadar bahwa memang “tidak ada yg kekal” di dunia ini, semuanya pasti akan berubah. Kita kecewa karena kita selalu menganggap “kenyataan” akan selalu sesuai apa yg kita inginkan. Padahal dunia “berjalan” sesuai hukum karma masing-masing. Berhenti lah “mengendalikan dunia” biarlah ia berjalan sebagaimana mestinya.

    Setelah membaca artikel mas Reza, saya mencoba mendalami meditasi ala Zen. Untungnya, setelah mencoba beberapa kali, “beban” saya terasa hilang. Setelah mencoba meditasi, “kehidupan” saya terasa seperti kembali seperti semula. Saya tidak, mengalami gangguan tidur lagi dan nafsu makan pun kembali normal.

    Terima kasih mas Reza atas tulisan nya yg inspiratif
    Jika ada “typo” atau kesalahan kata-kata saya minta maaf
    #sekedar berbagi pengalaman pribadi
    Charvin

    Suka

  10. Zen mengajarkan saya bahwa emosi bukan untuk “dikendalikan” tapi untuk disadari dan dipahami. Saya mulai mengenal zen semenjak depresi gara-gara patah hati. Berkat meditasi lah aku menyadari bahwa selama ini ada beberapa “pandangan hidup” saya yang “keliru”.

    Saya menjadi penasaran, kira-kira “masalah hidup” apa yg pernah menimpa mas Reza sampai mengenal dan kemudian “mencintai” zen. Apakah mas Reza bersedia sharing “pengalaman pribadinya” disini?

    Charvin

    Suka

  11. Menurut saya, jalan Zen lebih seiring sejalan dengan jalan para Anarkis. Cuma satu yang mungkin tidak sejalan, memahami Zen memerlukan bimbingan guru/master, Anarkis No God(s) No Master(s), hehehe…

    Suka

  12. fukuyama meramalkan masa depan dunia yang berakhir dengan kapitalisme, serta demokrasi liberal, tetapi markist mengembalikan kita ke dalam kerinduan tentang keadilan itu sendiri, di saaat memang globalisasi memainkan perananya yang membuat jurang ketimpangan semakin lebar, mensistensiskan zen-markist adalah sebuah konsep berilian yang anda tawarkan, dan saya sangat setuju jika ide ini terus di kembangkan di dalam ranah yang lebih luas, karena saya sangat yakini zen-markist adalah salah satu isi kandungan dalam sila k-2 di dalam pancasila kita, ”kemanusiaan yang adil dan beradab”.

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.