Tarian Kematian

Daniel Johnson

Oleh Reza A.A Wattimena

Hidup ini memang seperti menari. Kita bergerak, sering tanpa pola, tanpa arah. Namun, intinya, kita terus bergerak. Kita bekerja. Kita menjalin hubungan dengan orang lain. Kita bahagia, dan kita pun menderita.

Namun, menyimak keadaan dunia di akhir 2018 ini, tarian kita seolah berubah menjadi tarian kematian. Kita menari bukan untuk merayakan kehidupan, melainkan untuk merusak dan menebarkan petaka. Di berbagai bidang kehidupan, kita bergerak, tidak ke arah kebaikan bersama (common good), melainkan ke arah kehancuran bersama (common destruction). Di banyak bidang kehidupan, kehancuran terjadi secara perlahan, namun pasti.

Tarian Kematian

Di tata politik global, seluruh dunia menari menuju kematian dengan bermain senjata nuklir. Berbagai negara mengembangkan senjata nuklir, supaya bisa memperoleh pengaruh besar di politik internasional, menekan pihak lain, dan meraih kepentingannya secara licik. Di tingkat global, kita juga menari menuju kematian dengan perubahan iklim yang merusak alam dan berbagai unsur kehidupan lainnya. Sampai detik tulisan ini dibuat, tidak ada upaya nyata untuk sungguh menanggapi masalah perubahan iklim dan penggunaan senjata nuklir, maupun pemusnah massal lainnya, secara tepat.

Di politik nasional Indonesia, tarian kematian juga terus dilakukan. Kita bermain mata dengan radikalisme agama yang mengancam keutuhan bangsa kita. Kita juga menari menuju kematian dengan merayakan politik uang di berbagai tingkat pemerintahan. Dalam soal politik, nilai-nilai keluhuran dan kebaikan bersama, yang menopang peradaban manusia, tampak menjadi barang langka.

Di kehidupan pribadi, tarian kematian pun terus kita lakukan, seringkali tanpa sadar. Kita mengulang hal-hal yang menyakitkan kita di dalam pikiran, sehingga menimbulkan derita dan trauma yang tak perlu. Kita melakukan hal-hal yang merusak, seperti merokok dan tidak berolahraga, sehingga hidup kita tak lagi seimbang. Tarian kematian ini, jika dibiarkan terus menerus, justru akan menciptakan kematian yang sesungguhnya.

Hidup dengan Kesadaran

Ini semua terjadi, karena kita hidup tanpa kesadaran. Kita hidup dalam kompulsivitas. Artinya, kita melakukan sesuatu, tanpa pertimbangan matang dan sadar terlebih dahulu. Tanpa kesadaran, kita akan terus menari menuju kematian dengan semua keputusan yang kita buat. Hidup yang kompulsif adalah hidup yang dijajah oleh kebiasaan diri sendiri, dan membawa beragam bentuk penderitaan yang sia-sia.

Di tingkat politik global, misalnya, banyak kebijakan buat, tanpa kesadaran penuh. Kebijakan ekonomi dibuat dengan kompulsif, yakni sekedar mengikuti kebiasaan dan tergesa-gesa, sehingga kesenjangan ekonomi global justru semakin besar dewasa ini. Kebijakan politik juga dibuat tanpa kesadaran penuh, sehingga justru menciptakan banyak perang dan perpecahan. Keadaan di Timur Tengah dan Afrika Utara adalah contoh nyata dari hal ini.

Di dalam politik nasional, beragam contoh tampil amat jelas. Orang berpolitik secara kompulsif, sehingga jatuh ke dalam nafsu kekuasaan dan kesombongan. Tak heran, banyak politisi tampil dengan kerakusan dan sifat tak tahu diri dewasa ini. Orang juga beragama secara kompulsif, sehingga mudah sekali jatuh ke dalam radikalisme yang mengundang konflik, diskriminasi dan memecah belah bangsa.

Hal serupa terjadi berulang di dalam hidup pribadi. Kita berpikir dan merasa secara kompulsif, sehingga terus mengulang kenangan-kenangan menyakitkan yang sudah terjadi. Inilah sumber dari segala penderitaan batin dan penyakit kejiwaan. Tak heran di abad 21 ini, dengan segala temuan teknologi dan perkembangan ilmu pengetahuan, tingkat depresi dan bunuh diri bahkan terus meningkat secara global.

Jalan keluar dari ini hanya satu. Kita harus keluar dari hidup yang kompulsif, yakni hidup yang dijajah oleh kebiasaan-kebiasaan tak sadar, menuju hidup yang sadar. Hidup sadar berarti hidup dengan pertimbangan matang dari saat ke saat. Hanya dengan begini, kita bisa terus menari di dalam kehidupan ini. Di titik ini, kita menari untuk merayakan kehidupan, dan bukan untuk mendekati kematian.

Jadi, tunggu apa lagi?

 

 

 

 

 

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

12 tanggapan untuk “Tarian Kematian”

  1. begitulah kehidupan sehari2, dengan perkembangan tehnik yg begitu cepat,roda hiduppun berjalan lebih cepat, sulit untuk di kontrol.
    “pertimbangkan kematangan dari saat ke saat”(???), sangat baik untuk
    menghindari “kerusakan” (yg lebih
    besar), hanya menurut pengalaman saya , umumnya, apa yg kita pertimbangkan,pikirkan matang2 jalannya sangat berlainan dgn rencana. dalam hal ini sangat baik untuk kematangan spiritual, kita memikir matang2 tetapi kita sama sekali tidak memegang erat rencana dan pertimbangan kita, sebab apa yg kita pertimbangkan, hanyalah bayangan dan konsept kita.
    setelah kita menyadari , bahwa kenyataan lain dp pertimbangan kita, kita bertindak flexibel dg apa adanya, achir nya kita lihat apa yg terjadi, kematangan kita maju setapak. umumnya achlak menganggap fenomena ini sebagai “muzizat”(????). kenyaatan spt tersebut diatas memacu kita utk lebih mudah melepaskan konzept dan semua pertimbangan disaat kita sadar, bahwa kenyataan lain dp bayangan kita.
    begitulah yg saya alami sehari2, kita jalankan apa adanya dgn senyum dan penuh hati.
    makna pergantian tahun, natal, hut,karneval luntur, kita menikmati jalan hidup dgn kepenuhan dan memulai semua nya dari saat kesaat.
    kita merayakan semua hari raya setiap hari, setiap saat.
    saya yakin, rekan2 tersenyum, menganggap saya miring.
    saya pun tersenyum sbb itu hidup saya , semua nya begitu mudah sederhana.
    tidak ada uraian dangkal, cari kuota dsb dsb, cukup duduk tenang minum kopi sejenak , kalau mungkin bertukar pikiran dengan siapapun juga.
    bukannya kita berkaitan satu sama lain ??? kalau kita berpikiran jahat, menipu, merugikan dsb dsb orang lain, kitapun merugikan diri sendiri.
    hanyalah umumnya tidak disadari, dan bahkan dianggap “pemikiran miring”.
    kita lanjutkan senyum dan menikmati hidup dgn apa adanya!!
    salam hangat untuk semua peminat forum ini, siapa tahu kita bisa disini bertukar pikiran, tanpa kopi ??

    Suka

  2. wah, saya sebagai salah satu perokok tersinggung nih. Hehehe,.
    Mau tanya, kenapa metafora menari dipakai oleh Kak Reza. Kalao boleh tau ada latar belakang atau terinspirasi darimana? Terima kasih

    Suka

  3. Saya heran juga, kenapa hidup yg sederhana ini dibuat kompleks sehingga banyak yg bergelut dengan tarian kematian.., seperti vampir yg kian menjalar mempengaruhi siapa saja yg ditemuinya..

    Suka

  4. Menurut sya hedonisme adalah godaan terbesar manusia yg membuat mnusia sulit tersadarkan..kurangnya teladan dimasyarakat pun membuat kesadaran menjadi kabur dikarenakan pendidikan dimana-mana tujuannya bukan penyadaran tpi segalanya bertujuan serba materialis

    Suka

  5. Hedonisme adalah hidup yang kompulsif, yakni selalu secara buta mencari kenikmatan dalam bentuk apapun, tanpa pertimbangan tentang hal-hal lainnya. Pendidikan memang memainkan peranan penting dalam hal ini, terutama ketika guru-guru pun hidup dalam kompulsi yang sama.

    Suka

  6. “jadi, tunggu apa lagi ” intrepretasi saya seperti nya hari ulang tahun, natal, karneval, hari tahun baru dll yg di raya kan setiap saat.
    kita mengalami kematian dan kebangkitan setiap saat.
    salam hangat !

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.