“Tuhan”

Justin Peters

Oleh Reza A.A Wattimena

Sudah lama, saya menghindari berbicara tentang konsep tuhan. Terlalu banyak konsep ini dibicarakan di berbagai tempat. Seringkali, tuhan dibicarakan dengan penuh sikap sok tahu. Semakin tidak tahu, orang justru semakin percaya diri, dan semakin sok tahu.

Dalam sejarah, konsep tuhan memang banyak mengundang kontroversi. Berbagai agama mencoba memahami dan menjelaskannya. Beragam tafsiran muncul. Di dalam proses, pengaruh politik kekuasaan pun semakin terasa, ketika orang berbicara tentang tuhan.

Antara Cinta dan Benci

Di satu sisi, konsep tuhan mendorong orang untuk mencintai. Tuhan menjadi teladan sekaligus lambang untuk cinta sejati yang tanpa pamrih. Tuhan menjadi lambang kebaikan. Orang percaya tuhan juga berarti siap untuk hidup dalam kebaikan setiap saatnya.

Di sisi lain, konsep tuhan juga mendorong orang untuk membenci. Perang dan penindasan dilakukan atas nama tuhan. Diskriminasi dilakukan atas nama melaksanakan perintah tuhan. Bahkan, politik kekuasaan yang penuh kemunafikan dan kebusukan juga menggunakan konsep tuhan sebagai pembenaran.

Memang, tuhan tak akan pernah bisa sepenuhnya dipahami dengan akal manusia. Ia terlalu besar untuk ditangkap dengan konsep. Ia terlalu luas untuk dipenjara dalam kata. Upaya untuk memahaminya dengan pikiran akan berujung pada kebingungan.

Namun, tuhan bisa dialami. Melalui laku spiritual yang tepat, manusia bisa melebur dengannya. Asalkan, ia berani melepaskan semua tradisi dan pikiran yang melekat pada dirinya. Selama orang terjebak pada tradisi dan pikiran, ia tak akan pernah mengalami tuhan. Walaupun begitu, ini semua tak menghalangi manusia, dari berbagai latar belakang, untuk berupaya mendekati tuhan.

Upaya Mendekati Tuhan

Ada orang yang memahami tuhan sebagai tuhan kosmik. Tuhan inilah yang menjadi perancang segala yang ada di alam semesta. Ia adalah awal dan akhir dari segalanya. Ia berada sebelum tradisi, dan akan hidup terus, ketika semua tradisi manusia berakhir.

Ada yang memahami tuhan sebagai tuhan pribadi. Tuhan semacam ini ikut campur dalam hidup manusia. Jika manusia berdoa padanya, tuhan ini akan membantunya dalam menjalani hidup. Jika tidak, tuhan semacam ini bisa memberikan hukuman.

Para ilmuwan modern melihat tuhan yang penuh misteri dan mengagumkan. Masih banyak hal di alam semesta ini yang diluar jangkauan manusia. Masih banyak pertanyaan yang belum terjawab. Di sini, tuhan adalah mahluk yang menakjubkan sekaligus penuh dengan teka teki, yang merangsang pencarian manusia akan makna hidup, sekaligus makna alam semesta yang maha luas ini.

Orang-orang terbelakang dan radikal melihat tuhan sebagai pemberi hukum mutlak. Mereka merasa mampu mengenal tuhan, termasuk apa yang tuhan benci dan suka. Tuhan pun lalu mengatur cara manusia berpakaian, sampai selera seksual manusia. Pemahaman tentang tuhan semacam inilah yang menciptakan banyak konflik dalam hidup manusia.

Tetap “Tidak Tahu”

Pada akhirnya, kita tetap sungguh “tidak tahu”, ketika berbicara tentang tuhan. “Tidak tahu” adalah sebuah sikap terbuka. Orang tak mengira-ngira, apa yang menjadi perintah sekaligus keinginan tuhan. Tentang moralitas, empati dan akal sehat jauh lebih penting, daripada konsep tuhan.

Jalan paling tepat untuk menemukan tuhan bukanlah keluar diri, seperti ke bangunan atau tempat suci, melainkan ke dalam diri. Ada kesadaran murni yang berada sebelum semua bentuk pengetahuan dan pengalaman manusia. Ia sekedar menyadari, tanpa menciptakan bentuk-bentuk pikiran ataupun emosi. Kesadaran murni ini berisi kedamaian dan kejernihan. Ia mendekati sifat-sifat ketuhanan.

Menjadi „tidak tahu“ berarti melepaskan tuhan dari tradisi. Yang sering terjadi, tradisi justru membuat manusia jauh dari tuhan. Manusia lebih fokus pada aturan-aturan dangkal yang memenjara jiwa dan ketinggalan jaman, daripada soal kedekatan dirinya dengan tuhan. Memang, sudah waktunya tuhan dibebaskan dari penjara-penjara yang dibuat manusia.

 

 

 

 

 

 

 

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

24 tanggapan untuk ““Tuhan””

  1. Berbica tntg Tuhan memng tiada habis nya, bagaimana menurut abg penulis bedanya konsep ke Tuhan an para kaum filosof, teolog, sufi. Karna dalam kasus “menanggapi” tuhan tiap tiap golongan hampir berbeda mengenai kasus itu. Misal nya kaum teolog, mengatakan bahwa Tuhan bisa di kenal dgn asmaulhusna, ttpi kaum sufi malh menyarankan konsep tajalli, dst. 🙏

    Suka

  2. Tapi, saya rasa tuhan pun tak perlu dibebaskan, bukankah tuhan adalah kebebasan dan sumber kebebasan itu sendiri? sepertinya, kapanpun tuhan tak pernah bisa di penjara, Bung Reza 🙂

    Suka

  3. Tulisan diatas serasa seperti hanya ingin memenuhi kuota posting, maaf, dengan bahasa yang sederhana, agak dangkal, subjektif dan kasuistik. Mungkin butuh telaah dan observasi secara lebih tajam. Pernyataan paling absurdnya adalah ketika “Tuhan disebut sebagai makhluk yang menakjubkan”. Padahal, anak SMU saja faham, bahwa kata TUHAN dipakai sebagai antitesa dari MAKHLUK.

    Suka

  4. Hallo bang Reza, saya orang di bog ini,, topik ini menarik untuk ku,, jujur saya orang cukup fanatik dalam keyakinan akan Tuhan,,, tetapi kefanatikan saya juga tidak bisa saya pertanggungjawabkan kalau di tanya secara keritis mengenai yang saya yakini,, untuk itu saya mau tanya beberapa hal di sini
    Apakah kata Tuhan itu?
    Bagaimana sejarahnya kata itu?
    Apakah memmang benar ada sesutu yang di tunjuk oleh kata itu??

    Mohon jawabnnya bang.

    Suka

  5. Hallo bang reza,, saya orang baru di blog ini,, dan senang rasanya bisa mengikuti anda di sini,, berbagai macam orang menguraikan tentang Tuhan,, tapi mereka lupa memberitahu kita apa sebenarnya kata Tuhan itu,,, apakah memang ada sesuatu yang di tunjuk oleh kata itu,, bagaimana sejarah kata itu… hingga hari ini saya belum di berikan jawabn atas pertanyaan2 itu,, dan ketika saya mengikuti anda di blog ini beberapa hari yang lalu saya berharap saya menemuman jawaban sejauh yang dapat di terima oleh akal saya atas pertanyaan itu,, jujur ini penting sekali bagi saya karena bagi saya menemukan jawaban dari pertanyaan itu adalah fondasi yg kuat bagi landasan keyakinan saya akan Tuhan… saya mohon jawaban anda atas pertanyaan itu. Terimaksih

    Suka

  6. Konsep Tuhan sebenarnya cukup sederhana, jika kita tidak saling klaim kebenaran konsep kita.
    Tuhan adalah sumber kebenaran dan kebaikan (tidak ada sedikitpun peluang adanya keburukan dan kebatilan). Yang jadi masalah adalah konsep kebenaran dan kebaikan manusia yang berbeda-beda.
    Atas masalah ini Tuhan memberi kita informasi bahwa Dia adalah sesuai persepsi (kebaikan dan kebenaran) kita tentang Dia. Jadi dipastikan Tuhan bagi setiap orang akan berbeda. Ketika kita tidak memaksakan konsep dan pemahaman kita atas Tuhan maka selesai sudah. Karena Tuhan akan menerima persepsi siapapun dan apapun atas-Nya. Yang diuji Tuhan hanyalah konsistensi kita atas persepsi kita tersebut. Uji konsistensi ini akan memastikan apakah persepsi kita muncul dari kejujuran kita ataukah hasil manipulasi syahwat kita.
    Tentunya ketika kita sudah memiliki konsep kita atas Tuhan maka konsep itu hanya berlaku pada diri kita, tidak berlaku bagi orang lain. Dan perbedaan konsep inipun berlaku bagi individu-individu dalam agama yang sama.

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.