Berdamai dengan Diri Sendiri

Etsy

Oleh Reza A.A Wattimena

Kita hidup di era teknologi canggih. Komunikasi, transportasi dan hidup sehari-hari menjadi begitu mudah dan murah. Bahkan, manusia kini mulai mencari jalan untuk menciptakan kehidupan dengan teknologi yang ada. Tak berlebihan jika dikatakan, dengan teknologi dan ilmu pengetahuan yang ada, manusia kini menjadi „tuhan“ atas bumi.

Sayangnya, semua kemajuan itu tidak sejalan dengan kemajuan kebahagiaan manusia. Dengan kata lain, manusia tidak lebih bahagia, walaupun hidup di dunia yang penuh dengan kemudahan. Sebaliknya, berbagai penelitian menunjukkan, tingkat depresi dan bunuh diri justru meningkat di abad 21 ini. Pertanyaannya, apa guna semua kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi ini, jika manusia justru semakin menderita?

Depresi dan Bunuh Diri

Beberapa data ini mungkin bisa memberikan gambaran. Menurut data yang dikumpulkan WHO, World Health Organization, saat ini, ada lebih dari 300 juta orang yang tercatat mengalami depresi di seluruh dunia. Gejala utama depresi adalah suasana hati yang turun naik secara ektrem dalam jangka waktu lebih dari dua bulan, sehingga menganggu hidup sehari-hari. Pada bentuknya yang paling parah, depresi mendorong orang untuk bunuh diri.

Walaupun ada terapi untuk depresi, tapi orang seringkali tak menyadari, bahwa mereka menderita depresi. Walaupun sadar, hanya sedikit yang berusaha mencari pengobatan. Ini membuat depresi menjadi semacam pembunuh senyap (silent killer). Ia tak terdengar, namun membunuh banyak orang, serta membuat penderitaan yang amat besar bagi orang yang mengalaminya.

Bunuh diri pun juga meningkat secara global di awal abad 21 ini. Menurut data WHO, ada kurang lebih satu juta orang yang meninggal karena bunuh diri setiap tahunnya. Artinya, setiap empat puluh detik, ada 40 orang yang melakukan bunuh diri di seluruh dunia. Gejala ini belum menunjukkan penurunan sama sekali.

Selama 45 tahun terakhir, tingkat bunuh diri sudah meningkat 60 persen di seluruh dunia. Bahkan, bunuh diri kini menjadi salah satu satu tiga penyebab utama kematian dari orang-orang yang berumur 15 sampai 44 tahun. Lebih dari 90 persen para pelaku bunuh diri disebabkan oleh depresi berkepanjangan. Yang lebih menyedihkan, banyak orang berusia muda kini melakukan bunuh diri, dan percobaan bunuh diri.

Konflik dengan Diri Sendiri

Akar dari penderitaan adalah konflik dengan diri sendiri. Orang tak menemukan kedamaian. Walaupun, ia dikelilingi berbagai kenikmatan yang bisa diberikan oleh teknologi dan ilmu pengetahuan. Ia terus menolak dan bermusuhan dengan emosi dan pikiran yang muncul, terutama yang menyakitkan. Padahal, semakin kita membenci emosi dan pikiran yang menyakitkan, maka penderitaan yang kita rasakan justru menjadi semakin besar.

Konflik dengan diri sendiri dapat dipahami dalam tiga hal. Pertama, orang tak memahami hakekat dari pikiran dan emosi yang ia miliki. Ia mengira, bahwa pikiran dan emosi adalah sesuatu yang nyata dan benar. Akibatnya, ia mencengkram semua pikiran dan emosi yang datang, lalu hanyut di dalamnya.

Dua, karena orang tak paham akan emosi dan pikiran yang ia punya, ia pun tak mampu mengelolanya dengan tepat. Ketika marah dan sedih, ia akan sangat menderita. Ketika bersuka dan berbahagia, kecemasan pun membayangi, karena ia sadar, ini pun hanya sementara. Ketika orang tak mampu mengelola emosi dan pikiran yang ia punya, konflik dengan orang lain pun tak terhindarkan.

Tiga, semua ini menggiring orang untuk hanyut pada emosi dan pikiran, tanpa henti. Hidup semacam ini melelahkan, bagaikan naik kereta naik turun setiap saat. Inilah persis yang menjadi jantung hati dari depresi dan dorongan untuk bunuh diri. Kenikmatan apapun tidak akan bisa memberikan jalan keluar, selain hanya pengalihan yang bersifat sementara, namun membawa derita lebih besar di saat berikutnya.

Berdamai dengan Diri Sendiri

Jalan keluar dari semua ini sebenarnya sederhana, yakni berdamai dengan diri sendiri. Di dalam diri kita, ada beragam emosi dan pikiran yang menumpuk. Memang, sejatinya, mereka semua kosong, karena hanya berupa bayangan-bayangan sementara. Namun, kerap kali, kita lupa hal ini. Kita mengira, itu semua adalah nyata, lalu menggenggamnya erat-erat.

Ada tiga hal yang perlu diperhatikan disini. Pertama, apapun bentuk emosi dan pikiran yang muncul, cukuplah diamati dan disadari. Semakin kuat dan menyakitkan emosi dan pikiran yang datang, semakin itu merupakan kesempatan yang baik untuk semakin mengamati dan menyadari. Dengan cara ini, secara perlahan namun pasti, penderitaan yang muncul dari pikiran dan emosi akan lenyap.

Dua, tujuan dari proses ini adalah membangun hubungan yang baik dengan diri kita sendiri, termasuk emosi dan pikiran yang datang dan pergi. Artinya, kita belajar untuk mencintai keseluruhan diri kita sendiri. Dari proses ini lahirlah kejernihan dan kedamaian. Ketika kita bisa menjalin hubungan baik dengan diri sendiri, termasuk dengan semua emosi dan pikiran yang muncul, maka kita dengan mudah menjalin hubungan yang baik dengan orang dan mahluk lain.

Tiga, awalnya, proses ini terasa sulit. Namun, jika terus dilakukan, buahnya akan langsung terasa. Berbagai emosi dan pikiran muncul, namun itu semua cukup disadari dan diamati dengan penuh cinta. Kejernihan dan kedamaian yang dirindukan pun bisa mulai terasa.

Proses ini membawa kita untuk mengenali sisi terdalam dari diri kita yang sebenarnya. Sisi ini hanya punya satu rasa, yakni rasa cinta/damai yang begitu dalam. Dengan mengenali unsur terdalam diri kita ini, kita bisa memeluk apapun yang datang dan terjadi dengan penuh kedamaian. Dititik inilah kita sungguh berdamai dengan diri kita sendiri.

 

 

 

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

25 tanggapan untuk “Berdamai dengan Diri Sendiri”

  1. Apakah juga tanda depresi ya, ketika sering galau lantas jadi malas ngapa2in.. Efeknya kpd tak produktif krn kehilangan inspirasi kala menulis? Hmm

    Suka

  2. sepakat dengan tulisan diatas.
    dengan canggihnya technologi dizaman kini, manusia lebih tertekan, tanpa menyadari, bahwa mereka korban dari tindakan mereka sendiri.
    damai dgn diri sendiri, tidak lain , damai dgn alam semesta !
    mungkin bisa (sebagian) tercapai, kalau peminat tidak menyampingkan kehidupan spiritual.
    banya salam !

    n.b.: video baru di youtube : selbtverwirklichung, selbstbild, selbstfindung und fremdbild (???) ca.37 min.

    Suka

  3. Aku berpikir aku menderita maka aku benar-benar menderita.
    Aku berpikir aku bahagia maka aku benar-benar bahagia.
    Kendati demikian, ‘aku’ tidak pernah ada, dimana pula penderitaan dan kebahagiaan tersebut?
    Charvin

    Suka

  4. Saya teringat tentang etika Aristoteles tentang kebahagiaan dalam buku Romo Magnis Suseno. Di situ dikatakan bahwa Aristoteles sendiri menolak tentang adanya kenikmatan, kebahagiaan menurut Aristoteles tidaklah seperti pandangan Epikuros (hedonisme) melainkan kebahagiaan bagi Aristoteles adalah merealisasikan hidup yang bermakna dan Aristoteles menambahkan bahwa kebahagiaan bukan di mana manusia harus meniadakan rasa sakit dalam hidupnya melainkan, rasa sakit harus dan sudah sewajarnya kita rasakan untuk mencapai pada kebahagiaan. Tulisan yang membuat saya berefleksi kembali kepada Aristoteles. Keren bapak Reza, lanjutkan.. 😁😁

    Suka

  5. Saya jadi ingat sebuah buku yang sekarang lagi dibaca nih Pak, judulnya Filosofi Teras. Secara umum buku tersebut mendeskripsikan bagaimana salah satu aliran filsafat yaitu Stoicism dapat membantu kita untuk menjadi pribadi tangguh dengan Stoicism, supaya bisa mengendalikan emosi, katanya.. Cocok gak nih dengan pembahasan di tulisan ini?

    Suka

  6. Terima kasih. Sebagian besar filsafat Yunani memang banyak mengambil dari filsafat Asia, terutama India. Fakta sejarah ini banyak diabaikan, guna menjaga perasaan superior peradaban Eropa.

    Suka

  7. Filsafat Yunani adalah versi tiruan dari filsafat India. Setelah sadar ini, saya lalu lebih banyak tenggelam pada versi aslinya. Emosi bukan untuk dikendalikan, tetapi untuk diamati dan dipahami.

    Suka

  8. Karya mas Reza benar2 memberi inspirasi kala diri saya sendiri sedang mencari bagaimana hidup tanpa harus ‘merasa’ tertekan. Terima kasih mas Reza.

    L

    Suka

  9. Selamat Siang Om Reza
    saya ingin menanyakan apakah ketika saya merasa arah perjalanan hidup saya belum jelas atau saya seperti bergerak bersama arus kehidupan tanpa tau mau kemana saya berjalan itu adalah salah satu hal yang disebabkan karena saya tidak berdamai dengan diri saya sendiri?
    Terima kasih

    Suka

  10. itu sebab utamanya. Coba berdamai dengan semua emosi, pikiran maupun perasaan yang datang. Jangan ditolak. Pahami dan sadari mereka sepenuhnya. arah hidup anda akan secara alami menjadi jelas.

    Suka

  11. Mudahkah?
    Nyatanya belum juga ditemukan kedamaian itu. Sesak ini berlangsung amat sangat lama, sampai kapan kah ini bertemu akhir?
    Semua kekuatan terpusat pada titik pertahanan agar tak mengambil jalan pintas mengakhiri sempitnya ruang ini.

    Suka

  12. Kemajuan teknologi yg di gaungkan saat ini ternyata tak sejaln dengan gaungan kebahagian manusia. Manusia semakin bias mengobjekan sesamanya. Ujaran hoax, kebenbencian, bullyng dan sebagainya menjadi alasan bahwa kemajuan teknologi tak berpengaruh bagi kebahagian dn kedamaian manusia. Salam sehat, pa Rezza tulisan yg sangat kontekstual.

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.