Menyiasati Trauma dan Kebencian

Saatchi Art

Oleh Reza A.A Wattimena

Dylan Roof membunuh sembilan orang di sebuah gereja di South Carolina, Amerika Serikat. Alasannya adalah karena ia membenci orang-orang kulit hitam. Robert Bowers, menurut dugaan, membunuh sebelas orang Yahudi yang sedang berdoa di Pittsburg, karena ia membenci orang Yahudi. Cesar Sayoc juga diduga mengirim belasan bom ke kantor-kantor Partai Demokrat AS dan kantor berita CNN, karena ia juga membenci mereka.

Di Indonesia, kita pun tak luput dari serangan mematikan yang berpijak pada kebencian semacam ini. Kota-kota besar Indonesia sudah kenyang dengan tragedi pembunuhan massal berdarah. Pertanyaan yang mendesak untuk dijawab adalah, apa akar dari semua kebencian ini? Pemikiran Gabor Mate, sebagaimana diulas oleh Abraham Gutman, kiranya bisa membantu kita. (Gutman, 2018)

Gabor Mate adalah seorang dokter kelahiran Hongaria, namun dibesarkan di Kanada. Ia sudah lama bertekun untuk memahami akar dari kecanduan. Salah satu hasil penelitiannya adalah, bahwa kecanduan mendorong orang untuk menemukan pelepasan dalam berbagai bentuk, mulai dari heroin sampai dengan kebencian. Akar dari kecanduan, menurutnya, adalah upaya untuk menutupi trauma berat yang pernah dialami.

Kecanduan dan Kebencian

Apa itu kecanduan? Kecanduan adalah perilaku manusia yang tak bisa dihentikan secara sadar, karena ia memberikan kenikmatan, walaupun dengan dampak-dampak yang merusak. Seorang pecandu heroin menemukan kehangatan dan kenikmatan dari penderitaan yang ia alami, ketika ia menggunakan heroin. Seorang pecandu rokok menemukan kehangatan, ketika ia merokok, walaupun ia tahu, bahwa rokok itu merusak kesehatan.

Lalu, bagaimana hubungan antara kecanduan di satu sisi, dan kebencian di sisi lain? Mate menjawab, keduanya terhubungan melalui trauma. Tidak ada pembunuh massal yang tidak mengalami trauma berat di dalam hidupnya. Mereka menemukan pelepasan tidak melalui narkoba, melainkan dari kebencian yang mereka genggam erat-erat.

Kebencian yang dirasakan berakar begitu dalam, karena penderitaan yang mereka alami di masa-masa hidupnya. Kebencian itu lalu  diarahkan ke orang lain. Suasana masyarakat juga memberikan dukungan terhadap kebencian itu, ketika satu kelompok dijadikan kambing hitam untuk semua masalah yang ada. Ini seperti menuangkan bensin ke dalam api kebencian yang telah terbakar lama, karena trauma berat.

Bagaimana mengelola kebencian? Kebencian tidak bisa ditolak. Kita tidak bisa “membenci” kebencian itu sendiri. Paradoksnya adalah, semakin kebencian itu ditolak, semakin ia bertambah besar.

Kebencian dan Trauma

Orang membenci, karena ia sebelumnya dibenci. Orang menyakiti, karena ia telah disakiti sebelumnya. Akar dari kebencian adalah trauma. Dalam arti ini, trauma adalah jejak dari peristiwa masa lalu yang belum lenyap, sehingga membekas, dan mempengaruhi sikap orang di masa kini. Trauma akan kekerasan akan mendorong orang menjadi pelaku kekerasan.

Trauma juga mesti ditempatkan pada bingkai peristiwa yang lebih besar. Keadaan sosial politik dan ekonomi sebuah masyarakat juga memiliki pengaruh besar di dalam kehidupan orang. Masyarakat yang terjebak pada kesenjangan sosial ekonomi yang besar, seperti di Indonesia, akan menciptakan manusia-manusia traumatik yang memendam kebencian.

Kebencian inilah yang lalu mendorong tindak kekerasan. Pada tingkat kecil, banyak keluarga terpecah, karena kekerasan di dalamnya. Kecanduan narkoba, dan berbagai bentuk kecanduan lainnya, juga akan meningkat. Pada tingkat yang lebih luas, konflik dan pembunuhan massal akan menjadi bagian dari keseharian masyarakat.

Kebencian adalah salah satu bentuk “narkoba” kehidupan. Karena trauma yang dialaminya, orang mungkin tak jatuh ke dalam heroin, atau rokok. Setiap orang punya kecenderungan yang berbeda di dalam mengelola trauma yang ia punya. Bagi sebagian orang, kebencian adalah narkoba yang menghangatkan.

Walaupun begitu, apapun bentuknya, pengalihan dari trauma tak akan pernah bisa berjalan selamanya. Pada satu titik, penderitaan tetap menyelinap masuk, bahkan dengan intensitas yang lebih besar. Kebencian, dan segala bentuk narkoba trauma lainnya, bersifat sangat sementara, bahkan menciptakan kecanduan dan penderitaan yang lebih besar. Jalan lain mesti ditemukan.

Berada Bersama Trauma

Jika trauma adalah akar dari kebecian, dan kebencian adalah akar dari konflik serta pembunuhan massal, maka kita harus belajar untuk memahami dan mengelola trauma yang ada. Rasa sakit yang dialami akibat trauma tidak bisa diabaikan begitu saja. Jika diabaikan, ia akan mempengaruhi perilaku hidup sehari-hari. Hubungan antar manusia, sekaligus mutu kehidupan secara keseluruhan, pun juga akan terpengaruh.

Dari sudut pandang Zen, dan di banyak pendekatan filsafat Asia lainnya, trauma hanya bisa dihadapi dengan kesadaran penuh. Disinilah arti penting „berada bersama trauma“, yakni dengan melihatnya sebagai bagian dari kompleksitas kehidupan itu sendiri. Di titik ini, tidak ada penolakan terhadap trauma.

Dengan „berada bersama trauma“, orang mengakui, bahwa hidup tak sepenuhnya bahagia, tetapi juga tak sepenuhnya penuh derita. Seorang guru berkata, jika derita itu abadi, maka itu pasti ilusi. Sebaliknya pun juga betul. Jika bahagia itu abadi, maka itu pasti juga hanya ilusi.

„Berada bersama trauma“ berarti orang tak hanyut di dalamnya, sekaligus tidak menolaknya sebagai musuh. Sikap ini menghasilkan ketenangan batin, sekaligus kejernihan. Keduanya amatlah penting di dalam memahami dan mengelola trauma. Dengan sikap ini, trauma pun tidak berbuah menjadi sebentuk kecanduan atau kebencian yang merusak.

Menyiasati trauma dan kebencian berarti menempatkan keduanya dalam bingkai kompleksitas kehidupan yang tiada tara. Dalam hal ini, orang perlu untuk belajar menghargai dan menghormati kompleksitas itu sendiri. Hidup bukanlah untuk dikontrol sesuai keinginan, tetapi dijalani dengan kepekaan penuh terhadap segala kompleksitas yang ada. Di dalam kompleksitas itu, kebencian berpelukan dengan cinta, serta kejahatan berpelukan dengan kebaikan.

Zen adalah hidup dengan kejernihan di tengah semua kompleksitas yang ada. Awalnya, kesulitan pun akan datang menerpa. Jika kita berteguh, buah-buah kejernihan dan kedamaian akan kita petik. Walaupun, masalah dan berkah datang silih berganti.

 

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

18 tanggapan untuk “Menyiasati Trauma dan Kebencian”

  1. saya bisa mengikuti dan mengerti karya diatas. memang utk mengasih i/mencintai kita menjalani proses pembencian dahulu, mungkin juga pembencian yg berlebihan.
    kalau kita sadar dgn keadaan(proses) tsb, kita mampu dgn senyum mengatasi nya. proses tsb saya alami hingga kini, mungkin juga hingga achir hidup.
    begitu kita melampaui proses pembencian dan perlahan2 pembencian beralih ke pengasihan dan mencintai, maka tumbuh lah dalam lubuk suatu proses baru , “proses penguatan” rochani yg begitu dahsyat !
    saya tidak mampu menekankan maksud saya dgn kata2, semua nya harus dialami /dijalan i oleh peminat.
    jalur spiritual kearah nalar sehat dan hati nurani adalah benar2 dahsyat !
    terima kasih atas karya2 di forum ini. saya membaca nya dengan senyum dan dorongan utk penulis dan peminat lain untuk bertekun di dunia spiritual.
    banya salam !!

    Suka

  2. Bener, berteman dengan orang yang kita benci, sejatinya kita sedang berteman dengan kebencian. Awalnya sulit sekali, nantinya akan berbuah manis.

    Suka

  3. Saya ingin bertanya kak, bagaimana orang dapat terus berbuat keerasan sealipun ia tahu bawah ia tetap terus dipeluk oleh kebaikan, maksudnya kebaikan ada dalam dirinya lebih-lebih ia tahu dan punya kesempatan untuk melakukan kebaikan. Saya malah kepikir apa pelukan kejahatan terlalu erat sehingga kebaikan tidak bisa begerak :). Tetapi sebelumnya, terimakasih untuk tulisannya yang selalu mencerahkan dan menyegarkan.

    Suka

  4. Bagaimana menurut bapak kalau salah satu menyiasati kebencian adalah dengan seni seperti bermusik dan lain lain ?

    Suka

  5. Terima kasih kembali atas komentar2nya yang sangat bermanfaat. Kuncinya memang menggunakan kesadaran yang ada untuk mengelola, dan bahkan melepas, semua kebencian maupun trauma yang ada.

    Suka

  6. Halo Jear. Jangan terlalu pusing dengan apa yang baik dan apa yang jahat. Dunia terlalu kompleks untuk dibelah dua seperti itu. Saat ke saat, apa yang bisa dilakukan untuk memperbaiki keadaan? Inilah yang mestinya menjadi panduan hidup.

    Suka

  7. Selama ini saya bermusik untuk mencurahkan dan melepaskan segala bentuk penderitaan dan trauma yang saya alami. Bahkan dari seni saya bisa merasakan penderitaan dan rasa sakit yang orang orang alami. Memang mungkin tidak bisa menyentuh akar dari trauma dan rasa sakit saya tapi setidaknya ini memberikan saya ketenangan walaupun cuman sementara. Ngmng ngmng terima kasih pak tulisan anda benar benar membantu 😁😊

    Suka

  8. Itu juga jalan yang baik. Saya juga melakukannya. Namun, untuk bisa membongkar akar trauma, anda justru harus berteman dengannya. Tidak menolaknya, tetapi juga tidak hanyut di dalamnya. Justru dengan ini, trauma bisa menjadi inspirasi bagi musik anda. Terima kasih kembali. Salam hangat selalu.

    Suka

  9. membaca semuavkomentar2 diatas, teringat koan”kalau takut dingin, pergilah ke es, kalau takut api, tantanglah api”…sering saya lakukan sesuatu yg saya benci /takut i, dgn effekt achir, saya menyukai apa yg saya benci / takut i, malah tumbuh dgn sendiri nya kasih sayang, yg tidak bisa saya terang kan.
    harap saja bisa membantu peminat2 lain di forum ini, kita bertukar pikiran, walau di dunia maya.
    salam hangat!

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.