Tentang “Ketololan”

Louis Boshoff

Oleh Reza A.A Wattimena

Apakah anda tahu George Carlin, seorang komedian terkenal asal Amerika Serikat? Jika belum, coba cari tahu. Gaya komedinya tidak hanya lucu, tetapi juga amat sangat mendidik. Saya teringat satu perkataannya, “Jangan remehkan kekuatan orang-orang tolol dalam jumlah besar.”

Satu orang tolol saja sudah menyusahkan banyak orang. Apalagi, jika orang-orang tolol itu berkumpul, dan menyuarakan ketololannya? Itu pasti menjadi bencana besar. Walaupun begitu, kita perlu tahu terlebih dahulu, apa itu tolol?

Ketololan adalah kebodohan yang keras kepala. Orang tak sadar, bahwa ia berpikir dengan pola yang salah, tetapi tetap ngotot merasa benar. Tidak hanya itu, ia bahkan menjadi kasar terhadap orang lain, guna membela kesalahan berpikirnya. Inilah ketololan.

Menyimak perdebatan publik di Indonesia beberapa minggu belakangan ini, entah mengapa, kata ini lalu muncul di kepala saya. Saya tidak lagi bisa berkata-kata. Gairah menulis juga menurun, karena kerap kali merasa, bahwa tulisan apapun tetap tak berguna. Walaupun begitu, ada beberapa hal tentang ketololan yang kiranya bisa dipahami lebih jauh.

Virus Ketololan

Pertama, ketololan itu merusak. Orang-orang yang terjangkit virus ketololan, atau orang-orang tolol, adalah pencipta konflik dan perang di dalam sejarah manusia. Mereka bisa saja berpendidikan tinggi. Namun, pikiran mereka lemah, dan sama sekali tidak kritis, sehingga tak mampu menata hasrat-hasrat agresif yang bercokol di dalam batinnya. Alhasil, mereka tak mampu menyelesaikan masalah dengan jalan-jalan damai, lalu kerap jatuh ke dalam konflik.

Dua, ketololan itu membuat semua hal jadi rumit. Orang-orang tolol hidup dengan semboyan, „Jika bisa sulit, mengapa harus dibuat mudah?“ Orang-orang yang berurusan dengan birokrasi pemerintah kerap kali mengalami langsung arti dari semboyan ini. Di banyak negara, birokrasi pemerintahlah yang justru menjadi penghalang kemajuan, dan pencipta kemiskinan terbesar.

Tiga, ketololan menutup semua jalan dialog. Orang-orang tolol amat sensitif. Perbedaan pendapat mengancam kepercayaan diri mereka, sehingga mereka menjadi marah dan kecewa. Jika sudah begitu, mereka dengan mudah menyerang rekan dialognya dengan kata-kata kasar, atau kekerasan fisik. Ketololan mungkin merupakan masalah terbesar di politik Indonesia sekarang ini.

Empat, ketololan itu keras kepala. Ia menolak untuk berubah. Di dalamnya bercokol ketakutan dan kemarahan yang amat dalam. Argumen yang dibangun dengan akal sehat, serta data-data terbaru, diabaikannya dengan begitu mudah, sambil terus tenggelam ke dalam arus ketololan yang ada.

Ironisnya, orang-orang tolol ini cenderung menjadi korban dari kepentingan politik dan ekonomi kotor yang lebih besar. Mereka sering disewa menjadi preman bayaran untuk menyebarkan rasa takut dan ketidakpastian di dalam masyarakat. Tidak hanya itu, mereka juga sering dimintai uang untuk mendukung kepentingan politik dan ekonomi tertentu yang biasanya bersembunyi di balik slogan-slogan agama. Memang, jadi orang tolol itu banyak ruginya.

Akar Ketololan

Mengapa orang menjadi tolol? Patut diingat, orang-orang tolol ini bisa amat cerdas secara akademik. Namun, karena miskin pemikiran kritis dan reflektif, mereka terjebak di dalam ketololan. Ada beberapa hal yang bisa dipetakan lebih jauh.

Pertama, ketololan berakar pada keenganan untuk belajar. Dunia ini memang kompleks, apalagi dengan perkembangan teknologi yang begitu cepat sekarang ini. Orang harus terus belajar dalam hidupnya. Sayangnya, orang-orang tolol ini merasa minder di hadapan dunia yang kompleks ini, sehingga mereka menolak untuk membuka diri, dan untuk belajar.

Dua, ketololan berakar dalam pada rasa takut, terutama takut akan perbedaan. Orang-orang tolol hidup begitu nyaman di dalam kepompong sempit mereka. Ketika perbedaan muncul, mereka kaget, dan menjadi kasar. Padahal, perbedaan adalah hakikat kehidupan. Menolak perbedaan berarti juga menolak kehidupan itu sendiri.

Tiga, ketololan juga berakar pada ketakutan akan perubahan. Tradisi dan identitas lama terancam oleh perubahan besar yang terjadi di tingkat internasional. Orang-orang lalu memegang erat identitas lokalnya secara buta, lalu terjebak ke dalam ketololan. Sama seperti perbedaan, perubahan adalah kehidupan itu sendiri. Menolak perubahan juga berarti menolak kehidupan.

Ketololan itu merugikan, baik masyarakat secara luas, maupun pribadi yang terjebak di dalamnya. Berbagai petaka peradaban, mulai dari kemiskinan sampai dengan perang dunia, disebabkan oleh keputusan yang dibuat oleh orang-orang tolol. Sudah waktunya, ia dilepas dari kehidupan pribadi maupun bersama kita. Taruhannya terlalu besar, apalagi di tengah berbagai krisis yang melanda dunia ini, mulai dari krisis lingkungan, bencana alam terus menerus, korupsi di berbagai sektor pemerintahan sampai dengan ancaman perang besar antara Cina dan Amerika Serikat.

Jika kita tidak bisa menawarkan jalan keluar, setidaknya jangan turut memperbesar masalah yang sudah ada, apalagi menambah masalah baru. Mari kita melepaskan virus ketololan yang mungkin menjangkiti pikiran kita masing-masing.

 

 

 

 

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

22 tanggapan untuk “Tentang “Ketololan””

  1. karya diatas sangat bermakna, saya sepakat sekali, teringatlah dengan karya “buta nalar”(??), inti yg sama, tetapi lain “cerita”.
    teringat dengan “monyet dikepala yg setiap saat selalu berkomentar”, membuat hidup kita begitu rumit dan berat.
    bung reza juga bermaksud, dalam kepala begitu banyak (hanya) sampah, yg mesti dibuang, agar kita betul2 hidup dan sadar.
    umumnya untuk semua kesulitan hidup, kita menyalahkan sebab musabab nya dari luar, bukannya mencari di diri kita sendiri.
    sangat membantu, kalau kita sadar “dalam hidup semua harus didaya upayakan”( nichts im leben ist selbstverständlich).
    bahkan kita harus bersedia selalu “belajar” seumur hidup.
    selamat berkarya dan selamat belajar untuk semua peminat forum ini !
    salam hangat !!

    Suka

  2. Setelah saya baca artikel ini, saya jadi bingung membedakan antara bodoh dan tolol atau memang keduanya identik ?

    Suka

  3. Mantaappp!! Tulisan yang sangat penting dan bermanfaat sat ini. Saat dimana orang2 tidak malu memamerkan ketololan mereka. Saat dimana menjadi tolol adalah nikmat. Saat dimana menjadi tolol tetap mendapatkan status sosial yang “mulia”
    Izin share. Dan teman2 lainnya harap disebarkan agar menjadi renungan bagi mereka yang hampir tolol.

    Suka

  4. begitulah keadaan saat ini. Ikan membusuk dari kepalanya. Tidak ada teladan yang baik di negeri ini dalam soal kepemimpinan politik. Ini bagaikan kanker yang lalu menyebar sampai ke seluruh rakyat.

    Suka

  5. membaca semua komentar diatas, sangat menarik dari sudut pandangan peminat lain.
    kalau kita lihat ketololan dan kebodohan dalam hidup sehari2 tanpa nilai dan perbedaan, kita mampu untuk benar”menikmati” semuanya dan senyum dalan hati, bukannya acuh tak acuh tetapi di saat yg tepat kita bertindak intuitiv, tanpa pengaruh “monyet” dikepala.
    banya salam !!

    Suka

  6. Terima kasih. Walaupun, mesti juga disadari, bahwa kita adalah “sejenis monyet2” yang lolos dari proses evolusi. Tingkah laku kita pun seringkali masih mencerminkan kodrat kemonyetan kita.

    Suka

  7. Dari awal saat ini masih blog sampe sekarang jadi. Com saya selalu berlari ke sini saat ingin membaca dan berpikir. Saat saya butuh teman berdiskusi dengan segala perdebatan yang ada dalam kepala saya sendiri saya selalu butuh membaca tulisan2 anda untuk memunculkan tokoh baru dengan pendapat baru dalam sesi diskusi di dalam kepala saya sendiri. Teruslah menulis dan jangan berpikir itu sia sia. Karena bagi orang lain itu sangat bermanfaat meski kadang mereka jarang memberi tahu anda bahwa tulisan anda amat bermanfaat seperti saya yang baru komentar saat ini.

    Suka

  8. Dari awal saat ini masih blog sampe sekarang jadi. Com saya selalu berlari ke sini saat ingin membaca dan berpikir. Saat saya butuh teman berdiskusi dengan segala perdebatan yang ada dalam kepala saya sendiri saya selalu butuh membaca tulisan2 anda untuk memunculkan tokoh baru dengan pendapat baru dalam sesi diskusi di dalam kepala saya sendiri. Teruslah menulis dan jangan berpikir itu sia sia. Karena bagi orang lain itu sangat bermanfaat meski kadang mereka jarang memberi tahu anda bahwa tulisan anda amat bermanfaat seperti saya yang baru komentar saat ini.

    Suka

  9. Yang saya temui akhir-akhir ini kelihatannya sudah lebih dari tolol. Saya tidak tahu akan sebutannya. Tetapi yang saya rasakan adalah bahwa seseorang menyadari ketololannya namun merasa bangga dan nyaman dengan tololnya. 🙏 Salam waras..

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.