Ilmu Pengetahuan di Indonesia, Mau Dibawa Kemana?

Pxleyes

Oleh Reza A.A Wattimena

Di Indonesia, pengetahuan belumlah menjadi kebutuhan. Ilmu pengetahuan masih sekedar menjadi hiasan kepribadian. Gelar akademik sekedar dipampang di undangan pernikahan (bahkan berita duka pemakaman), guna meningkatkan nama baik keluarga. Pada akhirnya, kesulitan menekuni bidang keilmuan hanya bermuara pada kegiatan pamer pada tetangga dan keluarga.

Hal serupa pun terjadi pada para ilmuwan. Dunia penelitian tidak ditekuni untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, melainkan untuk mengejar proyek. Proyek tersebut berupa dukungan dana, entah dari pemerintah atau dari luar negeri. Hasil penelitian pun sekedar menjadi laporan yang tak berdampak pada perubahan sosial masyarakat luas.

Cara berpikir pemerintah pun kurang lebih serupa. Dunia ilmu pengetahuan bukan lagi menjadi dunia penuh petualangan intelektual, tetapi menjadi dunia lomba menerbitkan jurnal. Pola berpikir ini mendangkalkan seluruh kegiatan penelitian ilmiah. Sama seperti sebelumnya, banyaknya terbitan jurnal tidak berdampak pada perubahan sosial, tetapi hanya sekedar ajang pamer dalam perbandingan dengan negara lain.

Akar Penyebab

Buntunya dunia penelitian ilmiah di Indonesia berakar pada empat hal. Pertama, seperti banyak hal terjadi di dalam kehidupan, kegiatan penelitian ilmiah dan akademik dilakukan sekedar sebagai formalitas. Tidak ada semangat pencarian dan pendalaman disana. Yang lebih terasa adalah semangat berburu dana penelitian, dan memperoleh nama besar di dunia penelitian ilmiah dan akademik.

Dua, gejala ini berakar pada krisis yang lebih dalam, yakni krisis akal sehat. Akal budi manusia semata menjadi alat bagi tujuan-tujuan yang, kerap kali, tak masuk akal. Misalnya, dana penelitian besar, dibarengi dengan tema penelitian yang canggih, namun motif dasarnya tetap pamer dan cari nama besar. Di tingkat ini, manusia tak mengalami perkembangan yang berarti.

Tiga, ini terhubung dengan berkembangnya virus kesempitan berpikir. Ketika ilmu pengetahuan dilihat sebagai sekedar formalitas belaka, ia tidak punya daya ubah peradaban. Masyarakat tetap akan hidup dalam kesempitan berpikir yang melahirkan fanatisme dan radikalisme dalam segala bentuknya. Pada satu titik, ini juga akan melahirkan gerakan terorisme global.

Empat, semua ini sebenarnya bisa diubah dengan kuatnya kehendak politik untuk menciptakan perubahan dari pihak pemerintah. Namun, sampai sekarang, jabatan penentu kebijakan pendidikan dan riset tetap dipenuhi kepentingan sempit politik dan agama. Selama itu terjadi, dunia pendidikan dan penelitian akan terus mengalami kebuntuan.

Melahirkan Paradigma Baru

Memang, kita tidak perlu terlalu bergantung pada pemerintah, walaupun peran mereka tetaplah amat besar bagi perkembangan dunia ilmu pengetahuan di Indonesia. Yang bisa dilakukan adalah perubahan paradigma di tingkat kegiatan belajar dan meneliti sehari-hari. Teori tradisional, sebagaimana dijelaskan oleh para pemikir Sekolah Frankfurt, yang hanya puas dengan mengumpulkan dan memahami data, perlu dilepaskan.

Pendekatan ini terbukti tidak berhasil meningkatkan mutu dunia ilmu pengetahuan Indonesia. Yang diperlukan adalah lahir dan berkembangnya paradigma teori kritis, yakni penelitian ilmiah yang berupaya membongkar segala bentuk ketidakadilan dan penindasan di masyarakat luas. Berbagai bentuk penindasan tersebut seringkali ditutupi oleh hal-hal luhur, seperti budaya dan agama. Itulah sebabnya, penindasan dan ketidakadilan yang terjadi seringkali tak langsung terlihat, dan justru bertambah besar.

Misalnya, sudah cukup lama kaum perempuan dan LGBTQ mengalami penindasan dan ketidakadilan di Indonesia. Penindasan terhadap mereka seringkali ditutupi oleh keluhuran budaya dan agama, sehingga dianggap sebagai alamiah. Ini tentu perlu mendapat tanggapan kritis. Penelitian dengan menggunakan paradigma teori kritis akan menciptakan penyadaran terkait dengan soal ini, dan membawa perubahan sosial di masyarakat, seberapapun kecilnya.

Pada titik ini, pendidikan dan penelitian tidak lagi sekedar menjadi ajang mencari dana dan nama besar. Keduanya lalu menjadi alat untuk mengembangkan wawasan, kebijaksanaan sekaligus mendorong perubahan sosial ke arah keadilan yang lebih besar bagi masyarakat luas. Ke arah inilah seharusnya dunia ilmu pengetahuan Indonesia dibawa. Pemerintah boleh lamban untuk berkembang dalam hal ini, karena berbagai kepentingan sempit yang ada.

Kitalah yang harus mulai terlebih dahulu.

 

 

 

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

10 tanggapan untuk “Ilmu Pengetahuan di Indonesia, Mau Dibawa Kemana?”

  1. Tulisan yang menarik dan menginspirasi. Saya juga sependapat dengan pa Reza, Indonesia terlalu menekankan peran agama dan budaya, dan tidak mengembangkan budaya berpikir kritis.
    saya punya cerita. Beberapa bulan yang lalu, kami mengikuti lomba di wilayah Kopertis wIlayah VII. Kami kemudian tahu, mengapa tulisan kami tidak masuk daftar 10 besar, ternyata yang paling penting soal spele saja, penempatan halaman harus sesuai, kadang penomoran harus di kolom atas, tetapi kadang di samping, dan kadang di bawah. Saya kemudian berkomentar, betapa dangkalnya cara penilaian kita, bukan ilmunya yang dipentingkan, malah aturan yang sebenarnya tidak terlalu penting.
    ada banyak hal lain, di mana ilmu tidak mendapat tempat.

    salam hangat,

    Benediktus Jonas

    Disukai oleh 1 orang

  2. karya sangat bermakna dalam.
    fenomena tsb diatas adalah global, hanya di indonesia sangat menyolok mata. menurut hemat saya, dinegara barat agama tidak berperan.
    masyarakat mencari jalan lain untuk kehidupan spiritual.
    satu2nya jalan keluar, kita mulai dari diri sendiri.
    banya salam!

    Suka

  3. Salam kenal bung Reza A.A Wattimena,
    saya Supandi/pandi, saya hanya berkomentar bahwa tulisan yang anda tuangkan di media elektronik ini, sungguh inspirasi dan membuka cakrawala nyata dalam kehidupan dan cara pandang masyarakat kita (saya ) yang agak menyempit. Dengan ilmu yang bung berikan kepada masyarakat indonesia, saya berharap akan bermunculan generasi milineal yang baik dari aspek ilmu yang berlatar belakang filsafat, dan satu lagi yang sama pentingnya yaitu, Etika atau moral. karena banyak dari kita yang hanya berilmu namun minim kajian etika (pengecualian bagi bung Reza Wattimena)
    Terima kasih atas sumbangsih ilmunya.
    saya bergabung di blog ; Rumah Filsafat

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.