Koruptor yang Santun

Saatchi Art

Oleh Reza A.A Wattimena

Peneliti, Tinggal di Jakarta

Salah satu sekolah di Jakarta mengeluh, karena murid-muridnya banyak berperilaku kurang ajar. Mereka cenderung tak bisa diatur. Mereka juga cenderung tak hormat terhadap orang lain, apalagi terhadap orang yang lebih tua. Mereka juga menjadi pengguna berlebihan beragam gadget teknologi yang ada sekarang, tanpa bisa dikontrol.

Akhirnya, sekolah ini memutuskan untuk memberikan pelatihan terhadap murid-murid tersebut dalam bentuk latihan dasar kepemimpinan. Alasannya sederhana. Mereka ingin, supaya murid-murid sekolah tersebut bisa lebih patuh. Mereka ingin, supaya murid-muridnya menjadi lebih mudah dikendalikan, sesuai dengan keinginan keluarga dan sekolah.

Moralitas Dangkal

Gejala ini banyak terjadi di Indonesia. Keluarga dan sekolah ingin anak-anaknya menjadi robot yang gampang diatur. Keluarga dan sekolah berperan menjadi institusi otoriter yang ingin mengendalikan murid-murid sekolah secara mutlak. Mereka tak peduli, bahwa pola ini justru membunuh seluruh proses pendidikan yang ada.

Inilah yang disebut sebagai moralitas dangkal. Moral semacam ini hanya merupakan tampilan luar semata. Orang terlihat patuh, rapi dan bersih, namun penuh dengan pikiran busuk di dalamnya. Orang-orang dengan moral dangkal akan menjadi koruptor dan provokator perpecahan, walaupun tampilannya tampak agamis, rapi dan santun.

Ketika masyarakat hanya menekankan moralitas dangkal, maka kemunafikan akan tercipta. Kata-kata sopan dan penampilan rapih. Namun, itu semua hanya tampilan luar belaka yang menutupi kebusukan. Tak heran, para terdakwa koruptor langsung berpenampilan agamis, ketika disidang di pengadilan.

Tidak hanya itu, moralitas dangkal juga menciptakan penderitaan. Orang berbuat baik, karena terpaksa. Orang patuh, bukan karena paham dan tulus, tetapi hanya karena tekanan masyarakat. Penderitaan yang muncul dari pola moralitas semacam ini amatlah besar.

Moralitas Dalam

Moralitas dalam memiliki arah yang berbeda. Ia lahir dari kesadaran penuh akan kehidupan. Ia tidak muncul dari paksaan. Ia tidak muncul dari ketakutan terhadap tekanan sosial dari luar.

Moralitas dalam bergerak dari kesadaran, bahwa segala yang ada di semesta ini adalah satu kesatuan. Inilah yang disebut ciri kesalingterhubungan dari kehidupan itu sendiri. Dengan kesadaran ini, orang tidak akan merusak atau menyakiti apapun, karena ia melihat dirinya di dalam segala sesuatu. Sikap santun dan hormat terhadap mahluk hidup lainnya akan muncul secara alami.

Moralitas dalam juga akan melahirkan empati. Empati adalah kemampuan untuk melihat dunia dari sudut pandang orang lain. Empati akan membuat orang memiliki sifat welas asih yang muncul secara alami dari dalam dirinya. Inilah dasar moralitas yang sejati.

Karena lahir secara alami, moralitas dalam juga jauh dari kemunafikan. Kebaikan lahir dari ketulusan, dan bukan sikap pura-pura. Seringkali, orang mungkin terlihat tak santun. Akan tetapi, niatnya baik, yakni untuk kepentingan bersama. Mantan Gubernur Jakarta, Ahok, adalah wujud nyata dari moralitas dalam semacam ini.

Moralitas dalam juga tahan lama. Ia tidak berubah, ketika tekanan dari luar hilang. Karena berpijak pada ketulusan, moralitas dalam juga tetap teguh di tengah godaan untuk berbuat jahat. Orang dengan moralitas dalam tidak lari di tengah tekanan, apalagi bersembunyi di balik-balik alasan-alasan suci yang penuh kemunafikan.

Kita harusnya mengajarkan moralitas dalam di dalam sistem pendidikan kita. Moral dangkal, yang menekankan kepatuhan semu, haruslah dihilangkan. Hanya dengan begitu, kita bisa melenyapkan secara total para koruptor dan provokator yang bersembunyi di balik kesantunan moral dan agamis. Sudah cukup lama bangsa kita ditipu oleh para koruptor dan provokator pemecah belah semacam ini.

 

 

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

12 tanggapan untuk “Koruptor yang Santun”

  1. Aq setuju, sekarang ini namanya keMunafikan sampai keFasikan dgn berbuat “seakan akan” orang alim Pinter agama tahu yg benar dan Salah, punya kemampuan menyalahkan yg benar dan membenarkan Yang Salah. Kemarin saya di Probolinggo pernah di suruh minggir sama Massa krn Yang katanya “Mahal guru” mau liwat. Ternyata sang Maha Guru Dari Kanjeng Dimas yg sebenarnya pinter menipu orang itu adalah gelandangan asli Jakarta. Wah pandai sekali Kajeng Dimas tipu ribuan orang.

    Suka

  2. begitu pula hemat saya.
    keadaan murid zaman ini hanyalah hasil dan akibat dari generasi sebelumnya. bibit jelek, bibit berikut nya lebih jelek lagi.
    menurut hemat saya, masyarakat umum yg harus “diperbaiki” luar dalam. barulah generasi berubah dengan sendiri nya. institut dan kompetensi yg berwenang harus konsequent menjalankan perubahan2.
    tetapi bagaimana bisa “berhasil”, kalau kita melihat suasana politik dewasa ini. kemauan utk maju di torpedo dengan segala macam hindaran termasuk agama ,yg di tampilkan utama.
    akal sehat, nalar sejati dan hati nurani dimana dikau ??
    sepertinya, petani modern dgn segala peralatan high tech, tetapi tidak mampu mengerjakan ladang dgn peralatan tsb.
    banyak salam !

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.