Agama, Kemiskinan dan Politik Kekuasaan

Evening Standard

Oleh Reza A.A Wattimena

Peneliti, Tinggal di Jakarta

Seorang teman bertanya, mengapa orang Indonesia begitu fanatik dengan agamanya? Ia berasal dari negara yang tak peduli pada agama. Maka dari itu, ia heran, mengapa orang Indonesia sangat gandrung dengan agama. Saya terdiam di hadapan pertanyaan tersebut.

Saya mulai berpikir soal asal muasal agama. Mengapa agama ada? Mengapa ia bisa begitu tersebar di berbagai belahan dunia?

Agama dan Alam

Sudah sejak awal, alam selalu menjadi misteri bagi manusia. Begitu banyak hal yang di luar kendalinya. Perubahan cuaca sampai dengan bencana alam, semuanya menciptakan rasa takut di dalam diri manusia. Di hadapan alam yang penuh ketidakpastian ini, hidup manusia terasa kecil dan tak berarti.

Tak hanya itu, alam juga mengundang rasa kagum di dalam diri manusia. Keindahan alam, dengan gunung dan lautnya, membuat hati manusia bergetar. Ia merasa kecil, sekaligus merasa bangga menjadi bagian dari alam ini. Dititik inilah agama tercipta.

Di hadapan yang tak dapat dikendalikannya, manusia menciptakan agama. Ia merasa, ada sesuatu yang mengatur segalanya. Ia memiliki beragam nama, misalnya Tuhan, Dewa, Allah dan sebagainya. Jika manusia memuji dan menjalankan kehendaknya, maka ia akan selamat. Jika tidak, maka petaka sudah menanti.

Dalam hal ini, agama adalah kombinasi antara rasa takut dan rasa kagum terhadap ketidakpastian hidup. Agama juga berkembang, karena dua hal itu terus berkembang di dalam diri manusia. Ilmu pengetahuan modern dan teknologi sudah berupaya melepaskan manusia dari ketakutan ini. Namun, upayanya baru berhasil sebagian.

Di Indonesia, ilmu pengetahuan dan teknologi hanya berperan sebagai barang pakai. Indonesia belum, (atau tidak mau?), mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologinya sendiri. Akibatnya, walaupun terlihat canggih dan modern di luar, jiwanya masih penuh ketakutan primitif terhadap ketidakpastian hidup. Maka dari itu, agama, beserta sisi gelap fanatisme bodoh dan perpecahan yang dilahirkannya, berkembang begitu pesat di Indonesia.

Agama dan Kemiskinan

Di hadapan tekanan kemiskinan, agama seringkali menjadi sumber harapan. Agama menjadi penghiburan satu-satunya, ketika dunia terasa begitu kejam dan tak adil. Agama memberikan janji, bahwa penderitaan, jika dijalani dengan mulia, akan bermuara pada surga. Inilah juga yang terjadi di Indonesia.

Di Indonesia, kesenjangan sosial masih begitu terasa. Beberapa kelompok elit menguasai begitu banyak sumber daya, dan menjadi begitu kaya. Sementara, sebagian besar warga masih hidup dengan susah payah, bahkan di bawah garis kemiskinan. Agama berperan besar di dalam memberikan penghiburan bagi kaum miskin, supaya mereka bisa menjalankan hidup mereka dengan mulia.

Sayangnya, ini juga merupakan sisi baik sekaligus sisi buruk dari agama. Di hadapan kesenjangan dan ketidakadilan sosial, seperti diungkapkan oleh Marx,  agama mendorong orang untuk menerima keadaan, bahkan bersyukur. Dalam hal ini, agama menjadi halangan untuk mendorong terjadinya perubahan sosial. Agama tidak hanya menjadi hiburan bagi orang miskin, sebagaimana kata Marx, tetapi juga menjadi pelestari dari kemiskinan itu sendiri.

Di Indonesia, apalagi sejak pilkada Jakarta 2017, agama diperalat oleh penguasa politik. Agama digunakan sebagai alat untuk mendulang suara. Akibatnya, agama tidak lagi menjadi hiburan dan sumber kedamaian, tetapi menjadi sumber konflik. Pilpres 2019 juga berpeluang mengalami hal serupa.

Agama dan Keadilan

Ini semua tentu harus disadari oleh para pemeluk agama di Indonesia. Pertama, jangan sampai agama menjadi pelestari kemiskinan. Keadilan sosial tetap harus diperjuangkan. Jika ditafsirkan dengan tepat, agama juga bisa memberikan dasar teologis bagi perjuangan mewujudkan keadilan sosial bagi semua, tanpa kecuali.

Dua, agama juga tidak boleh dipermainkan oleh kekuasaan politik. Ketika agama berbaur dengan politik kekuasaan, maka keduanya akan hancur. Perpecahan dan konflik akan menjadi kenyataan. Semua memiliki peran dan kedudukannya masing-masing, apalagi di dalam masyarakat majemuk demokratis, seperti Indonesia.

Setelah minum seteguk air, saya menjawab pertanyaan teman saya tersebut. Agama bisa begitu berkembang di Indonesia, karena kita masih diselimuti oleh rasa takut yang besar terhadap kehidupan. Kita merasa tak berdaya di hadapan ketidakadilan sosial, dan ancaman bencana alam tanpa henti. Karena itu, kita masih butuh hiburan dari agama.

“Sampai kapan?”, ia bertanya… Saya tak tahu jawabannya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

14 tanggapan untuk “Agama, Kemiskinan dan Politik Kekuasaan”

  1. tulisan yg sangat menarik, begitu pula analisasi nya. memang begitulah agama di manipulasi org2 yg berkecimpung dalam agama.
    dari zaman baheula agama2 (?? tertentu) justru memperbodoh penganut nya, bahkan berakibat dgn perpecahan, contoh nya di thn 1517, bahkan hingga kini agama berfungsi sebagai “tekanan psychologis massa” dinegara manapun, bahkan di amerika dgn segala sekte2.
    di indonesia achlak nya memang “minta”/”harus” di kelabui habis2an /di peralat agama. untuk “melihat” kenyataan dengan pikiran sehat, dan liat sekitar negara2 tetangga sudah sama sekali tidak mampu. yg di pentingkan hanya renungan2 dan hafal segala macam ayat kitab suci.
    hanya suci di mulut, lain2 tidak ada.
    bagaimana mau maju kalau tidak sadar ??? umumnya rakyat (???) berpendapat, “indonesia sudah gitu /lebih maju dari negara2 lain, lihat lah kemewahan yang ada….”
    dalam hati saya hanya tersenyum dan berharap ” akal sehat dan hati nurani, dimana dikau”.
    mungkin juga, keadaan politik dan ekonomi di indonesia tidak lain “tugas” untuk kita semua dalam memupuk”kehidupan spiritual”…sebagai “koan(???)”.
    atau semua di”lupakan”, hanya hidup dari saat ke saat, menyelesaikan apa yg harus di selesai kan !
    salam hangat !!

    Suka

  2. Apapun definisi bg agama tp itu tdk dpt dilepaskan dr fakta bhwa ia kini tlah menjadi sbh identitas…
    Jd ketika identitas itu butuh bukti maka tak jarang org jd gila… Agama jg telah menjadi Candu yg memabukan,,,hingga org lupa menjd beragama yg baik & sekaligus sensitif pd sesama…org jd egois ingin memiliki surga sendiri…andai surga itu tdk ada sprti lagu “Dewa” maka bukanlah sbh penyesalan panjang cz tak pernah menghadirkan & menciptakan surga (suasana) tp slalu menanti surga yg tak kunjung pasti ada atw tdk…

    Suka

  3. Dari dulu anda giat sekali memahamkan orang agar mengandalkan hanya akal dan science empiris dalam hidupnya. Seperti ormas yg memaksakan sistem yg diyakininya lalu dibubarkan pemerintah. Ribuan kali usaha anda agar Indonesia mengikuti negara teman anda atau negara yg andasebut maju, sy yakin hanya akan menguap di udara seperti ormas tadi.
    Bolehkan sy beda atau selalu berbeda pendapat dengan anda?
    Karena siapa tahu sy yg benar atau juga mungkin sy salah. Untuk apa juga nentuin siapa yg benar dan siapa yg salah, kan kita sesama murid tidak berhak memberi rapot, itu tugasnya “guru”. Oo iya bang, buku atau siapa yg bilang agama itu buatan manusia?

    Peace n love..

    Suka

  4. Saya yg jawab ya, sampai kiamat… hahaha
    Menarik kawan, kita jenuh dan muak dengan orang2 yg berpakaian agamis, omongnya selalu pake ayat2 kitab suci tapi prilaku bejat… bahkan yg merea anggap suci pun tak takut dinodai dan diperkosa. Sepsrti misal, korupsi alquran, korupsi haji, itupun dilakukan oleh menteri agama..
    Jadi agama itu ambiguitas buat orang2 ini..

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.