Merasa “Tak Berguna”?

Nikolina Petolas

Oleh Reza A.A Wattimena

Seorang teman selalu mengeluh. Dia bekerja dari jam 8 pagi sampai jam 9 malem, bahkan di hari Sabtu. Untuk bisa sampai di kantor jam 8, ia harus berangkat jam 6 pagi. Memang, pendapatannya besar. Asuransi dan tunjangannya juga tinggi.

Namun, ia merasa lelah. Ia tak punya waktu untuk keluarga dan teman. Di hari libur, ia hanya bisa tidur, karena sudah amat lelah. Ia merasa tak berguna, karena hidup hanya menjadi budak korporat.

Ada juga teman lain yang mengeluh. Karena lelah bekerja pada orang lain, ia mulai membangun usahanya sendiri. Namun, iklim usaha sedang tak bagus. Keuntungan merosot, bahkan beberapa kali harus menelan kerugian.

Terkadang, ia merasa menyesal telah meninggalkan dunia kerja. Dunia usaha penuh dengan ketidakpastian. Kadang untung, kadang buntung. Ia pun, seringkali, merasa tak berguna.

Seorang teman lain tak punya pekerjaan. Ia menghabiskan waktu di depan komputer. Terkadang, ia keluar hanya untuk sekedar beli makan. Ia sudah lama pengangguran, dan sudah putus asa di dalam mencari pekerjaan.

Untuk membangun usaha, ia tak punya modal, atau jaminan untuk pinjaman bank. Keluarganya juga enggan memberikan pinjaman uang. Akhirnya, ia hanya bisa berpasrah. Seringkali, ia merasa ingin bunuh diri, karena merasa tak lagi berguna.

Tak Berguna

Jadi, apapun yang kita lakukan, kita akan selalu merasa tak berguna? Bahkan, aktivis yang memberikan hidupnya untuk menolong orang lain pun seringkali merasa tak berguna. Mereka merasa tak mampu membuat perubahan yang cukup besar untuk memperbaiki keadaan. Sebenarnya, apa maksud “berguna” dalam konteks ini?

Berguna berarti menghasilkan uang yang cukup. Berguna berarti punya waktu dan tenaga untuk menikmati uang tersebut bersama keluarga dan teman. Berguna berarti bisa mempengaruhi kebijakan nasional dengan uang dan kekuasaan yang ada. Pandangan semacam inilah yang tersebar luas di masyarakat kita.

Pandangan ini sangat tidak alamiah. Ia diciptakan oleh suatu ideologi tertentu, yakni ideologi modernitas yang melahirkan kapitalisme modern dan mental materialistik. Modernitas kental dengan ciri kemajuan fisik yang ingin terus dicapai. Buahnya adalah kapitalisme modern, yakni hidup yang diisi dengan penumpukan keuntungan ekonomis tanpa batas. Tak heran, manusia modern menjadi manusia mata duitan, alias matre.

Segalanya diukur dengan uang, mulai dari cinta, persahabatan sampai dengan hubungan dengan tuhan. Ditempatkan pada konteks yang tepat, pandangan ini bisa melahirkan kesejahteraan. Masyarakat yang menolak perkembangan ekonomi akan jatuh ke dalam kemiskinan. Namun, ketika terlalu kuat, pandangan modernitas (kapitalisme dan materialisme) ini akan merusak hidup manusia. Perasaan tak berguna yang akut dan tersebar luas inilah salah satu tandanya.

Sudah Berguna

Jika dilihat lebih jeli, keberadaan kita sudah berguna secara alamiah. Setiap detiknya, kita mengeluarkan karbondioksida yang diserap oleh tumbuhan untuk mempertahankan keberadaan mereka. Setiap detiknya, tubuh kita sudah menjadi rumah bagi jutaan bakteri dan berbagai organisme lainnya. Tidak hanya itu, bahkan feses kita pun menjadi pupuk yang berharga bagi tumbuhan.

Ketika kita tersenyum, kita sudah memberikan kebahagiaan di sekitar kita. Ketika kita bersedia mendengarkan teman yang berbicara, kita sudah melepaskan mereka sesaat dari kesepian. Intinya, keberadaan kita sudah selalu berguna, lepas dari kita sadar atau tidak. Inilah fakta kesalingterkaitan dari segala sesuatu di dalam kehidupan ini.

Konsep “berguna” ala kapitalisme dan materialisme modern jelas adalah paham yang sesat. Ia menciptakan penderitaan sia-sia bagi kehidupan manusia. Paham ini juga mendorong orang menjadi pahlawan kesiangan. Mereka adalah orang-orang yang terjun ke politik untuk alasan uang dan kekuasaan, namun menyembunyikannya dengan alasan-alasan luhur. Menjelang pileg dan pilpres nanti, kita dengan mudah bisa menyaksikan hadirnya pahlawan kesiangan ini.

Jadi, kita tak perlu merasa tak berguna. Itu adalah sesat berpikir yang melahirkan penderitaan sia-sia. Yang diperlukan adalah hidup dari saat ke saat dengan jernih, lalu melakukan apa yang bisa dilakukan. Jika ada orang atau hal yang perlu dibantu, maka kita membantu. Jika tidak, kita menikmati hidup ini dengan matahari yang cerah dan udara segar yang ada.

Gitu aja kok repot…

 

 

 

 

 

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

15 tanggapan untuk “Merasa “Tak Berguna”?”

  1. Sekarang era milenial lebih condong terlalu konsumtif .mereka tidak memikirkan masa depan seperti membangun pondasi yg kuat..itu terjadi .coba experiment, berapa kali kaum milenial berganti barang elektronik dalam setahun…mengikuti modern zaman tidak ada habisnya alangkah baiknya butuh penyeimbang disini. Ane sendiri pun sulit klo udh liat barang baru.

    Suka

  2. membaca karya diatas dalam hati saya tersenyum, teringat jalan hidup sendiri dimasa lampau dan kini.
    bagaimanapun “sulit”-“muak”nya hidup/pekerjaan, di balik nya saya yakin ada chance untuk merubah keadaan. sampai sekarang sering saya alami “aha-effekt” dalam mengerjakan kesibukan yg tidak saya senangi, achir nya berkesimpulan, apa yg mesti di kerja kan, kerjakanlah dgn sebaik mungkin dan sepenuh hati, tanpa berpikir rumit dan ber tele2.
    contoh pengalaman, selama sesshin (samu) sebagai pembersih wc dan toilette yg begitu banyak, walau sebelumnya dalam hati berharap, semua kesibukan asal jangan tugas tsb diatas. setelah hari kedua dapatlah jalan keluar, cara menyelesaikan pembersihan , walau toilette selalu dipergunakan, tanpa cemberut. untuk sesshin j.a.d saya harap, dapat tugas yg sama.
    teringat, koan “tidak ada gunung yg terlalu tinggi, kalau kau berhenti bertanya”(????)
    jalan keluar dari thema diatas ada di kalimat terachir, suatu “undangan”selama jiwa raga masi mampu.
    semoga peminat2 membaca dengan cermat.
    banya salam !

    Suka

  3. ingin saya tambahkan pengalaman dalam kehidupan sehari2, tanpa nilai dan kommentar.
    di indonesia sangat menyolok, contoh salah satu pandangan “saya, sebagai dokter bukan tempat nya untuk bersih2 rumah tangga”.
    kalau di teliti benar2, mahluk yg berpandangan sejenis , cara/jalan hidup nya sesuai dgn cara berpikirnya. mereka sebenar nya begitu “merana”, spt yg tertulis di karya2 lalu.
    kehidupan materi dan kehidupan rochani tidak sebanding, itulah jalannya.

    Suka

  4. Selamat siang, bung Reza. Selama seminggu ini saya sedang membaca buku anda, “Pikiran Manusia”. Banyak sekali pertanyaan Dan cerita-cerita pengalaman hidup yang ingin saya ajukan kepada anda. Tetapi saya tidak tahu harus mengajukannya lewat mana. Kiranya saya bisa menghubungi anda melalui email, boleh kirimkan email anda ke saya?

    Disukai oleh 1 orang

  5. Selamat siang, bung Reza. Selama seminggu ini saya sedang membaca buku anda, “Pikiran Manusia”. Banyak sekali pertanyaan Dan cerita-cerita pengalaman hidup yang ingin saya ajukan kepada anda. Tetapi saya tidak tahu harus mengajukannya lewat mana. Kiranya saya bisa menghubungi anda melalui email, boleh kirimkan email anda ke saya?

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.