Dekonstruksi Kesuksesan

Abduzeedo

Oleh Reza A.A Wattimena

Peneliti, Tinggal di Jakarta

Semua orang tentu ingin mencapai sukses dalam hidupnya. Di awal abad 21 ini, kata sukses dikaitkan dengan harta dan nama besar. Pandangan ini tentu tidak datang dari ruang hampa. Semangat jaman (Zeigeist) dari kapitalisme dan materialisme ekonomi amat kuat mempengaruhi pemahaman kita tentang kesuksesan.

Kapitalisme adalah paham yang menekankan penumpukan modal sebagai tujuan utama ekonomi. Modal pun dipahami secara sempit sebagai harta benda, terutama uang dan turunannya. Awalnya, kapitalisme adalah tata kelola ekonomi semata. Namun, kini kapitalisme menjadi pandangan yang menyentuh semua sisi kehidupan manusia.

Akibatnya, orang menjadi rakus. Ia menjadi mata duitan. Segalanya diukur dengan uang, termasuk harga diri dan kesuksesan hidup seseorang. Inilah paham materialisme yang melihat hidup dari sisi harta benda semata, dan melupakan unsur-unsur lainnya, terutama unsur spiritual.

Seharusnya, agama, dengan nilai-nilai moral dan spiritualnya, bisa membentengi masyarakat dari terpaan badai kapitalisme dan materialisme ini. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Agama pun jatuh ke dalam terkaman materialisme dan kapitalisme. Para pemuka agama menjadi rakus uang dan nama besar, serta melupakan kedalaman hidup spiritual mereka.

Politik pun tak bebas dari cengkraman kapitalisme dan materialisme. Orang berlomba untuk jadi pejabat dan wakil rakyat, supaya bisa melakukan korupsi. Tak berlebihan kiranya, jika pemerintah dan negara pun hanya menjadi pelindung dari kaum kaya pemilik modal sekarang ini. Dengan posisinya sebagai pejabat publik, mereka lalu mendapatkan uang dengan merugikan kepentingan rakyat banyak.

Ini terjadi, karena kesuksesan hidup dipahami secara sempit sebagai kekayaan harta benda dan nama besar. Akhirnya, orang berlomba mencari jalan pintas untuk menjadi kaya dan memiliki nama tenar. Jika perlu, mereka melakukan cara-cara curang, seperti korupsi, kolusi, nepotisme dan bahkan intimidasi dengan kekerasan fisik. Apa buah dari semua ini?

Pada tingkat sosial, kehidupan bersama menjadi kacau. Kemiskinan tersebar di berbagai tempat. Kesenjangan antara si kaya dan si miskin menjadi semakin besar. Bersama dengan itu, berbagai masalah sosial pun tumbuh dan berkembang, seperti kriminalitas, radikalisme agama dan sebagainya.

Pada tingkat pribadi, hidup pun dipenuhi penderitaan. Uang dan nama besar tidak membawa kebahagiaan dan kedamaian hati. Sebaliknya, keduanya justru menciptakan kecemasan hidup yang lebih besar. Orang menjadi semakin rakus, gampang iri hati dan tergelincir ke dalam penderitaan hidup yang berkepanjangan.

Yang diperlukan adalah sebuah dekonstruksi tentang kesuksesan itu sendiri. Kata dekonstruksi berasal dari pemikir Perancis di abad 20 yang bernama Jacques Derrida. Ia merumuskan dekonstruksi sebagai upaya untuk menunda kepastian makna, sehingga makna baru yang sebelumnya tak terpikirkan memiliki ruang untuk berkembang. Kebaruan pemahaman bisa muncul melalui proses dekonstruksi ini.

Di pinggir uang, harta benda dan nama besar, terselip kedamaian hati dan sikap welas asih yang terus terpinggirkan. Dekonstruksi hendak membalik ini, dan menempatkan sikap welas asih serta kedamaian hati menjadi titik utama. Sebenarnya, semua orang mencari kedua hal ini dalam hidup. Namun, mereka mengira, bahwa keduanya bisa dicapai dengan harta benda dan nama besar. Inilah salah satu kesalahpahaman terbesar di abad 21.

Harta benda dan nama besar justru kerap kali mengorbankan kedamaian hati dan sikap welas asih. Orang justru hidup dalam kekacauan batin, kerakusan dan penderitaan, ketika memperoleh setumpuk uang serta nama besar. Kedamaian hati dan sikap welas asih hanya dapat diperoleh, jika orang menemukan jati dirinya yang asli. Jati diri ini terjeletak sebelum semua konsep, identitas, pikiran dan emosi muncul.

Jika orang sudah menemukan dirinya sendiri, maka kedamaian hati dan sikap welas asih akan muncul, walaupun keadaan sulit menimpa. Penderitaan tetap datang, karena itu merupakan bagian dari hidup. Namun, kejernihan tidak akan pernah pergi. Kejernihan membuat penderitaan bisa dijalani dengan tulus, sehingga ia berlalu dengan cepat, tanpa jejak.

Lalu, apakah uang dan nama besar dilupakan? Jelas tidak. Kedua hal tersebut lalu menjadi alat untuk menyebarkan kedamaian hati dan sikap welas asih kepada pihak lain yang membutuhkan. Ia tidak lagi menjadi tujuan utama, apalagi menjadi ukuran kesuksesan.

Inilah arti sukses yang sesungguhnya. Inilah inti dari hidup yang bermutu.

 

 

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

12 tanggapan untuk “Dekonstruksi Kesuksesan”

  1. benar2 jitu dan sepakat.
    dalam kehidupan sehari2 ada baiknya logik dan spiritual berjalan parallel, hanya pengertian spiritual umumnya di salah ngerti/ salah guna ke arah agama dgn segala dogma.
    achirnya manusia dgn buta terjerumus kearah sesat, yg bukan di tujui dan yg sulit utk di benarkan.
    cukup kalau kita sendiri sadar dan memulai dengan diri sendiri, mencari jati hati!!
    banya salam!

    Suka

  2. Yang saya tahu ada energi di dalam keberadaan, tanpa energi tidak ada keberadaan.
    satu contoh ;
    Waktu terus berguliri. Ini adalah energi yang mendorong peristiwa terjadi. Jam yang kita gunakan bukan mengukur waktu, ini adalah waktu energi yang menyebabkan fenomena terjadi pada tingkat tertentu yang bisa saja dengan contoh kata
    “sukses” dan buat saya sukses adalah energi….

    Suka

  3. Bagaimana jati diri bisa muncul sebelum pikiran. Bukankah kesadaran manusia akan jati dirinya adalah sebuah proses berpikir (refleksi)?

    Suka

  4. Betul energi dihasilkan dari tindakan kita , vibrasi dari niat kita dan frekwensi dari ucapan kita …

    Terima kasih

    Suka

  5. tidak sedikit manusia yg salah kaprah dengan makna sukses yg sejati. kendati yg ada dalam fikiran hanyalah uang dan jabatan. harta, tahta dan wanita menjadi kiblat mereka dalam mempersepsikan makna sukses.
    padahal kalau mereka mau menyelam lebih dalam lagi, kesuksesan sejati sudah ada sejak manusia lahir ke muka bumi ini, hanya saja manusia lebih mengindahkan aktivitas inderawi-duniawi ketimbang memperhatikan makna hidup yg tersembunyi dalam diri. Maka, mereka hipang sadar dan menjadilah mereka umat kapitalisme-materialisme. umat yg pengincar duit dan bergantung pada materi.
    Tuhan bukan materi, melainkan esensi, yg harus kita kenali melalui jati diri.

    sekian & terimakasih 😇

    Suka

  6. tidak sedikit manusia yg salah kaprah dengan makna sukses yg sejati. kendati yg ada dalam fikiran hanyalah uang dan jabatan. harta, tahta dan wanita menjadi kiblat mereka dalam mempersepsikan makna sukses.
    padahal kalau mereka mau menyelam lebih dalam lagi, kesuksesan sejati sudah ada sejak manusia lahir ke muka bumi ini, hanya saja manusia lebih mengindahkan aktivitas inderawi-duniawi ketimbang memperhatikan makna hidup yg tersembunyi dalam diri. Maka, mereka hipang sadar dan menjadilah mereka umat kapitalisme-materialisme. umat yg pengincar duit dan bergantung pada materi.
    Tuhan bukan materi, melainkan esensi, yg harus kita kenali melalui jati diri.

    sekian & terimakasih 😇

    Suka

  7. Ping-balik: romly simanjuntak

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.