Perkembangan Sains-Teknologi dan Perubahan Budaya (Tanggapan Terhadap Peter F. Gontha)

Oleh Reza A.A Wattimena

Peneliti, Tinggal di Jakarta

Peter F. Gontha, Duta Besar RI untuk Polandia, menulis artikel dengan judul “Tanpa Sains dan Teknologi, Indonesia ditelan dunia”. Artikel tersebut diterbitkan di Harian Kompas pada 21 Juli 2018 lalu. Ia menyarankan pentingnya Indonesia mendukung perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia. Tujuannya supaya Indonesia bisa bersaing negara lain di tingkat internasional.

Di sisi permukaan, tulisan itu tampak berniat baik dan benar adanya. Namun, seperti pepatah lama, bahwa jalan ke neraka dibuat dengan niat baik (the road to hell is paved with good intentions), tulisan itu mengandung kesalahan berpikir mendasar yang amat berbahaya. Pendekatan Peter Gontha adalah pendekatan teknokratik dan birokratik. Ia lupa, bahwa sains dan teknologi tidak hanya soal pengembangan infrastruktur, guna mengejar ranking internasional semata. Pengembangan sains dan teknologi adalah soal perubahan budaya secara mendasar.

Harus diakui, perkembangan sains dan teknologi modern sudah mengubah wajah dunia. Usia manusia diperpanjang, berkat perkembangan pesat di bidang kedokterandan kesehatan masyarakat. Berbagai sisi kehidupan manusia dipermudah, berkat kelahiran berbagai teknologi, mulai dari telepon, pesawat, mesin cuci sampai dengan komputer. Harga yang harus dibayar pun juga cukup mahal, mulai dari kerusakan alam sampai dengan berkembangnya apatisme dan depresi hidup manusia di tingkat global.

Budaya Sains dan Teknologi

Di dalam sejarahnya, sains dan teknologi modern berkembang dari tradisi Pencerahan Eropa. Di dalam tradisi ini, lima hal menjadi amat penting. Yang pertama adalah budaya egaliter, atau kesetaraan antar manusia. Manusia memiliki kedudukan setara di hadapan alam dan Tuhan. Budaya egaliter memungkinkan terjadinya aliran diskusi secara bebas dan terbuka, tanpa dihalangi tembok-tembok feodalisme yang melembagakan kasta atau kelas sosial tertentu sebagai yang lebih tinggi daripada yang lain.

Yang kedua adalah pengembangan budaya berpikir kritis. Artinya, pertanyaan harus terus diajukan terhadap tradisi maupun praktek-praktek sosial yang sudah ada. Tradisi dan pola pikir lama bukanlah kebenaran mutlak yang harus disembah. Sebaliknya, ia justru harus dipertanyakan ulang, supaya bisa menjawab perubahan jaman.

Yang ketiga adalah budaya perkembangan budaya berpikir logis. Dalam arti ini, logika adalah seni berpikir lurus. Ia membantu orang mengambil kesimpulan yang lurus dari data-data yang ada. Logika menghindarkan orang dari prasangka dan kesalahan berpikir di dalam pengambilan keputusan.

Yang keempat adalah pengembangan budaya berpikir rasional. Dalam arti ini, berpikir rasional adalah upaya untuk memahami hubungan sebab akibat yang membentuk suatu peristiwa dengan menggunakan penalaran akal sehat. Penjelasan mistik dan teologis dihindari. Rasionalitas adalah kunci dari tradisi Pencerahan Eropa yang melahirkan sains dan teknologi modern.

Yang kelima adalah pengembangan pola berpikir sistemik. Berpikir sistemik berarti melihat dari sudut pandang keseluruhan. Pola pikir ini berkembang setelah perkembangan sains dan teknologi modern. Ia dilihat sebagai upaya untuk mengurangi sisi merusak dari sains dan teknologi. Di dalam pola berpikir sistemik, kepentingan seluruh ekosistem, termasuk hewan dan tumbuhan, juga dilihat sebagai sesuatu yang amat penting.

Perkembangan sains dan teknologi bukan hanya soal konferensi internasional, dana untuk penelitian atau ranking internasional semata. Ini cara pandang yang sesat dan berbahaya. Perkembangan sains dan teknologi lahir dari perkembangan budaya tertentu yang mendahuluinya. Tanpa perubahan budaya secara mendasar, sains dan teknologi hanya menjadi gincu permukaan yang menutupi borok di belakangnya.

Melampaui Ideologi

Tulisan Peter Gontha bisa terpelintir dengan mudah ke dalam ideologi. Inilah penyakit epistemologis yang kerap dimiliki oleh para ilmuwan dan teknokrat. Sains dan teknologi lalu dilihat sebagai kebenaran tertinggi yang menjadi ukuran bagi segala-galanya. Pada titik ini, seperti ditulis oleh Jürgen Habermas, pemikir asal Jerman, teknologi berubah menjadi ideologi yang menghabisi kebebasan dan sikap hidup alamiah manusia.

Tradisi Pencerahan Eropa, yang melahirkan sains dan teknologi modern, juga tidaklah sempurna. Ia memiliki cacat mendasar yang melahirkan pengrusakan alam secara masif, dan penjajahan di seluruh dunia terhadap bangsa-bangsa non Eropa. Ini tentunya harus menjadi catatan di dalam upaya pengembangan sains dan teknologi di Indonesia. Pola berpikir sistemik, yang amat dekat dengan spiritualitas universal, juga perlu dikembangkan pada konteks ini.

Walaupun berniat baik, tulisan Peter F. Gontha perlu untuk ditanggapi secara kritis. Jangan sampai kita terjatuh pada sikap naif buta terhadap perkembangan sains dan teknologi. Kita juga tidak boleh lupa, bahwa sains dan teknologi modern adalah hasil ciptaan masyarakat dengan budaya tertentu. Niat baik untuk mengembangkan sains dan teknologi, tetapi tidak mau mengubah budaya lama dan korup, tidak hanya tak berguna, tetapi juga berbahaya.

Ini seperti menutup sungai yang bau dengan menggunakan kain. Bodoh, sia-sia dan berbahaya.

 

 

 

 

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

20 tanggapan untuk “Perkembangan Sains-Teknologi dan Perubahan Budaya (Tanggapan Terhadap Peter F. Gontha)”

  1. Sepakat. Dalam mengembangkan science dan teknologi, kita perlu menanyakan kembali, untuk apa semua ini. Tidak serta merta semua mengikuti jaman atas dasar kompetisi global dan mengejar ranking ekonomi internasional?

    Suka

  2. Mantap P.Reza. Semoga membangkitan kesadaran publik untuk selalu berkiblat pada kebutuhan perubahan budaya, perbahan manusia, sebagai fondasi kemajuan sains dan teknogi Indonesia.

    Suka

  3. asyik, makin kritis … endingnya bagai kepal tangan mengetuk meja sekali saja, saat sesi usai. Closing “Ini seperti menutup sungai yang bau dengan menggunakan kain. Bodoh, sia-sia dan berbahaya.” — sarat makna, bikin saya mau ketawa tapi tidak lucu…

    Suka

  4. Ada muncul peribahasa baru dari tulisan Om Reza nih..:)
    Minta ijin jadi peribahasa baru yaa..
    “Bagaikan menutup sungai yang bau dengan menggunakan kain.”
    Yang artinya:
    “Melakukan perbuatan yang bodoh, sia-sia dan berbahaya.”

    Salaam..

    Suka

  5. makna diatas sangat jitu.
    maksudnya : perkembangan sains dan teknologi selalu didampingi spiritualisme, dgn nilai yang sama.
    tanpa spiritualisme menurut hemat
    saya , tak bakal berjalan optimal.
    sebagai contoh di kehidupan sehari2,
    manusia2 yg gitu mahir dgn pesawat
    genggam, tetapi jalan / cars pikirannya spt di abad ke 18.
    apa guna tekno tinggi tanpa nalar sehat dan hati nurani ??

    banya salam !!

    Suka

  6. Seperti menutup sungai yang bau dengan kain… Tidak hanya inspiratif, endingnya juga keren 😊. Sukses slalu dalam berkarya Pak.

    Suka

  7. ingin saya tambahkan tanggapan diatas.
    bagaimana jalan nya perkembangan sains dan teknologi (sebagai contoh dewasa ini, yg sd nyata, di genetik/gen teknologi) tanpa ethik dan moral, hanya bisnis sebagai tujuan utama.
    banya salam!!

    Suka

  8. Tulisan Peter Gontha bisa terpelintir dengan mudah ke dalam ideologi. Inilah penyakit epistemologis yang kerap dimiliki oleh para ilmuwan dan teknokrat. Sains dan teknologi lalu dilihat sebagai kebenaran tertinggi yang menjadi ukuran bagi segala-galanya. Pada titik ini, seperti ditulis oleh Jürgen Habermas, pemikir asal Jerman, teknologi berubah menjadi ideologi yang menghabisi kebebasan dan sikap hidup alamiah manusia.
    Saya setuju dengan pandangan di atas. Seturut pengalaman dan pemahaman saya menemukan persepsi berdasarkan pengalaman bahwa aliran waktu tidak universal.
    berawal dari sinilah dalam waktu yang singkat saya mulai meragukan aksioma dan aksioma sains. Saya melakukan pengandaian bahwa jika universalitas waktu merupakan doktrin yang salah, maka semua alasan ilmiah lainnya yang bergantung padanya juga salah.
    Tentu saja saya selalu mencari “eksperimen kritis” untuk membuktikan atau menyanggah pemikiran ilmiah. Bagi saya harus ada eksperimen kritis yang mengubah segalanya.
    Satu contoh:
    apakah foton membagi diri sebelum percobaan celah ganda sehingga satu setengah melewati satu celah dan sisanya melalui yang lain?
    Bagaimana jika dalam pelaksanaan eksperimen kita menciptakan kontradiksi,
    apakah realitas runtuh?
    Setelah saya mendalami teori-teori realitas, saya menemukan bahwa semuanya didasarkan pada *asumsi*. Asumsinya adalah kita dapat berbicara tentang sesuatu jika kita dapat mengubahnya menjadi sesuatu yang dapat kita pahami.
    Ini adalah prinsip kesetaraan yang mengatakan: kita dapat berbicara tentang apa yang tidak kita ketahui selama itu ‘setara’ dengan apa yang kita ketahui. kesetaraan berarti tidak ada pengujian yang dapat dibedakan. contoh Hasil tes Newton pada gerakan linear tidak berlaku untuk gerakan streptoid. Ada mesin tertentu di mana tidak ada perubahan internal untuk menunjukkan aliran daya melalui atau dari mesin
    Ketika Isaac Newton merumuskan “Principia Mathematica” -nya pada akhir tahun 1600-an dia melanggar nasihatnya sendiri “Hypotheses non Fingo”, “Saya tidak membuat hipotesis”
    dalam hukum gerak ketiga: “Untuk setiap tindakan ada reaksi yang sama dan berlawanan.” Pernyataan ini menyiratkan bahwa ada reaksi “setara” dan “berlawanan” terhadap setiap tindakan. Pernyataan “sama” dan “berlawanan” sendiri merupakan hipotesis, karena setiap eksperimen dalam fisika harus diuji, termasuk eksperimen yang belum dilakukan, di masa depan, untuk membuktikan kebenaran pernyataan semacam itu. Dua hukum pertama Newton, hukum inersia, dan hukum massa, adalah hukum pengamatan eksperimental yang mendefinisikan inersia dan massa dan tidak dalam diri mereka termasuk bayangan hasil eksperimen tersebut, untuk sama dan berlawanan. Einstein, yang teorinya didasarkan pada definisi hukum 1 dan 2 Newton dan undang-undang konservasi yang tumbuh dari hipotesis hukum ketiga, adalah sebuah dugaan yang bersandar pada hipotesis kesetaraan tindakan dan reaksi.
    ini yang saya sebut absurditas pengetahuan yang selalu berhubungan dengan fakta bahwa pengetahuan adalah *interpretasi realitas*. Apa yang diketahui benar pada waktu tertentu dapat diganti dengan pengetahuan “baru” yang menghasilkan interpretasi yang berbeda. Perdamaian bisa menjadi perang, dan cinta bisa menjadi pengetahuan. Yang benar adalah bahwa kita tidak memahami sifat dunia tempat kita hidup. Kita bisa menjadi apa yang kita inginkan melalui sifat pikiran kita.
    Tentu saja, itu bisa mengembalikan kita ke Taman Eden kesadaran sejati kita , tetapi jika kita kembali terpesona oleh daya tarik buah dari Pohon Pengetahuan, kita mengusir diri kita dari kedamaian taman firdaus ke dalam kegembiraan pertumbuhan dan penumpukan berbagai peradaban…
    Setiap masyarakat terbentuk selalu didasarkan pada interpretasi.
    Dan ketika keterbatasan penafsiran itu mengekspresikan diri mereka dalam suatu devitalisasi akhirnya yang dihasilkan masyarakat peradaban gagal, dan setelah hancur digantikan oleh yang lain.
    Intinya adalah bahwa setiap peradaban dalam diri mereka sendiri didasarkan pada interpretasi gagasan tertentu.
    Bukan pada kesadaran sejatinya
    Ingat kesadaran lumpuh, peradaban runtuh
    maaf mas Reza kepanjangan ini hanya sedikit gambaran yang mengerikan tentang sains dan tehnologi dengan mengambil dua contoh Newton dan einstein
    Sedikit bahasa satir nan getir
    terima kasih

    Suka

  9. Terima kasih sekali. Saya banyak belajar. Memang kita menangkap dunia dengan kemampuan dan keterbatasan kita. Sayangnya, kita tak sadar akan hal ini. Inilah percampuran antara kebodohan dan kesombongan manusia. Konsep ruang, waktu dan obyek pun sebenarnya tak lepas dari keterbatasan kita. Ada sesuatu yang tak terjangkau di semesta. Kita hanya bisa mengalaminya, tanpa pernah bisa memahaminya.

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.