Peneliti, Tinggal di Jakarta
Senang rasanya melihat toko buku begitu ramai dikunjungi orang. Pun jika menjadi konsumtif, orang lebih baik berbelanja buku, daripada sekedar makan enak, atau membeli barang yang tak dibutuhkan. Buku membuka wawasan, sekaligus menjadi hiburan sehat di kala waktu luang. Namun, ada satu gejala yang menarik perhatian.
Deretan buku fiksi, terutama dalam bentuk novel, begitu banyak. Sementara, buku-buku lainnya, seperti politik, sejarah, agama maupun bisnis jauh lebih sedikit. Deretan buku komik pun tak kalah banyaknya.
Mayoritas novel yang dijual bercerita tentang cinta. Beberapa layak disebut sebagai karya sastra, karena keindahan bahasa dan kedalaman cerita. Namun, mayoritas hanya sekedar buku dangkal yang menciptakan sensasi nikmat sesaat, tanpa unsur mendidik apapun. Gejala apakah ini?
Akal Sehat yang Tenggelam
Pertama, ketika orang dibuai oleh fiksi, ia hidup dalam dunia imajinasi. Sebenarnya, seperti dikatakan oleh pakar pendidikan Inggris, Sir Ken Robinson, imajinasi adalah dasar dari kreativitas. Pada dirinya sendiri, ia amat berguna untuk kehidupan. Namun, ketika fiksi luber, dan menutupi akal sehat, masalah pun muncul.
Dua, ketika akal sehat tertimbun imajinasi, daya analisis pun berkurang. Padahal, analisis amatlah diperlukan untuk membuat keputusan. Setiap detiknya, kita diminta membuat keputusan. Ketika keputusan dibuat dengan analisis yang dangkal, maka kemungkinan salah pun menjadi semakin besar.
Tiga, masyarakat dengan daya analisis yang lemah mudah dibuai. Mereka mudah ditipu oleh pengusaha ataupun politisi busuk. Tak heran, masyarakat Indonesia banyak terjebak di dalam gaya hidup konsumtif, bahkan harus terlilit hutang, guna membeli barang-barang yang tak dibutuhkan. Mereka juga sering salah pilih pemimpin politik, persis karena lemahnya daya analisis, dan mudah terbuai imajinasi.
Empat, lemahnya akal sehat memang melahirkan banyak masalah. Radikalisme dan terorisme, yang menjadi salah satu tantangan terbesar bangsa saat ini, juga bersumber pada lemahnya akal sehat. Orang kerap menelan mentah-mentah sebuah ajaran sesat, tanpa dipertimbangkan secara kritis terlebih dahulu. Ini terjadi tidak hanya di kalangan pendidikan rendah, tetapi justru di kalangan terdidik, persis karena mereka hidup dalam imajinasi sesat.
Fiksi yang Bermutu Tinggi
Sejatinya, karya fiksi amatlah berguna untuk mengisi hidup manusia. Ia adalah sumber dari imajinasi dan kreativitas yang amat dibutuhkan di dalam hidup, terutama guna menghadapi berbagai tantangan hidup bersama. Ini semua bisa terjadi, asal fiksi tidak menenggelamkan akal sehat. Sebaliknya, karya fiksi yang bermutu tinggi, seperti novel ataupun komik, bisa membantu orang mengembangkan akal sehatnya.
Para penerbit buku harus mendorong terbitnya buku-buku fiksi yang bermutu tinggi. Mutu akal sehat bangsa juga dipengaruhi oleh hal ini. Buku-buku jenis lainnya, yang mengembangkan sikap kritis, daya analisis dan wawasan, juga perlu diberi ruang lebih di dalam toko buku. Ini satu-satunya jalan, supaya bangsa ini tidak dibunuh oleh fiksi, terutama oleh karya fiksi bermutu rendah yang hanya menjual cinta murahan dan plot dangkal.
Setuju?
Saya sangat setuju bang, tanpa akal sehat hidup ini akan berantakan…
SukaSuka
Setuju saya pun belajar filsafat dari karya sastra seperti cerpen dan novel. Beberapa karya sastra indonesia yang saya rekomendasikan adalah:
1. Robohnya surau kami karya A.A Navigasi
2. Atheis karya Achdiat Karta Mihardja
3. Laskar pelangi karya Andrea hirata
SukaDisukai oleh 1 orang
Betul sekali, saya pun belajar filsafat dari anime seperti cowboy bebop, death note, dan psycho pass. Saya sarankan mas Reza untuk menonton anime tadi, mana tahu dapat inspirasi.
SukaDisukai oleh 1 orang
Sekedar saran untuk mas Reza, gimana kalau lain membahas paradoks – paradoks dalam filsafat, contohnya ommipotence paradox, paradox of free will, atau paradox of fiction. Saya sangat suka belajar tentang paradoks.
SukaDisukai oleh 1 orang
Artikel ini mengingatkan ku pada paradox of fiction.
SukaSuka
setuju dengan maksud karya diatas, begitulah fiksi juga semacam “bayangan di kepala” , bisa di pakai untuk kemajuan pribadi, tetapi bisa juga merugikan diri sendiri, sbb kita hidup didunia fiksi jadi nya, kalau kita pegang erat2 fiksi tsb.
teringat pengalaman sehari2 kalau kita membau masakan yang gitu “lezat” rasanya (kemungkinan), begitu kita memakannya sering kita kecewa dengan mutu rasanya.
dari contoh2 sehari2 kita belajar gitu banya, shg kalau kita membau masakan lezat, kita hanya tersenyum untuk menyadari, bahwa itu hanya “bayangan” melulu.
dengan pendapat, sebaiknya penerbit mengeluarkan buku2 dengan fiksi bermutu , saya tidak begitu se pandang. untuk penerbit sangat penting kalau produksi buku2 laris terjual, supaya semua ongkos2 tertutup. untuk buku2 bermutu,kalangan peminat terlalu kecil, apalagi selama pendidikan dan pengetahuan umum yang bermutu belum tercapai. kita bisa perhati in di kehidupan sehari2, taraf mana umum nya yg tercapai.
banya salam !
SukaSuka
Kepada masyarakat Reza, sekedar saran aja gimana kalau lain kali membahas paradoks kehidupan ataupun paradoks dalam filsafat seperti misalnya paradoks kehendak bebas
SukaSuka
Kalau menurut saya, banyak sekali karya sastra indonesia angkatan 50 an sampai 70 an yang bermutu tinggi. Contohnya, robohnya surau kami karya A.A. najis atau Ateis karya Achdiat Karta Mihardja. Sungguh rindu akan karya sastra indonesia yang bermutu tinggi seperti dulu (1940-1970)
SukaSuka
setuju
SukaSuka
ijin share ?
boleh?
SukaSuka
Begitulah. Salam.
SukaSuka
Terima kasih atas sarannya. Salam hangat.
SukaSuka
Menarik. Baik. Saya akan coba lihat.
SukaSuka
Baik mas. Saya belum punya ide soal itu. Terima kasih
SukaSuka
Menarik. Bisa dijelaskan paradoks fiksi?
SukaSuka
Kepentingan ekonomi memang harus diperhatikan. Namun, jangan sampai mengorbankan mutu karya fiksi yang ada. Disini peran divisi pemasaran amatlah penting, supaya bisa menjual karya2 fiksi yang bermutu.
SukaSuka
Baik. terima kasih sarannya.
SukaSuka
Begitulah.
SukaSuka
Salam. Terima kasih
SukaSuka
Silahkan bung. Salam.
SukaDisukai oleh 1 orang
Orang gila itu beberapa orang yg otak penuh dengan fiksi, imajinasi terlalu tinggi yg membuatnya kadang merasa paling bahagia dan kadang merasa paling menderita. Imajinasi yg terlalu tinggi bisa menjadi candu yg dapat membuat jiwa sang penikmat menjadi rancu
SukaSuka
Begitulah yang terjadi. Terima kasih sudah berbagi.
SukaSuka
Alih-alih mencari kebenaran, artikel ini cacat dan tidak adil sejak dalam pikiran. Konstruksi berpikir dan argumen yang dibangun pun tak nalar.
SukaSuka
pak, boleh bertanya? kadang saya bermimpi(kadang buruk) dan mengapa terkadang setelah terbangun mimpi itu masih begitu terasa? apa yang berbeda dari mimpi itu pak?
SukaSuka
salam. Bisa diperjelas?
SukaSuka
Mimpi itu proyeksi pikiran. Jangan terpengaruh. Kembali ke saat ini, dan lakukan apa yang perlu dilakukan.
SukaSuka
Sangat setuju sekali pak dgn tulisan bapak ini sangat perlu kita menggunakan akal sehat untuk bisa berpikir kritis,analitis disetiap fenomena dan permasalahan kehidupN dan dpt bisa membedakan mana fiksi dan mana yang fakta
SukaSuka
terima kasih
SukaSuka