Kutukan Kelompok Mayoritas

Past is Prologue – WordPress.com

Oleh Reza A.A Wattimena

Peneliti, Tinggal di Jakarta

Sejak awal peradaban, manusia selalu hidup dalam kelompok. Di dalam kelompok tersebut, ada kelompok mayoritas dan minoritas. Kelompok mayoritas berjumlah lebih besar, daripada kelompok minoritas. Dalam banyak hal, kelompok mayoritas menjadi penentu kebijakan.

Di masa modern, pembedaan mayoritas dan minoritas seringkali dilakukan atas dasar agama, ras, suku maupun ideologi. Kelompok agama, suku, ras ataupun ideologi tertentu lebih banyak jumlahnya, sehingga mereka menjadi mayoritas. Kelompok lain dianggap sebagai minoritas. Walaupun terlihat diuntungkan, namun kelompok mayoritas memiliki kutukannya sendiri.

Kutukan

Pertama, kelompok mayoritas dikutuk dengan sikap sombong. Mereka menganggap diri lebih tinggi, daripada kelompok lainnya. Seringkali, kesombongan itu tak disadari. Ia seolah sudah menempel selalu ke jati diri kelompok mayoritas.

Dua, akibat kesombongannya tersebut, kelompok mayoritas suka bertindak seenaknya. Mereka suka membuat aturan sendiri yang justru merugikan kelompok lainnya. Mereka merasa berada di atas hukum. Terlebih, mereka tak memiliki empati, yakni tak mampu melihat dunia dari sudut pandang kelompok lainnya.

Tiga, kelompok mayoritas juga seringkali menindas kelompok-kelompok lainnya. Mereka secara rakus ingin menguasai dunia politik dan ekonomi sekaligus. Mereka juga secara sadar menghambat perkembangan kelompok-kelompok lainnya.

Empat, karena sombong dan tak peduli aturan, kelompok mayoritas suka terpecah. Mereka berkelahi sendiri, karena berebutan kue kekuasaan politik dan ekonomi. Mereka gampang diadu domba oleh hal-hal sepele. Kesombongan dan kecenderungan menindas memang perpaduan yang amat jelek untuk kelangsungan hidup sebuah kelompok.

Lima, akibat semuanya ini, mutu mereka sebagai kelompok pun menurun. Nilai-nilai kelompok terabaikan. Ideologi dan filsafat kelompok dikorbankan demi kerakusan kekuasaan politik dan ekonomi. Jika ini terjadi, kelompok itu sudah diambang kehancuran.

Enam, setelah mengetahui menurunnya mutu kelompok tersebut, ketakutan pun lahir. Ketakutan mendorong kekerasan. Banyak anggota kelompok tersebut lalu menjadi teroris yang melakukan teror kekerasan ke masyarakat luas. Tak jarang, korbannya adalah anggota kelompok itu sendiri.

Memang, tidak ada yang abadi di muka bumi ini. Kelompok mayoritas pasti akan lenyap dan berganti. Kelompok mayoritas baru muncul, dan akan kembali tenggelam sejalan dengan perubahan waktu dan peristiwa. Perubahan adalah hukum baja sejarah.

Memperpanjang Eksistensi

Jika diperhatikan lebih dalam, di banyak tempat, kelompok mayoritas seringkali hanya menjadi alat dari kelompok minoritas yang memiliki sumber daya besar. Mereka hanya preman kasar yang didanai oleh segelintir kecil orang yang memiliki kekuatan politik maupun ekonomi yang amat besar, namun tersembunyi. Pola inilah yang harus dicermati lebih jauh.

Lepas dari pada itu, kutukan kelompok mayoritas memang nyaris tak bisa dihindari. Namun, ada satu hal yang kiranya bisa dipelajari. Kelompok mayoritas bisa memperpanjang keberadaannya, jika ia menghindari kesombongan, menghindari dorongan untuk menindas dan tetap memegang nilai-nilai luhur yang melahirkan mereka pada awalnya. Jika ini dipegang, kelompok mayoritas tetap akan berakhir secara alami sebagai bagian dari sejarah, dan bukan karena konflik yang memakan korban jiwa.

 

 

 

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

12 tanggapan untuk “Kutukan Kelompok Mayoritas”

  1. karya yang sangat menarik untuk direnungkan. begitulah terjadinya dalam sejarah dgn suku2 berkebudayaan tinggi, mereka lenyap dengan sendirinya dan timbul suku baru.
    fazit : untuk jangka panjang tidak lah berguna ,bahwa kaum mayoritas menindas minoritas, seperti yg selalu terjadi diseluruh dunia.
    banya salam!!

    Suka

  2. Selamat malam, mas sebelumnya perkenalkan saya Adam . Saya dari jawa timur Pasuruan kuliah ambil teknik mesin namun sangat menyukai filsafat. Mas saya mau minta izin mengolah isi artikel samean sampai se pendek mungkin . Kemudian saya masukan Ig. Itung itung saya belajar menelaah pemikiran dan tulisan filauf , apakah boleh mas ? Terima kasih sebelumnya

    Suka

  3. Salam sejahtera
    Amitaba

    terima kasih atas paparan artikelnya Mss Reza
    Ini mengingatkan saya pada paham Individualisme versus Kolektivisme dalam artian lain yang saya ibaratkan kolektivisme adalah cewek berambut pirang yang tampak cantik dan hot tetapi tidak stabil secara mental, dia membuat janji-janji kegembiraan dan kenyamanan jangka panjang yang sebenarnya tidak ingin dia patuhi juga ,Dia begitu menggoda bukan karena dia memiliki kualitas batin yang mendalam, tetapi karena dia memiliki kemampuan untuk membiarkan orang orang percaya bahwa dia persis seperti yang orang bayangkan.
     
    Hanya ketika kita terlambat memahami dan menyadari ya bisa seperti yang Mas Reza paparkan , bahwa dia kutukan itu adalah pil psikopat. Kedua kekuatan mekanika organisasi ini telah melalui evolusi dan terus berevolusi selama beratus ratus tahun, dan saya yakin pertempuran panjang sudah mendekati momen puncak; suatu momen di mana satu ideologi atau yang lain akan menjadi dominan di seluruh dunia masa depan.
    pengandaian yang sering dibuat di kalangan akademisi adalah bahwa filosofi yang paling menarik bagi “keharusan berkesadaran alami dan bertahan hidup alami” memenuhi keinginan kita untuk berinovasi akhirnya akan memenangkan momen itu, dimana bila sudah berkesadaran alami dan melihat sesuatu apa adanya , tidak ada sisi “benar atau salah” efektif, dan yang kurang efektif. Yang canggih dan yang ketinggalan jaman. Yang transenden, dan yang kuno…
    Semoga saja momen itu sudah semakin mendekat

    Suka

  4. Amitabha. Terima kasih sudah berbagi. Saya setuju. Dunia ini memang kumpulan penampakan. Jika kita tidak sadar, kita akan hanyut dan tertipu. Dan memang, pemikiran dualistik adalah sumber segala kejahatan. Ia harus dilampaui.

    Salam hangat

    Suka

  5. Artikel yang menarik untuk bisa dijadikan pedoman hidup, patut saya apresiasi. Salam dari anak Ilmu Sejarah 015 USU!

    Suka

  6. bila kita berkaca dari kasus di Tanjung Balai pada 09 Agustus 2016 yaitu seorang Ibu yaitu inisial M yang Ibu tersebut beretnis Tionghoa yang meminta agar volume toa di masjid untuk dikecilkan karena merasa terganggu yang akhirnya terjadi kerusuhan sosial dengan pembakaran dan penjarahan pada rumah ibadah Vihara. Ibu itu akhirnya dipidana dengan pasal penistaan agama tanpa kejelasan padahal dia menuntut haknya agar tidak terjadi kebisingan akibat suara dari toa masjid mengenai adzan yang dilantunkan. seharusnya bila kita mengambil pelajaran dari ini ialah mayoritas harus menghargai keberadaan minoritas dengan menyesuaikan suara toa masjid untuk adzan agar keberadaan lain tidak terganggu dan di sekitar masjid tersebut pasti juga tidak semua masyarakat yang tinggal mayoritas adalah muslim.

    Suka

  7. Saya sepakat. Kelompok mayoritas harus sadar, bahwa ada perbedaan di dalam kehidupan, bahkan di dalam kelompok mayoritas itu sendiri. Kesadaran ini akan membuat mereka bisa bertindak sepantasnya, dan tidak arogan, apalagi sampai agresif.

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.