Tentang Iri Hati

Lisa Lach-Nielsen | ACRYLIC | Envy

Oleh Reza A.A Wattimena

Peneliti, Tinggal di Jakarta  

Setiap orang pasti mengenali rasa iri. Entah mereka pernah mengalaminya, atau melihat orang yang saling iri hati satu sama lain. Mengapa orang merasa iri hati terhadap orang lain? Jawaban singkatnya, sebagaimana diuraikan oleh Antonio Cabrales, peneliti dari Universitas Madrid, adalah karena rasa iri hati sudah ada di dalam genetik manusia.

Rasa iri memiliki peranan besar di dalam perkembangan manusia sebagai spesies. Ia membantu manusia untuk memperoleh sumber daya yang memang terbatas dalam persaingan dengan manusia lain, ataupun spesies lain. Di dalam kelompok primitif, rasa iri memacu orang untuk memiliki lebih banyak harta benda, daripada orang-orang lainnya. Pemilik harta benda terbanyak lalu dianggap sebagai orang yang paling tepat untuk membangun keluarga yang unggul, sekaligus menjadi pemimpin kelompok. (Kupczik, 2014)

Di Balik Rasa Iri

Di dalam tradisi filsafat Eropa Abad Pertengahan, rasa iri hati dianggap sebagai salah satu dosa terbesar.  Memang, di balik rasa iri, ada perasaan tidak nyaman yang bercampur aduk, mulai dari marah, cemas dan sebagainya. Pendek kata, iri hati adalah sebuah perasaan yang sama sekali tidak nyaman.

Rasa iri muncul, ketika orang melihat orang lain lebih berhasil daripadanya, baik dalam soal ekonomi, keluarga, prestasi dan sebagainya. Orang tidak bisa menerima sebuah keadaan, bahwa ada orang yang lebih baik dan lebih beruntung daripadanya. Jika tidak dikelola dengan seksama, rasa iri bisa mendorong orang bertindak jahat. Ia tidak hanya menciptakan penderitaan bagi orang yang mengalaminya, tetapi juga pada orang lain yang menjadi obyek iri hatinya.

Kajian Ilmiah

Iri hati juga banyak menjadi perhatian para ilmuwan. Tidak hanya para filsuf dan psikolog, para ilmuwan politik dan sosiolog juga tertarik terhadap tema ini. Ini terjadi, karena iri hati memainkan peranan besar di dalam tindakan seseorang, terutama dalam tingkat politik dan ekonomi. Selain amarah dan takut, iri hati juga mengandung kesedihan, begitu kata Rofl Haubl, peneliti dari Universitas Frankfurt. Orang merasa sedih, karena orang lain lebih berhasil daripada dirinya.

Haubl melakukan penelitian tentang iri hati melalui kuesioner yang ia sebar kepada 2500 orang di Jerman Timur dan Barat. Dari penelitiannya terlihat, bahwa perempuan lebih sering merasakan iri hati, ketika ia melihat ada orang lain yang lebih berhasil daripada dirinya. Pria juga memiliki emosi yang sama, walaupun dengan jumlah yang lebih sedikit, namun dengan tingkat iri hati yang lebih dalam.

Haubl lalu membagi dua jenis rasa iri hati. Yang pertama adalah rasa iri hati yang menginginkan kegagalan orang lain. Sumber dari rasa iri hati ini adalah kebencian, ketakutan dan kesedihan. Ia bagaikan pisau bermata dua, yakni melukai diri sendiri dan orang lain.

Yang kedua adalah rasa iri hati yang berpijak pada keadilan, yakni dorongan untuk menciptakan keadaan yang lebih adil bagi semua, dan bukan hanya untuk beberapa kelompok elit semata. Hal ini sudah terjadi sejak lama. Rasa iri hati merupakan ekspresi dari rasa keadilan yang mendalam untuk perubahan sosial yang mendasar. Ini lalu menjadi gerakan sosial yang menciptakan perubahan sosial di masyarakat.

Dalam arti ini, kita bisa melihat, bahwa rasa iri hati juga memiliki sisi positif. Rasa iri hati, sebagaimana dikatakan Haubl, bisa mendorong orang untuk bekerja lebih baik dan rajin. Dalam soal bisnis, rasa iri bisa mendorong orang meningkatkan mutu bisnisnya, supaya bisa mengalahkan saingannya. Ini berlaku baik dalam sektor jasa maupun barang.

Menyadari Rasa Iri

Lepas dari sisi positifnya, rasa iri tetap merupakan sebentuk penderitaan. Ia menciptakan rasa kesepian, stress, depresi dan bahkan penyakit fisik. Dalam jangka panjang, sebagaimana dicatat oleh Kupczik, rasa iri menurunkan kemampuan untuk berkonsentrasi. Sarah Hill, peneliti dari Texas, bahkan menemukan, bahwa rasa iri hati di dalam dunia olahraga justru menurunkan kinerja para atlit.

Haubl juga menegaskan di sisi lain, bahwa rasa iri hati tumbuh di dalam proses pendidikan. Rasa iri terhubung erat dengan rasa tidak pernah cukup di dalam memiliki sesuatu. Rasa ini tumbuh dari keteladanan orang tua, atau dari budaya keluarga. Jika tidak disadari dan dikelola dengan tepat, rasa iri dan rasa tidak pernah cukup ini bisa membawa penderitaan panjang di dalam hidup seseorang.

Langkah terpenting untuk mengelola iri hati adalah dengan menyadarinya. Orang menyadari pola iri hati yang muncul di dalam pikirannya. Iri hati juga seringkali melibatkan emosi yang kuat, seperti marah, takut dan sedih. Hal ini pulalah yang perlu disadari sepenuhnya, ketika ia muncul dalam diri.

Iri hati tidak harus ditekan. Ia juga tidak harus diekspresikan. Ia hanya perlu disadari sebagai gerakan emosi sesaat dari kebiasaan yang terpola sejak lama. Seperti semua emosi lainnya, rasa iri hati itu sejatinya kosong. Ia datang dan pergi, serta tak memiliki inti, seperti layaknya asap atau awan.

Di dalam kesadaran semacam ini, rasa iri lalu bisa digunakan seperlunya. Orang memiliki rasa iri, tetapi tidak melekat padanya. Rasa iri lalu bisa digunakan untuk mendorong keadilan yang lebih besar di dalam hidup bersama. Ia juga bisa digunakan untuk mendorong orang untuk meningkatkan mutu hidup ataupun kerjanya. Di titik ini, iri hati tidak lagi mengandung emosi-emosi jelek, tetapi justru mengandung kebijaksanaan hidup yang mendalam.

 

 

 

 

 

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

15 tanggapan untuk “Tentang Iri Hati”

  1. Saya suka bang, bagus tulisan ini banyak sekali orang kurang menyadari iri hati itu hanya negatif saja namun ada juga positifnya saya sangat setuju

    Suka

  2. Jadi intinya rasa iri itu ada yang berdampak positif dan negatif kan? Tergantung kita masing-masing dalam mengelola atau menyadari rasa iri hati kita, dan sudah pasti bahwa rasa iri itu dimiliki setiap orang

    Suka

  3. Jadi intinya rasa iri itu ada yang berdampak positif dan negatif kan? Tergantung kita masing-masing dalam mengelola atau menyadari rasa iri hati kita, dan sudah pasti bahwa rasa iri itu dimiliki setiap orang

    Suka

  4. sepakat dan mengerti dengan karya diatas. juga titik berat nya hanya kesadaran atas diri sendiri.
    nah, disinilah kita yang wajib mengekang dan menguasai kemampuan intelekt kita. mudah di kata, tetapi sulit untuk diterapkan (kalau kita jujur kediri sendiri), sering kita terperosok sendiri, kearah yg sebetul nya kita hindari.
    kirkegaard (???) menulis, begitu kita mulai membanding2 kan, mulailah problem iri hati dan cemburu.
    ada baiknya kalau kita sadar, bahwa iri hati, cemburu, takut ,prasangka dsb dsb hanya lah bayangan di kepala yg begitu menghambat dalam hidup dari saat dan kesaat.
    banya salam !!
    ingin sekali saya utara kan ,system komentar di achir2 ini (sejak kira2 1 minggu) melelahkan membaca, sebab untuk menyamakan komentar bang reza dan komentar pembaca, saya mesti scrollen naik turun biar nda salah ngerti.
    apa ada saran lain dari pembaca ??
    terima kasih atas perhatian nya !!

    Suka

  5. Assalamu’alaikum wr.wb…
    Diatas sudah diterangkan bahwa iri itu bisa digunakan seperlunya.
    Pertanyaan saya, bagaimana cara kita agar dapat menjadikan rasa iri tersebut menjadi iri yang positif?
    Terima kasih…wassalamu’alaikum wr.wb

    Suka

  6. Setiap orang selalu mempunyai rasa iri hati entah itu sekecil apapun itu. Padahal rasa iri itu tidak baik buat diri kita sendiri. Mempunyai rasa iri hati itu menandakan bahwa diri kita tidak mampu untuk sukses dan berkembang seperti orang lain.
    Bahkan rasa iri itu bisa menimbulkan kejahatan. Berfikir secara instan contoh pingin kaya tapi dia gk mau susah dalam proses pinginnya langsung kaya dengan memilih jalur yg sesat ( pesugihan ) dan semacamnya itu.

    Apa bisa rasa iri hati dapat disembuhkan ?
    Memang dalam artikel ini ada dua kajian ilmiah yaitu rasa iri negatif dan positif. Lalu gimana solusinya supaya rasa iri hati yang negatif bisa diubah menjadi rasa iri yang positif ?

    Suka

  7. Dalam olah raga..saya pernah mengalami waktu tanding badminton tarkam waktu Smp, karena semakin saya iri sm saingan tsb dia semakin hebat dipertandingan. Ini sangat bermanfaat utk mendidik anak kita kelak. Iri hati pada atlet membuat diri sendiri menjadi semakin banyak ketakutan.

    Suka

  8. Bang kalo cumn di sadari dan di biarkan emang rasa iri itu akan hilang ? Kalo menurut saya kurang pas bang karna keyika dibiarkan saja hanya akan tambah dalam rasa iri nya karna rasa iri itu terus menerus ada bang.

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.